Sejarah yang Terlupakan (2020)
an Indonesian short story
genre: sci-fi, post-apocalypse
Langit siang menunjukkan warna yang semakin kelam akibat abu panas.
Badai menerpa wilayah kepulauan tersebut. Angin kencang bertiup dari arah samudra, membuat arus yang terus-menerus menghantam bibir pantai yang beberapa areanya sudah tenggelam dilahap ombak ganas. Topan melayangkan benda-benda yang berpijak ke udara. Tanah bergetar mengguncangkan apa pun yang mencoba berdiri kokoh melawan gravitasi bumi. Lahar dari letusan gunung berapi sudah menghangusi seperempat dari wilayah pulau tersebut.
Horatio terbatuk-batuk setelah menghirup udara yang penuh debu itu. Wajah pucatnya kotor. Rambut pirangnya dekil. Dia menyeringai, memegang celananya yang robek di bagian lutut kirinya. Darah merembes di sekujur betisnya. Dengan lutut kanannya yang masih tidak tergores, dia berusaha berlutut dengan satu kaki, menumpu badannya. Lutut kirinya dia pegang, mencoba menutupi lukanya. Mungkin darahnya berhenti mengalir – menurut logika sederhananya – meskipun hanya dengan tangannya yang sudah tidak steril lagi, dilumuri dengan bentala basah yang menempel di kulitnya.
Horatio mencoba berdiri, badannya linglung karena gempa masih mengguncangkan tanah. Dia menatap nanar di sekitarnya. Pohon-pohon berjatuhan. Perumahan sudah tidak terbentuk lagi. Beberapa air laut berhasil mencapai ke lahan penduduk, membasahi ladang mereka. Hewan ternak telah lepas, berlarian ketakutan. Cuitan burung-burung bergema di angkasa. Para penduduk berlarian tanpa arah. Ketakutan dan kebingungan bercampur aduk menjadi satu, yang mengarahkan mereka untuk berusaha bertahan hidup di bencana tak terprediksi ini. Tapi tetap saja, semesta bisa kejam. Hanya dengan secepat mata berkedip, satu dua orang melayang tertimpa angin kencang, raganya tidak terlihat lagi sejauh mata memandang.
Horatio berusaha berjalan, langkahnya tertatih-tatih. Di saat orang-orang berlarian sambil berteriak kepanikan, dia hanya terus berjalan melawan arus manusia. Di tengah batuknya, dia berusaha membisikkan panjatan doa, tangannya sambil menggenggam liontin kura-kura di dadanya. Dari jauh, terlihat sebuah gedung bata yang masih berdiri kokoh meskipun bagian atapnya sudah bolong.
Tujuannya.
Saat dia memasuki gedung tersebut – pintunya sudah menghilang entah kemana – dia mendapati kursi dan meja sudah dalam keadaan terpelanting. Rak-rak buku setinggi empat meter berjatuhan, buku-buku berserakan memenuhi lantai.
Pria paruh baya itu panik. Dia berlari, terpincang-pincang, mendekati buku-buku tersebut. Dengan tergopoh-gopoh dia kumpulkan mereka, kemudian menumpuknya di suatu tempat. Dia bahkan mencoba mengangkat rak supaya dia bisa meraih buku-buku yang terhimpit. Di saat yang lain sedang berusaha menyelamatkan dirinya masing-masing, dia malah menyelamatkan benda mati. Tapi memang inilah tugasnya. Rekan-rekannya, Zaak, Aldin, Chuan dan Themara yang bertanggung jawab untuk menyelamatkan penduduk.
Tugas Horatio, sebagai seorang pendeta terakhir di planet ini, adalah hanya menyelamatkan buku-buku tersebut. Itu adalah permintaan terakhir dari Gemi sebelum dia ditangkap oleh robot-robot itu. Katanya, mereka sama berharganya seperti sebuah nyawa manusia.
Mereka adalah barang bukti. Sebagai sejarah yang tak akan dilupakan.
3 tahun yang lalu.
“Cepat, Horatio!!”
Horatio tersengal-sengal. Dia berhenti, menundukkan badannya. Satu tangannya bertumpu di lututnya, satunya lagi masih mendekap sebuah buku tebal yang tidak cukup dimasukkan di ranselnya.
“Bodoh! Ngapain kau diam di situ??” Zaak berteriak panik seperti kebakaran jenggot, langsung berlari ke arah Horatio yang padahal jarak mereka sudah terlampau sepuluh meter.
Horatio masih berusaha mengatur nafasnya, melirik ke arah Zaak “Kau pikir aku sebugar kau? Kita berlarian hampir sejauh dua kilometer tanpa henti!”
Baru saja Zaak meraih lengannya dan ingin protes menjawab, suara misil terdengar tidak jauh dari mereka.
“Sialan! Robot brengsek itu semakin dekat!” Zaak menoleh sejenak ke arah belakang Horatio. Tanpa berkata-kata lagi, tangan berototnya langsung mencengkram lengan Horatio, menariknya dengan paksa. Horatio lari tergopoh-gopoh, sambil mengenggam erat buku di dekapannya yang hampir saja terjatuh.
Mereka bersembunyi di balik dinding reruntuhan. Zaak berdiri di ujung dinding, siaga mengintip untuk melihat situasi.
“Mereka masih belum terlihat” Zaak masih melihat keluar, raut wajahnya berubah serius.
Horatio mengamati wajah tegas Zaak. AK-47 terdekap di tangannya, senapan tergantung di punggungnya. Masih ada satu pistol dan sebuah belati di pinggangnya, serta satu tas kecil berisi amunisi. Perawakannya besar dan berotot – sangat bertolak belakang dengan badan Horatio yang sekurus lidi. Lengan bertatonya penuh bekas luka, tato yang dia dapatkan sebagai seorang letnan di sebuah kemiliteran dahulu sebelum Era Robotisme mengambil alih peradaban sepenuhnya – era dimana Artificial Intelligence (AI) diagungkan dan perlahan-lahan menggantikan posisi manusia, yang menjadikan bumerang tersendiri oleh si penciptanya, manusia. Robot yang awalnya hanya menggantikan buruh pabrik menjadi mengambil posisi perdagangan dan bahkan kemiliteran. Tangan dan kaki bionik, serta organ buatan, yang sebelumnya hanya dibuat untuk membantu para disabilitas atau krisis organ donor, menjadi sebuah prestis karena bisa dimodifikasikan fungsinya melebihi ekstremitas dan organ alami. Dari semua penduduk planet, hanya dua puluh persen Manusia Utuh yang tersisa. Dan lima persen dari semua jumlah Manusia Utuh tersebut tinggal di sebuah kepulauan di tengah samudra, tempat tinggal Horatio dan Zaak. Kepulauan Vulkan.
Sejak Era Robotisme, Kepulauan Vulkan yang secara geografis sudah terisolasi dari pengaruh dunia luar, penduduknya membentuk negara independen. Tidak ada pemerintahan bentuk apapun, hanya ada lima orang utama yang mengatur kesejahteraan masyarakat – mereka menyebutnya Lima Utama. Horatio dan Zaak adalah salah satunya.
Zaak mengaktifkan radio teleponnya. “Li. Posisi. Over.”
“Li melapor” terdengar suara pria di seberang telepon. “Posisi sudah di atas kapal. Bagaimana dengan kalian, Xander?” ‘Xander’ adalah nama panggilan Zaak di radio telepon.
“Kami berhasil menyusup perpustakaan kota. Buku-buku penting juga telah diambil.” Zaak berdecak “Tapi sayangnya, kami terpisah dengan sisa grup, mereka mencoba menahan si tentara mesin itu, supaya aku dan Si Pucat bisa melarikan diri.”
Horatio hanya menatap datar Zaak. Di telepon radio, demi keamanan tidak ada yang boleh menggunakan nama asli. Maka, Zaak memilih nama panggilan Horatio sembarangan, Si Pucat, karena perawakannya yang pucat akibat rambut pirangnya. Dan hanya Zaak, satu-satunya orang di planet ini, yang bisa berbicara sembarangan kepadanya, meskipun Horatio adalah orang paling terhormat di antara Lima Utama.
Terdengar suara misil lagi.
“Sialan! Bajingan itu mendekat!“ Zaak langsung menarik dirinya untuk bersembunyi. “Apapun yang terjadi, jika kalian semua sudah di atas kapal dan mereka semakin mendekat, tinggalkan saja kami berdua. Pasokan makanan yang kalian dapatkan jauh lebih penting! Over and out.” Dia langsung mematikan radio teleponnya.
Zaak menyeka peluh di wajahnya yang berdebu. Hari sebenarnya masih siang, tetapi awan-awan polusi menutupi langit. Sudah ratusan tahun lamanya sejak langit biru tidak terlihat lagi, serta bintang-gemintang di tengah malam.
Mungkin keputusan Zaak untuk ditinggalkan oleh grupnya adalah keputusan yang buruk. Jarak antara Kepulauan Vulkan dan tempat ini beribu-ribu kilometer. Kapal itu adalah satu-satunya kapal yang berlayar ke Kepulauan. Jika kapal itu meninggalkan mereka berdua di sini, mereka akan terdampar di tempat asing ini. Tapi, Horatio memilih diam. Apapun keputusan Zaak, Horatio mempercayainya. Karena Zaak adalah satu-satunya strategis mahir yang masih tinggal di planet ini.
“Mereka mendekat. Aku bisa melihatnya” Zaak menggunakan teropongnya. Di balik suaranya yang kesal, terdapat kesedihan yang berusaha disembunyikan. Jika tentara mesin – para robot pintar yang berada di kepolisian – berhasil mendekati mereka, berarti kawan-kawannya tidak berhasil menahan mereka.
“Apa rencanamu, Zaak?” tanya Horatio.
Zaak menatapnya. “Jika mereka menemukan kita, aku akan menahannya. Kau lari ke arah pelabuhan. Jaraknya masih lima puluh meter dari sini, tapi aku usahakan untuk mengalihkan mereka selama mungkin.” Zaak melepas radio telepon dari pinggang dan telinganya, memberikan kepadanya. “Jika kau telah sampai, jangan tunggu aku.”
Horatio melotot. Baru kali ini dia mendengarkan ide buruk dari seorang ahli siasat. Pengorbanan diri adalah ide yang selalu konyol.
“Aku tidak akan melalukakannya” Horatio menolaknya mentah-mentah.
Zaak langsung menatap ke arahnya dengan gusar “Bodoh! Ini hanya jalan satu-satunya untuk menyelamatkan buku-buku itu–”
Sebuah granat mendarat tepat di samping mereka.
Zaak menarik tangan Horatio untuk menjauhinya. Terlambat, granat itu meledak, melempar mereka, membuatnya mendarat di tumpukan tanah becek.
Reruntuhan itu hancur. Mereka terekspos di depan tujuh robot hitam lima meter. Tentara mesin itu berhasil menemukan mereka.
Zaak langsung sigap berlutut, wajahnya kotor. “Horatio, sekarang!” Dia menodong AK-47-nya ke depan.
Horatio meringis, berusaha menegakkan badannya. Dia menggeleng, dia tidak ingin meninggalkan satu-satunya keluarganya. Dia berlutut di belakang Zaak. Dia menggenggam liontin kura-kura di lehernya, menutup matanya. Jika dia harus mati, lebih baik mati bersama Zaak. Dia tidak akan meninggalkannya. Sudah beratus-ratus nyawa penduduk Kepualauan yang melayang hanya untuk menjalankan misi mereka ini.
Zaak tidak berkata apapun. Meskipun hal itu terlihat bodoh, satu hal yang Zaak tidak pernah protes adalah keputusan Horatio, meskipun jika berdoa di tengah medan perang sekalipun. Horatio tahu betul itu.
Dan saat robot-robot itu mulai meluncurkan pistol besar mereka ke arah dua insan itu, tiba-tiba mereka bertumbangan. Seperti sebuah mesin yang dimatikan.
Zaak melongo. Horatio membuka matanya. Robot-robot itu sekarang tergeletak tak bernyawa.
Kemudian, di balik abu yang mengepul, sebuah siluet mendekati mereka. Saat siluet itu terlihat jelas, berdiri seorang wanita paruh baya dengan dua tangan bionik di balik jaket kulitnya di depan mereka. Ada sebuah tablet berukuran kecil di genggamannya.
“Ngapain kalian masih di situ??” serunya. “Cepat pergi!”
Mereka berdua langsung lari ke arah pelabuhan, bersama wanita itu. Dengan sebuah tablet di tangannya, entah apa yang dilakukannya, setiap mereka melewati robot-robot itu, dia menekan sesuatu di layar tabletnya dan robot-robot langsung berjatuhan tak bernyawa, seolah-olah dia menonaktifkan mereka.
Mereka sampai di pelabuhan. Saat Horatio dan Zaak menaiki kapal, wanita itu malah bersikeras ingin ikut.
“Cyborg tidak diterima di tempat kami” Zaak menolaknya – meski dia sudah diselamatkan.
“Aku tidak peduli. Tujuanku adalah Kepulauan Vulkan” wanita dengan rambut ekor kuda itu balas menatap Zaak tanpa rasa terintimidasi. “Makanya aku mengikuti kalian.”
Sebelum mereka berdua beradu argumen, Horatio langsung menengahi. “Apa keperluanmu di sana?” tanyanya. Kepualauan Vulkan adalah tempat yang terisolasi. Tidak ada yang pernah tertarik ke tempat tersebut, termasuk para robot militer atau politisi cyborg.
Wanita itu menatap Horatio. Mata sipitnya membesar, menunjukkan iris warna coklat gelapnya. “Aku tahu kalian. Penduduk Kepulauan” ujarnya. “Salah satu Manusia Utuh yang tersisa. Tujuan kalian berkeliaran di tempat-tempat, selain mengumpulkan makanan-makanan kaleng, adalah mengambil buku-buku sejarah dan kitab-kitab agama.” Dia menunjukkan buku di genggaman Horatio “Ensiklopedia sejarah peradaban Maiy. Lahir ratusan ribu tahun yang lalu. Hanya bisa ditemukan bentuk cetakannya di sini. Kalian mengumpulkannya karena sejak Era Robotisme, agama-agama mulai punah, dan sejarah-sejarah mulai terhapus. Aku dengar Kepualaun Vulkan juga tempat para seniman, sejak profesi tersebut pun hampir binasa.” Wanita itu menunjukkan ransel di punggungnya. “Aku juga mempunyai sesuatu yang harus diselamatkan dan disimpan dengan baik. Kepulauan Vulkan adalah tempatnya. Jika aku diterima, aku akan membantu kehidupan kalian. Spesialisasiku adalah komputer dan programming.”
“Kami tidak butuh insinyur lebih banyak” Zaak menimpali – masih tidak setuju. “Sudah ada satu insinyur utama di Kepualauan.” Zaak menunjukkan seorang pria yang menghampiri mereka.
Chuan, pria yang ditunjuk, yang dipanggil ‘Li’ sebelumnya, angkat bicara. “Zaak, tapi aku hanyalah seorang konstruktor. Sudah kubilang, teknologi bukan bidangku.”
“Justru kita tidak butuh teknologi!” Zaak membantah. “Kepulauan kita memang sengaja terisolasikan dari teknologi sialan supaya tidak memancing tentara mesin itu!”
“Tapi di dalam misi kalian, sepertinya kalian tetap butuh teknologi” wanita itu menunjuk radio telepon di pinggang Horatio. Wajah Zaak langsung memerah.
Semuanya, termasuk Zaak dan Chuan melihat ke arah Horatio. Bagaimanapun, Horatio mempunyai kedudukan paling tinggi di antara Lima Utama. Keputusan jatuh di tangannya.
Horatio melihat wanita itu sekali lagi. Dia tidak terlihat cyborg pada umumnya – yang dimana biasanya tiga perempat badannya sudah buatan. Satu-satunya anggota tubuh buatan yang menempel di badannya adalah hanya kedua tangan bioniknya – setidaknya yang masih terlihat. Saat Horatio melihat matanya, ada simpati di balik raut wajahnya, hal yang tidak pernah ditemukan dari para robot dan cyborg umumnya.
Horatio kemudian mengangguk “Kau boleh ikut kami ke Kepualauan Vulkan.”
Kepulauan Vulkan adalah tempat terkumpulnya karya-karya yang sudah punah sejak Era Robotisme, kebanyakan berhubungan dengan seni. Anggota Lima Utama bertanggung jawab untuk menyalurkan bakat seniman mereka. Zaak, seorang strategis, mengajarkan segala ilmu bela diri yang pernah ada. Themara, seorang dokter dan herbalis, mempunyai bakat memasak. Chuan adalah seorang konstruktor yang jago melukis. Aldin adalah mantan aktor yang pintar menyanyi dan bermain semua instrumen musik. Dan Horatio, dia bukan hanya seorang pendeta yang mengajarkan sejarah dan agama saja, dia juga adalah seorang pujangga.
Nama wanita itu Gemi. Sejak kehadirannya, dia membantu banyak dengan pembuatan alat-alat komunikasi dan teknologi untuk menjalankan misi mereka. Gemi berjanji akan mendirikan komputer aman yang database-nya tidak memancing para robot di luar sana. Komputer yang dia dirikan hanya untuk menyimpan ‘sesuatu’ yang telah dia bawa. ‘Sesuatu’ itu tidak dia katakan selama tiga tahun ini – tidak perlu tahu, katanya. Gemi juga orang yang ramah. Meskipun awal keberadaannya tidak disukai oleh penduduk setempat – karena dia adalah seorang cyborg – dia tidak menyerah untuk mengambil hati mereka. Dengan tangan bioniknya, dia mampu melakukan pekerjaan perkakas; membangun atap, memotong kayu, hingga mendorong gerobak penuh bebatuan. Pemikiran penduduk, termasuk Zaak, terhadap seorang cyborg mulai berubah karena Gemi.
Hingga tiga tahun kemudian, robot militer itu tetap datang ke Kepualauan Vulkan, menangkap Gemi. Mereka berkata bahwa Gemi sebenarnya seorang kriminal. Dia adalah seorang hacker yang telah meretas data rahasia kemiliteran. Gemi menyerahkan dirinya, serta mengaku bahwa datanya sudah terhapus. Meskipun semua orang baru mengetahui tentang latar belakangnya, hal itu tidak mempengaruhi penduduk yang sudah terlanjur menyukainya. Zaak bahkan hampir ingin menembakkan robot-robot itu, tetapi Gemi menahannya. Para penduduk akan terluka, katanya. Dan sebelum dia pergi, dia menyampaikan pesan terakhir kepada Horatio, bahwa apapun yang terjadi, buku-buku yang disimpan di pulau ini harus dijaga sebaik mungkin. Karena mereka sama berharganya seperti nyawa manusia.
Dan tiga jam setelah pasukan robot militer itu pergi, tiba-tiba sebuah bencana besar menimpa. Dari stasiun televisi – yang telah Gemi buat – disiarkan bahwa sebuah meteor besar jatuh di sebuah benua. Itu adalah meteor besar kedua yang pernah menimpa planet ini, menghancurkan peradaban. Gempa menjalar di seluruh permukaan, angin topan bertiup ke segala arah, semua gunung berapi meletus, dan atmosfer langit berubah menjadi abu pekat seketika.
Era Robotisme mulai berakhir. Seperti era-era sebelumnya.
Saat ini.
Horatio berada di dalam bungker anti-gempa – dibuat oleh Chuan – bersama penduduk yang berhasil diselamatkan – kebanyakan adalah wanita dan anak-anak. Selain itu, tumpukan buku-buku dan makanan kaleng memenuhi ruangan gelap itu.
Sebelumnya, Themara dan Aldin menemukannya, bersama para penduduk. Themara langsung mengobati luka di lutut kirinya. Aldin mengabari bahwa Chuan tidak selamat dari musibah, dan keberadaan Zaak tidak diketahui. Kemudian, mereka membawa Horatio ke dalam bungker, dan meninggalkannya begitu saja untuk kembali menyelamatkan penduduk lainnya.
Semua orang di ruangan bawah tanah itu gelisah, beberapa mengeluh kesakitan karena luka yang didapat. Meskipun Horatio bukan seorang perawat, dia berusaha untuk mengobati mereka. Semua rekan-rekannya di Lima Utama mencatat ilmu yang mereka punya secara tertulis, dan membukukannya – hal itu adalah permintaan dari Horatio sendiri. Seandainya mereka tiada, setidaknya ada yang meneruskan ilmu mereka. Dan Horatio mampu mengobati para terluka dari salah satu catatan medis Themara.
Sambil mengobati mereka, Horatio membisikkan lantunan doa dengan nada – Aldin mengajarinya menyanyi. Horatio memang hanyalah seorang pendeta dan mempunyai fisik yang lemah, tapi dia mempunyai bakat yang bisa mempelajari segalanya, selama semuanya itu tertulis.
Terdengar suara pintu kolong yang dibuka, membuat secercah cahaya memasuki ruangan itu. Horatio terpana ketika melihat siapa yang masuk.
Gemi.
Dia melompat ke bawah, sambil disambuti sorakan warga yang melihatnya. Dia menyalakan senter “Kalian semua baik-baik saja, kan?” Meskipun situasi masih kacau – terdengar deruan angin dari luar serta ruangan yang bergetar karena gempa – Gemi berusaha tersenyum ramah meskipun dengan kondisinya. Wajahnya penuh luka. Bercak-bercak darah mengotori bajunya.
Dan tangan kiri bioniknya…tidak ada.
Gemi sigap menghampiri Horatio. “Kau harus ikut bersamaku.” Dia langsung menarik Horatio, membawanya ke ujung ruangan, mendekati sebuah pintu kolong lainnya.
Gemi membukanya dengan satu tangannya yang tersisa. Horatio membantunya mengangkat daun pintu. Dia tahu ruangan apa yang akan mereka masuki. Saat Horatio berhati-hati menuruni tangga, dia mendapati monitor-monitor besar di dinding, hampir memenuhi ruangan. Belalai kabel yang besar berserakan dimana-mana. Ini adalah tempat ruangan komputer Gemi yang dia bangun sendiri tiga tahun yang lalu.
Gemi memberinya belati. Horatio tertegun. Itu adalah belatinya Zaak.
“Tidak ada yang selamat” katanya lirih. “Termasuk kakakmu.”
Horatio hanya diam. Dia tahu pasti akan terjadi. Lagipula, apa yang diharapkan dari bencana sebesar ini? Dia memegang liontin kura-kuranya. Alam sedang marah. Tuhan sedang marah. Matanya mulai basah menahan kepiluan.
Sudah terlalu banyak konflik dan peperangan di planet ini.
“Bungker ini, kata Chuan”, Gemi membuka mulutnya lagi, berjalan ke arah monitor, “adalah tempat teraman saat ini. Bahkan, jika bencana besar ini berakhir, kita yang di dalam sini mungkin satu-satunya manusia yang bertahan.”
“Pun, jika kita semua selamat”, suara Horatio serak, “apa selanjutnya?”
Gemi terdiam, tapi tidak menoleh. “Terus melanjutkan membangun peradaban.”
Gemi mulai mengutak-atik komputer besarnya itu dengan satu tangannya. Layar para monitor bergantian warna. Gerakannya terhenti saat monitor-monitor itu menunjukkan serangkaian gambar. Teknologi-teknologi mutakhir, serta alat persenjataan modern.
“Ini adalah database kemiliteran yang aku curi lima tahun yang lalu” dia masih menatap ke arah monitor. “Mereka ingin menghapus data-data ini.”
“Barang-barang itu” Horatio ikut menatap layar-layar besar itu. “Mereka adalah senjata yang digunakan di Era Perang Dunia sejak ribuan tahun yang lalu sampai di abad sebelumnya, yang Ketujuh. Memusnahkan sepertiga populasi dunia.” Dia melirik ke arah Gemi, suaranya meninggi “Kenapa tidak kau biarkan mereka menghapus data-data ini? Kenapa kau berbohong saat itu? Bahkan, kenapa kau tidak menghapusnya saja??” Dia berdecak karena gusar.
Gemi terdiam. “Menghapus data-data ini sama saja dengan menghapus sejarah sendiri.”
Kemudian, dia membalikkan badannya untuk bisa melihat Horatio sepenuhnya. Wajahnya sendu, tetapi penuh harapan yang Horatio tidak bisa tebak alasannya. “Horatio”, panggilnya, “apakah kau tahu apa yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya di muka bumi ini?”
Horatio memilih diam, menenangkan amarahnya. Dia hanya ingin mendengarkan kalimat wanita itu selanjutnya. Dibanding Gemi, harapan miliknya sudah kandas. Terhadap masa depan. Terhadap umat manusia. Tehadap sekadar bertahan hidup.
“Kemampuan untuk menyalurkan perasaan kita menjadi suatu kreasi.” Senyuman kecil terbingkai di bibirnya. “Emosi dasar seperti kesedihan atau bahagia dengan seni. Kesejahteraan dengan inovasi dan ekonomi. Dan harapan dengan agama. Dan yang paling penting, kebebasan, dengan perjuangan dan sebuah esensi dari bertahan hidup. Yang kadang harus dilaluinya dengan tumpah darah oleh sesama, seperti sejarah-sejarah di Era Perang itu. Semua karya manusia bisa saja terhapus tanpa meninggalkan jejak, tetapi emosi kita masih akan tinggal di dalam raga ini. Pada akhirnya, konflik dan peperangan pasti selalu terjadi, selama umat manusia juga masih ada. Sebuah keindahan, tapi juga kutukan. Seperti dua sisi mata koin.
“Untungnya, alam semesta tidak sesederhana mata koin. Di antara hitam dan putih masih ada jembatan. Abu-abu. Apa artinya sisi abu-abu ini? Penerimaan. Sebagai manusia, kita punya dua pilihan; menerima bahwa kita memang diciptakan seperti ini sambil melihat kegelapan itu di belakang, atau hanya berjalan dan menatap ke depan dan kegelapan yang sama akan terulang kembali tanpa disadari.”
“Sebagai salah satu umat manusia, kau telah memilih menyimpan kreasi manusia yang telah punah”, dia menunjuk layar monitor, “termasuk aku, dengan teknologi-teknologi ini. Untuk menunjukkan generasi selanjutnya, bahwa jika suatu saat masa kelam seperti di Era Robotisme atau era lainnya terjadi lagi, setidaknya kita sudah mengetahuinya, bahwa inilah kita, yang tidak melupakan sejarah umat sendiri. Inilah kita, manusia.”
Gemi berjalan mendekati Horatio, sampai jarak mereka hanya semeter. Dengan gerakan patah-patah, tangan kanan bioniknya menggenggam tangan ringkih Horatio. “Tolong bertahanlah, Horatio. Menjaga semua ini. Supaya mereka tidak terlupakan.”