Kayu dan Lilin (2022)

an Indonesian short story

genre: fairy tale

Kayu dan Lilin sudah bersahabat sejak mereka masih menjadi bahan mentah. Mereka bertemu pertama kali di sebuah meja panjang. Saat itu, Lilin masih sebagai sepetak parafin. Ia tidak sendirian; ada pisau, gergaji, beberapa helai kain dan tisu, pot, dan benda-benda lainnya yang tidak bisa ia sebut satu per satu. Toh mereka enggan berinteraksi dengannya. Maka, Lilin memilih diam, sampai ketika ada sepotong benda berpetak sepertinya muncul di sisinya. Ukurannya serupa, bahkan sampai lekukan sudutnya persis seperti Lilin. Bedanya, jika Lilin bewarna putih, benda tersebut bewarna coklat.

“Halo,” Lilin patah-patah menyapanya duluan, tidak peduli jika sapaannya tidak dibalas – toh ini bukanlah kali pertamanya.

“Oh, hai!” Benda coklat itu ternyata membalasnya.

Lilin terkesiap. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa, yang jelas ia berfirasat benda ini akan menjadi teman bicaranya.

“Kau persis seperti aku,” katanya. “Apakah kau juga Lilin?”

Benda itu terdiam sesaat. Kemudian, “Tidak. Namaku Kayu.“

“Kayu?” Lilin bergumam. Ia tidak mengerti arti nama dibaliknya, mungkin jika benda seperti dirinya bewarna coklat, namanya kayu. Jika putih, lilin.

Dari percakapan bertukar nama menjadi percakapan bertukar latar belakang dan asal. Kemudian bertukar hal-hal yang menarik perhatian mereka, seperti gergaji sebelah mana yang menurut mereka paling banyak giginya, atau pot mana yang paling besar. Mereka terus saling bertukar informasi satu sama lain, mulai dari lukisan favorit di dinding hadapan mereka sampai ke pandangan mereka mengenai kehidupan. Semakin lama mereka mengenal satu sama lain, maka semakin berat pembicaraan mereka. Banyak hal yang Lilin lihat tidak sama seperti apa yang Kayu lihat, seperti gergaji bergigi sepuluh itu bagi Kayu adalah gergaji dengan gigi terbanyak, meskipun gigi yang dimilikinya jauh lebih besar dibandingkan gergaji bergigi dua puluh lima sebagai pilihan Lilin. Tetapi tidak dipungkiri mereka memiliki pandangan yang sama, misalnya seperti pandangan hidup. Lilin dan Kayu saling menyutujui, bahwa mereka hidup semata-mata untuk membahagiakan seseorang.

Mereka terus berbicara sampai mereka berubah bentuk. Yang awalnya mereka hanyalah sebatang parafin dan sepotong papan, sekarang mereka berubah menjadi sepasang manusia. Bentuk mereka masih sama; seorang musisi berbaju warna-warni dengan biola di pundak. Bedanya, Manusia Lilin memiliki wajah dan tanga berwarna putih, sedangkan Manusia Kayu berwarna coklat. Ada seuntai sumbu di atas pucuk kepala Lilin yang tidak dimiliki Kayu.

Sekarang, mereka berada di sebuah meja. Tidak ada gergaji atau pot di sekitar mereka. Meja tersebut juga tidak besar, hanya memuat mereka berdua. Sejak mereka berada di meja tersebut, mereka sudah tidak saling berbicara. Tidak ada yang perlu diberitahukan dan ditukarkan. Lilin sudah mengenali Kayu layaknya mengenali diri sendiri, begitu pun sebaliknya. Jika ada hal yang Kayu tidak ketahui tentang Lilin, berarti Lilin memanglah belum mengetahuinya saja, begitu pun sebaliknya. Namun, seperti sepasang saudara kembar dengan kesamaannya, pada akhirnya mereka tetaplah dua manusia yang berbeda. Begitu juga dengan Kayu dan Lilin.

Saat mereka mulai berbicara kembali, pembicaraan mereka malah menjadi hanya satu arah. Kayu mendominasi pembicaraan, bahkan ada di satu waktu Lilin tidak berbicara sama sekali. Karena pembicaraan kali ini bukan berasal dari ketertarikan yang sama atau pandangan yang berbeda. Pembicaraan kali ini adalah mengenai perasaan; suatu perasaat yang Kayu miliki…tetapi tidak dengan Lilin.

Kayu merasa pencapaian hidupnya, membahagiakan seseorang, sudah teraih.

“Rasanya…seperti kau puas. Terus-menerus puas,” cerita Kayu suatu hari saat Lilin menyuruhnya menjelaskan perasaan tersebut. “Terus, kau juga merasa lega. Seolah-olah apapun yang terjadi di masa depan, kau tidak perlu khawatir lagi. Karena apa yang ingin kau lakukan…sudah terlaksana. Dan kau bisa beristirahat dengan tenang.”

Perasaan yang Kayu ceritakan mungkin adalah suatu hal yang tidak bisa dibayangkan oleh Lilin. Dan semenjak itu, Lilin memilih diam, karena ia merasa tidak ada lagi yang bisa mereka saling bagi. Perasaan yang Kayu miliki entah kapan bisa Lilin miliki. Atau…mungkin tidak akan bisa ia miliki.

Hingga, saat kobaran api muncul di atas pucuk kepalanya.

Kobaran api itu membakar untaian sumbu. Sumbu mulai menghitam, disertai dengan kobarannya yang semakin besar. Panasnya melahap sumbu, kemudian kepala Manusia Lilin. Pucuknya berbuah menjadi genangan lilin yang meleleh, kemudian mata dan hidungnya bersatu dengan lelehan tersebut.

Saat kepala Lilin menghilang sepenuhnya, ia baru memahami seperti apa perasaan yang selalu Kayu sebut.

“Lilin!!” Menyaksikan Lilin yang mulai kehilangan bentuknya, Kayu berseru panik. “Apa yang terjadi denganmu? Mengapa bentukmu makin lama makin menghilang?”

Kobaran api semakin melahap badan Lilin, kali ini biola beserta pundaknya sudah musnah. Namun, justru Lilin bergembira. Ia tidak sabar ingin bertukar pembicaraan kembali kepada Kayu seperti dahulu kala. Saat rupa mereka masih sekedar benda bersegi empat. Saat warna yang mereka miliki hanyalah satu warna. Saat meja yang mereka tempati dipenuhi barang-barang lainnya dengan aneka rupa mereka. Lilin merindukan masa-masa itu. Dan ia ingin hal itu terulang kembali, meskipun kali ini tidak akan abadi.

“Aku akhirnya mendapatkan Perasaan!!” seru Lilin di tengah-tengah kobaran api yang telah melelehi setengah badannya. “Aku puas. Aku juga lega! Aku sekarang punya Perasaan sepertimu, Kayu!”

Kayu justru semakin panik, melihat sahabatnya yang rupanya perlahan mulai menghilang. Andai saja ia bisa menghentikan kobaran api. Sayangnya, api itu adalah musuhnya. Ia bisa saja membiarkan dirinya terbakar seperti Lilin, tetapi hal itu sangat bertolak-belakang dengan pandangan hidupnya. Jika ia terbakar, ia tidak akan membahagiakan seseorang, melainkan menyengsarakan seseorang.

Maka, membiarkan Lilin sekarang tinggal kakinya saja, Kayu menangis tersedu-sedu.

“Kayu,” panggil Lilin. “Mengapa kau bersedih? Harusnya kau turut bahagia, karena sekarang kau tidak sendirian lagi memiliki Perasaan. Aku bisa menemanimu kembali!“

Kayu terisak, berusaha berucap di balik air matanya. “Tujuan hidup kita kan…sama. Tapi…tapi…kenapa cara untuk meraihnya harus berbeda?”

“Karena aku bukan Kayu. Aku kan Lilin.”

Kayu tertegun.

“Kau tahu…” suara Lilin ikut parau, meski tidak ada air mata yang terlihat darinya karena rupanya sekarang tinggal kakinya saja. “Aku…sebenarnya sudah senang, punya sahabat sepertimu yang selalu berada di sisiku. Kita memang berbeda, tapi kita juga memiliki kesamaan…seperti rupa kita sekarang, tentu saja sebelum api muncul. Dan kau tahu, apa yang membuatku berada di puncak kesenanganku?”

“Apa, Lilin?” Kayu merengek kembali. “Cepat katakanlah, kawan!”

“Aku berada di sisimu saat kau telah meraih tujuan hidupmu. Begitu pun sebaliknya.”

Saat itu rupa Lilin terbakar sepenuhnya kecuali sisa sumbu di dalam segelintir genangan lelehan lilin. Kayu berusaha menghentikan isakannya. Ia terdiam, seperti Lilin yang terdiam saat dahulu Kayu asik menceritakan tentang Perasaan. Seperti Lilin yang saat itu turut bahagia atas pencapaian sahabatnya, Kayu juga berusaha turut bahagia. Meski caranya berbeda, atau meski bahkan caranya tidak masuk akal bagi Kayu, jika hal tersebut membuat Lilin bahagia, Kayu akan menerimanya. Menerima sahabatnya ini dengan rupanya yang semakin hilang, bersamaan dengan kobaran api yang perlahan mulai mengecil.

“Kayu,” bisik Lilin, “terima kasih sudah menemaniku…“

Kemudian suara Lilin senyap, bersamaan dengan api yang padam. Menyisakan seuntai asap yang melambung tegak lurus ke atas sana. Membawa pesan terakhir Kayu yang tidak ia utarakan dengan kata-kata, melainkan dengan sebuah perasaan. Perasaan bahagia…yang sebenarnya bukan berasal dari kepuasan dan kelegaan atas pencapaian hidupnya, melainkan perjalanan hidupnya yang diisi oleh masa-masa indahnya bersama Lilin.

+++

+++

tamat

Previous
Previous

Kasih Ibu Menyinari (2022)

Next
Next

Sejarah yang Terlupakan (2020)