Kasih Ibu Menyinari (2022)

an Indonesian short story

genre: psycho-thriller, fantasy

Kasih ibu. Kepada beta. Tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi. Tak harap kembali. Bagai sang surya menyinari...menyinari...menyinari–

Lenyap. Lantunan lagu ciptaan SM Mochtar itu tidak pernah selesai setiap kaset koleksi lagu nasional itu disetel. Aku tahu lirik selanjutnya. Menyinari dunia. Entah apa arti dari kata-kata menyinari dunia. Sinar. Cahaya. Surya. Matahari. Sesuatu yang tidak pernah kurasakan sebagai seseorang yang sejak lahir langit tertingginya adalah loteng rumah berhiaskan lampu bohlam menjuntai yang...hanya sebatas hiasan. Katanya lampu tersebut bisa bersinar, tapi aku tidak pernah melihatnya bersinar. Jika aku bertanya kepada Ibu apakah lampu itu bersinar, Ibu langsung membentakku. Sejak saat itu, aku tidak akan bertanya kepadanya. Aku tidak ingin melukai hatinya dengan pertanyaan konyolku.

Aku mengambil sapu. Hari ini tugasku membersihkan rumah. Aku bersenandung menyanyikan lantunan Kasih Ibu sambil pelan-pelan menuntun sang ijuk berdansa mendorong debu-debu ke dalam serokan. Harus sepelan mungkin menggoyangkannya, kalau tidak debu-debu itu akan beterbangan ke udara. Mengamati debu-debu halus itu mengambang di udara bukanlah pemandangan indah. Ibu tidak bisa melihatnya, makanya aku akan berusaha untuk menjaga rumah sebersih mungkin, dimana satu helai debu pun tidak akan tampak di mataku.

Sama seperti saat aku mengusap perabotan dengan kemoceng. Butiran debu itu langsung berdansa di udara. Aku bersin, kadang hidungku tak sengaja menghirupnya. Tapi kemudian aku bisa melanjutkan aktivitasku, dimana kalau Ibu yang bersin hidungnya langsung berlendir atau matanya berair. Debu-debu itu perlahan berjatuhan ke ubin lantai. Aku mengusapnya sekali lagi dengan sapu.

Akhirnya rumah bersih kembali. Gelap. Hanya siluet dari perabotan dan benda-benda di sekitarnya yang terlihat. Duniaku selalu sehitam ini. Tidak ada matahari, surya, lampu, penerangan, apapun itu yang bisa menyinari dunia. Tapi aku tahu bahwa rumah ini sudah bersih, karena aku bisa melihatnya.

Meskipun aku sudah hidup dengan kegelapan, aku tahu bahwa matahari itu ada, dan keberadaannya berada di atas atap rumah ini. Jika Ibu datang, ada sebercak putih memasuki ambang pintu. Pintu…Ibu selalu melarangku mendekati benda itu, bahkan satu-satunya benda yang tidak boleh kubersihkan dengan kemoceng. Jika aku mendengarkan gesekan daun pintu – pertanda bahwa dia memasuki rumah – aku tidak boleh bergegas mendatanginya. Aku hanya boleh mendekatinya saat rumah gelap kembali, tidak ada bercak putih itu di antara kami.

Tapi, tetap saja aku penasaran dengan bercak putih itu. Rasa penasaran ini tidak salah, bukan? Ibu tidak pernah menjelaskan apa bercak putih itu, dia hanya menyuruhku untuk tidak melihatnya, bahkan mendekatinya. Sebenarnya…Ibu tidak pernah menjelaskan apapun. Seperti, mengapa aku tidak boleh menyentuh pintu. Mengapa aku tidak boleh meninggalkan rumah seperti dia yang tiap hari meninggalkan rumah. Mengapa aku mesti beranjak dari kasur jika aku mencium aroma masakannya dan kembali ke kasur jika dia kembali datang ke rumah dari dunia luar itu dengan kantong kresek berisikan bahan-bahan makanan. Aku tahu betul dunia ini sebenarnya tidak hanya sebatas empat dinding dengan lantai ubin di bawah kakiku dan atap berhiaskan lampu bohlam di atas kepalaku. Ibu mengenaliku lagu-lagu nasional dari kaset itu. Ibu mengajariku cara membaca buku-buku dan menghitung jumlah bawang dan wortel yang tersisa di dapur. Ibu pun memberitahuku nama setiap benda yang bisa kulihat, termasuk debu yang Ibu tidak bisa lihat, dan pintu yang aku tidak boleh sentuh.

Aku tahu Ibu tidak pernah menjawab semua pertanyaanku karena hal tersebut adalah bentuk kasihnya. Tapi, di dunia hitam ini, aku ingin merasakan lebih banyak rasa kasihnya…yang katanya bagai sang surya menyinari dunia.

Jika aku ingin keluar, maka aku harus keluar sebelum Ibu. Ibu sepertinya beranjak dari kasur lebih dulu daripada aku, karena setiap aku beranjak dari kasur, aku selalu menemukannya sudah berdiri di dapur dengan wajan menggoreng telor dan sayuran. Berarti sebelum aku bangun, Ibu sudah bangun terlebih dahulu.

Maka, hal pertama yang mesti kulakukan adalah bangun sebelum aroma masakan Ibu muncul. Itu bukanlah aktifitas yang mudah. Selama ini, badanku sudah menyesuaikan ritmus tidurku; tidur saat Ibu telah sampai dari dunia luar itu, bangun saat Ibu memasak. Beberapa hari, aku selalu terbangun saat Ibu sudah berada di dapur.

Kemudian, suatu hari ritual membersihkan rumahku lebih cepat dari biasanya, dan saat itu badanku letih, sungguh letih…dimana aku memutuskan untuk menaiki kasur tanpa menunggu Ibu datang. Keesokkan harinya, aku terbangun sebelum aroma masakan Ibu tercium. Yang membangunkanku adalah gerakan pisau Ibu menyentuh tatakan.

Berarti, cara untuk bangun lebih dulu adalah tidur lebih dulu. Sejak hari itu, aku memutuskan untuk selalu membersihkan rumah sampai semua tenagaku terkuras yang bahkan untuk membuka kelopak mata pun tidak bisa. Aku menyapu, mengusap perabotan dengan kemoceng, mencuci baju, menyikat peralatan masak, bahkan ritual membersihkan rumah itu yang awalnya perlu dilakukan sekali jadi berulang kali. Aku tetap menyapu meski debu-debu tersebut sudah tidak tampak lagi. Toh, Ibu tidak bisa membedakan apakah lantai disapu sekali atau lima kali.

Melihatku selalu terlelap saat Ibu memasuki rumah tanpa pernah membangunkanku, sepertinya Ibu tidak tahu rencanaku ini. Di saat sarapan, aku bahkan mendapatkan porsi lebih banyak supaya badanku tidak gampang lelah, katanya. Bahkan dia memberikan potongan sayuran dan telornya kepadaku.

+++

Aku terbangun. Sebelum aroma masakan tercium. Sebelum hentakan pisau di tatakan bergema. Sebelum langkahan kaki Ibu melewati pintu kamar.

Sunyi. Satu-dua butir debu mengambang di udara. Sunyi. Tidak ada suara sapu atau kemoceng mengusap permukaan. Sunyi. Tidak ada suara kiciran air menerpa pakaian basah. Sunyi. Sunyi sekali. Apakah rumah selalu sesunyi ini tanpa kaset lagu itu berputar?

Aku beranjak dari kasur. Berjinjit, mendorong pintu sepelan mungkin supaya tidak berderit. Lengang. Hanya perabotan yang menyambutku. Bahkan di dapur pun belum ada wajan atau sayuran di atas tatakan.

Aku mendekati pintu kamar Ibu. Langkahan Ibu tidak terdengar di baliknya. Sepertinya bahkan Ibu belum beranjak dari kasur. Aku tersenyum…perlahan sunggingan bibirku melebar. Belum pernah aku tersenyum dan mengeluarkan gigiku sepenuhnya, bahkan di saat menyambut Ibu pulang atau mendapatkan porsi sarapan tambahan darinya. Hatiku berdegup kencang. Rencanaku berhasil. Berhasil!!

Sebuah kunci tersemat di gagang pintu. Kunci itu…jika diputar, pintu ini tidak akan mampu dibuka.

Langkahan Ibu mulai bergema.

Aku cepat memutar kunci. Langkahan Ibu berubah menjadi hentakan kaki. Dia awalnya memanggil-manggil namaku, dan saat dia berusaha memutar gagang dan pintu tidak terbuka, panggilan lembutnya seketika berubah menjadi teriakan. Gedoran pintu juga menyusul, bersahutan dengan seruannya, seolah-olah tangannya berusaha ingin membolongi permukaan pintu. Debu-debu yang menempel beterbangan ke arahku.

Aku melangkah mundur, senyumanku hilang. Ibu memang sering membentakku, tetapi belum pernah suaranya semelengking ini, seolah-olah bukan hanya ingin memanggilku, tetapi mengoyakkan daun telingaku. Aku cepat menutup telinga dengan kedua tangan, tetapi tetap saja seruannya masih terdengar. Suaranya kali ini serak, mungkin berusaha memanggilku bahkan jika harus memutuskan pita suaranya sekalipun. Tetapi suaranya justru semakin menggetarkan pintu. Menggetarkan dinding. Menggetarkan perabotan dan lampu yang tergantung di atap.

Aku melirik ke samping. Pintu rumah, permukaan dengan debu terbanyak di sini, berdiri tak jauh dariku. Gagangnya seperti sebuah tangan yang melambai-lambai kepadaku.

Aku berpaling dari pintu terkunci itu. Aku ingin pergi dari sini. Kegelapan ini yang awalnya menjadi surgaku berubah menjadi nerakaku karena teriakan menusuk itu. Dengan kaki bergetar, aku mendekati pintu berdebu itu. Aku mengangkat tangan, jantungku semakin berdetak cepat, butiran keringat mulai bermunculan di dahi, teriakan tersebut semakin mencekikanku…

Aku menggenggam daun pintu.

Kasih ibu, kepada beta…

Sambil berbisik melantunkan lagu itu, aku mendorong pintu. Debu-debu yang seketika menghujaniku perlahan-lahan musnah saat bercak putih mulai memasuki rumah…dan perlahan memusnahkan kegelapan rumah. Sentuhannya menghangatkan wajah.

Aku melangkah keluar. Telapak kakiku yang selama ini menginjak ubin dingin ikut terlena dengan kehangatan yang berada di permukaan bewarna putih ini. Tidak ada lampu dan atap di atas kepalaku. Bahkan tidak ada batasan di atas kepalaku. Hanyalah permukaan bewarna putih sejauh mata memandang.

Aku menatap ke hadapan. Tidak ada perabotan, atau dinding, atau pintu. Atau bahkan debu yang tampak. Hanya sebuah pemandangan hampa…bewarna putih…yang hangat. Sebuah kehangatan…dari ruangan tanpa batasan bewarna putih ini.

Apakah semua ini berasal dari sang surya? Sang surya…yang menyinari…menyinari…

Sebentar. Apakah dunia selalu seputih dan sekosong ini?

+++

+++

tamat

Next
Next

Kayu dan Lilin (2022)