Berkat Nasi yang Menangis (2022)
an Indonesian short story
genre: fantasy, comedy
Siapa bilang nasi yang tidak dihabiskan akan menangis hanyalah mitos belaka? Aku bisa mendengarnya! Dahulu, ingat sekali aku saat aku masih kecil. Teman-temanku dari tetangga sebelah berkata bahwa mereka akan dihardik orangtuanya kalau makanan mereka tidak dihabiskan. Hal tersebut tidak pernah berlaku di rumahku. Malahan aku yang dahulu menghardik ibu-bapakku. Dan mereka selalu punya alasan. Bapak buru-buru harus pergi ronda. Ibu tidak mau terlewat menonton jadwal sinetronnya. Kami selalu saja bertengkar, berkali-kali kubilang, “Habiskan nasi Mbok!“ Sambil mendengar tangisan adik karena suara keras kami. Serta tangisan para sisa nasi di piring mereka berdua.
“Huwaaa!!”
Lagi-lagi ada pelanggan yang tidak menghabiskan nasinya. Aku berdecak, mematikan kompor gasku dan meninggalkan gerobak. Tampias hujan dari tenda membasahi sebelah lenganku. Di hari hujan biasanya tidak begitu banyak pelanggan yang berkunjung, jadi harusnya aku bersyukur grup geng motor itu datang ke sini sebagai pelanggan pertamaku – bahkan mungkin yang terakhir. Tapi, masalahnya suara nasi menangis berisiknya minta ampun. Bayi kembar lima tetanggaku saja kalah berisiknya kalau mereka menangis secara bersamaan.
“Dek!” Aku merapikan tujuh piring nasi yang bersisa semua di meja. “Nasinya nggak dihabisin?”
Suara motor moge mulai berderu mengalahi suara hujan yang semakin deras. “Buru-buru, Pak!” kata seorang pria dengan rambut bagian poni bewarna pirang menutupi setengah wajahnya – warna rambut belangnya mengingatkanku akan warna sapu ijuk tetanggaku. “Uangnya di atas meja, ya!”
Ada selipan lembaran lima puluh ribu di balik piring dimana si nasi menangis paling keras. Aku menyerngit – telingaku sakit, “Kelebihan uangnya!”
“Baliknya buat Bapak!” seru si pria berambut sapu ijuk sebelum memakai helm. Kemudian, deruan knalpot motor moge menenggelamkan tangisan para nasi, serta asapnya yang memenuhi udara tapi langsung dibasuh oleh tangisan bumi. Setelah tujuh motor itu mulai menghilang, pekikan tangisan nasi mulai mendominasi kembali.
Aku mengambil handuk yang tergantung di bahu, mengelap dahi yang tidak berkeringat. “Yaudah, lah, anggap aja rejeki…” Tapi tetap saja dengan harga mahal yang harus dibayar. Membuang para nasi menangis itu dari tujuh piring sekaligus. Dan pekerjaan ini adalah hal yang paling kubenci. Membuang para nasi itu ke tong sampah…dan tangisan mereka akan masih menggema sampai bau busuk mulai muncul. Semakin busuk udaranya, semakin mereda tangisan mereka. Hingga mereka berhenti menangis jika gerombolan lalat atau kucing liar mendekat.
“Manusia jaman sekarang. Selalu buru-buru!!“
Aku menghentikan gerakanku saat ingin membuang sisa nasi di piring terakhir. Nasi tersebut yang menangis paling keras. Tapi ini pertama kalinya aku mendengar mereka berbicara selain tangisan.
Aku memegang piring, menatap si Nasi yang tidak punya mata itu. “Nggak jaman sekarang aja. Jaman bapaknya bapakku dulu orang buru-buru makan karena takut ditembak penjajah.”
“Emang buru-buru kenapa, sih?“ suara Nasi melengking. “Umur aja panjang. Nggak kayak punya kami.”
Aku celingak-celinguk. Tidak ada orang yang lewat. Baiklah, aku meletakkan piring itu di sebelah wajan. Terlalu lama hidup menyendiri, jarang sekali punya teman mengobrol seperti ini. Meskipun hanya dari butiran sisa nasi goreng masakanku. Dan dengan latar derasnya hujan, gemuruhan petir dan sayup-sayup tangisan para nasi yang sudah terlanjur berada di tong sampah.
“Pasti karena benda petak itu! Yang ditempel di telinga!” si Nasi masih bergerutu di atas kepalaku dimana aku sedang berjongkok mencuci piring-piring.
“Benda petak? Ditempel di telinga?” Aku mengelap dahi dengan tangan berbusa. “HP maksudmu?”
“Mana kutahu. Pokoknya itu, lah!” Nasi terdiam. “Sambil manggil-manggil Pak Bos. Segera ke sana, kata mereka.”
“Mau kemana emang?”
“Hmm…” Nasi terdiam lagi. “Rapat, katanya. Buat curi emas Bu RT nanti malam.”
+++
Para polisi terdiam mematung setelah mendengarkan laporanku. Aku hanya menggarukkan kepala yang tidak gatal. Derasnya hujan membuat kaos oblongku basah, serta sendal jepit yang bunyinya melengking setiap bergesekan dengan ubin lantai.
Pak Polisi dengan kumis beruban yang pertama kali buka suara, “Tahu darimana Bapak?”
Aku melirik si Nasi yang kumasukkan ke dalam kotak makan – biarkan saja aku yang basah, yang penting bukan si Nasi. Aku berdeham, “Nguping, Pak.”
“Eh,” Pak Polisi tanpa kumis bercelutuk. “Bapak bukannya Pak Edan, ya? Nasgor Pangkal Lima Pak Edan?”
“Ooh…ini yang punya nasgor pangkalan itu?” ujar polisi lainnya. “Langganannya si Revi itu?”
“Iya…yang katanya enak. Tapi yang masak agak gila.“
“Gila kenapa emang?”
“Kalo nasgornya nggak dihabisin langsung marah-marah.”
Para polisi itu tertawa. Aku menggarukkan kepalaku sekali lagi. Tampias hujan perlahan membasahi ubin lantai. Hujan semakin deras. Langit semakin gelap. Dan para polisi sepertinya semakin tidak percaya.
“Anu, maaf nih, Pak Edan,” Pak Polisi berkumis uban akhirnya berbicara kembali. “Pertama, nggak mungkin ada orang yang nyimpen batangan emas di rumah, toh? Apalagi orang sekelas Bu RT. Terus, ya, kata Bapak kan perawakan geng motornya terlihat kayak anak umur dua puluhan…” dia berdecak, “Pasti Bapak salah dengar. Anak-anak muda kayak gitu, apalagi yang bergeng-gengan naik motor, ngomongnya suka ngelantur itu. Gaya setinggi langit, motor segeda gaban, tapi dicubit dikit aja nangisnya ngalahin cucu saya yang masih bayi.”
“Iya, Pak Edan, nggak usah digubris…” tambah lainnya, menebas tangannya seolah-olah segerombolan lalat mengitari kepalanya.
“Ngomong-ngomong, Pak,” Pak Polisi berwajah mulus menunjuk-nunjuk kotak makanannya, “katanya Bapak suka marah-marah kalo ada yang nggak habisin makanan. Tuh, bekal istri nggak dihabisin?”
Aku menghela nafas, berdiri, siap-siap menebas hujan sekali lagi tanpa payung. Aku mengambil kotak makanan. “Nggak punya istri, Mas. Dan ini bukan bekal saya, tapi saksi saya.”
Lima jam setelahnya, aku sudah bersembunyi di balik pohon dekat rumah Bu RT. Hujan sudah mereda sejak lalu, kaos oblongku sudah mengering. Mungkin benarlah kata para polisi itu, aku sedikit gila. Buktinya aku rela menutup daganganku malam ini karena sisa nasi pelangganku memberitahuku bahwa ada pencurian di rumah Bu RT. Dan sisa nasi itu masih kutenteng. Kumasukkan dalam kotak makan Tupperware hadiah lebaran tetanggaku pula!
“Awas aja kalo kau hoax,” decakku. “Udah kebanyakan dapat berita hoax di grup WhatsApp keluarga. Nggak usah ditambahin sama omongan yang keluar dari nasi sisa!”
“Hoax?” lengkingan suara si Nasi memecah sunyinya malam. “Apa pula hoax itu? Lagian, kenapa bela-belain percaya aku?”
“Setidaknya sebelum ajal kau dekat, aku ingin buktiin omongan kau.”
“Hah? Ajal?”
“Dibuang maksudku.”
Nasi terdiam – sesaat malam sunyi kembali. “Oh gitu,” suaranya merendah. “Kayaknya udah mulai dekat, sih, ajalku. Udah mulai lengket badanku.”
Aku melotot. “Secepat itu?? Padahal kubela-belain kau kumasukkan ke dalam Tupperware!”
“Oh…ternyata Pak Edan beneran bisa ngomong sama nasi?”
Aku spontan terjungkal. Seorang wanita tengah dua-puluh berseragam polisi sudah berjongkok di sampingku. Entah kapan datangnya.
“Mbak…Mbak Revi?” panggilku. “Ngapain di sini, Mbak?”
Revi tertawa cekikikan. “Tadi pas Bapak datang ke kantor aku nguping. Katanya ada pencurian di rumah Bu RT malam ini.”
Aku menepis tanah dari pantat celanaku, berjongkok kembali. “Percaya Mbak sama omongan saya?”
“Nggak tahu, sih. Lagi gabut aja aku sebenarnya,” Revi mengangkat bahu. “Tapi saya kan langganan nasgor Bapak. Lagian, yang suka marah-marah kalo makanan nggak dihabisin bukan Bapak aja kali, tapi orangtua saya juga gitu. Eh tapi, dengar-dengar rumor di Pangkal Lima, katanya Bapak emang bisa dengar nasi bicara, ya? Katanya suka dengar nasi nangis.”
Aku memalingkan wajah, menatap kembali halaman rumah Bu RT tanpa mobil jeep-nya. “Kalo saya bilang iya, emang Mbak percaya?”
“Percaya-percaya aja, sih.”
Aku menoleh cepat. “Secepat itu??”
“Aku aja percaya sama cerita takhayul nenekku. Apalagi cerita Bapak bisa ngomong sama nasi.”
Suara tapak kaki mendekat. Jalanan di hadapan mereka gelap, namun sumbernya berada dari sana. Suara tersebut perlahan semakin dekat, hingga segerombolan siluet mulai tampak. Tujuh orang berpakaian hitam dan wajah ditutup kain.
Aku bergeming. Salah satunya memiliki rambut dengan poni pirang menutupi sebelah wajahnya.
“Pak,” Revi ikut tercengang. “Beneran itu grup pencurian yang Bapak maksud?” Dia perlahan meraih protofon. “Pak, tunggu sini, biar kuberitahu yang lain–”
Aku melompat keluar. Tidak mempedulikan panggilan panik Revi, aku segera berlari menuju halaman rumah Bu RT. Juga tidak mempedulikan keluhan si Nasi yang terguncang-guncang di dalam Tupperware berteriak, gempa bumi, gempa bumi!!
“Heh!!” Aku berseru, mencegat tujuh orang berpakaian hitam itu yang hampir membobol pintu. “Mau curi kalian, hah? Pasti mau curi emasnya Bu RT!!”
Hanya hembusan angin malam terdengar. Aku bergeming. Tujuh orang itu bergeming. Si Nasi pun bergeming.
Kemudian, geng pencuri itu mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Celurit.
Aku menelan ludah. Satu-satunya yang kubawa hanyalah kotak makan berisi sisa nasi.
“Lari!!” teriak si Nasi.
Aku membalik badan, berteriak panik. Tujuh orang tersebut mengejarku, tangan mereka mengayunkan celurit. Sendal jepitku menginjak genangan air sisa hujan, celanaku basah. Dahiku berkeringat. Seluruh badanku berkeringat. Aku terus berlari, berbelok arah sembarangan, tidak peduli jika aku nyasar di jalanan remang ini. Tidak peduli juga jika teriakanku membangunkan para warga sekitar. Dan tidak peduli juga dengan si Nasi yang berteriak gempa bumi kembali.
Dasar bodoh! Mataku berair. Ngapain pula aku, pedagang nasi goreng keliling, ingin mencegah pencurian? Ditambah mereka semua bersenjata tajam–
“Aaa!!”
Pegangan kotak makan terlepas begitu saja. Telapak tanganku terlalu berkeringat. Isinya berhamburan di jalanan. Sepertinya aku tidak begitu rapat saat menutupnya.
Aku berbalik arah. “Nasi! Nasi!!“ Aku harus menyelamatkan si Nasi! Karena dialah yang memberitahuku. Dialah si saksi atas rencana pencurian ini. Meskipun dia hanyalah butiran nasi, omongannya berharga. Dia membuktikan kebenaran.
Aku berlutut. Sang gerombolan pencuri hanyalah belasan meter. Ujung celurit seperti ular yang siap mematokku. Tidak ada waktu untuk memasukkan Nasi kembali. Aku meringkuk. Mungkin bukan ajal Nasi saja yang dekat, tapi ajalku juga–
Suara klakson memekikan telinga.
Lampu sen menyorot dari belakangku. Para pencuri menyipitkan mata, menutupi wajah mereka dengan celurit di tangan.
Suara gesekan kaca mobil yang diturunkan terdengar. Kemudian sebuah teriakan, “Stepan!!“
Aku perlahan berbalik arah, menyesuaikan mataku dengan sinar yang seperti mengguyuri wajahku. Sebuah mobil jeep berloreng berdiri beberapa meter di belakang punggungku. Di sisinya muncul kepala seorang wanita paruh baya dengan riasan mengalahi pengantin dan konde sebesar baskom. Bu RT.
“Stepan!!” teriak Bu RT. “Ngapain ke rumah? Pasti mau curi emas Mamak lagi, hah??”
Para pencuri gelagapan, terutama yang berambut belang itu. Kemudian mereka memutar badan, berlari, tapi seketika berhenti saat seruan Revi muncul dari ujung jalan. Beserta segerombolan grup ronda dengan pentungan mereka.
+++
“Ketuanya itu…yang rambutnya pirang di depan,” ujar Pak Polisi berwajah klimis, “ternyata anaknya Bu RT yang katanya diusir dari rumah. Ngomong-ngomong, Pak, Bu RT jadi mindahin emas ke bank?”
“Jadi, jadi,” Pak Polisi berkumis uban melahap nasi goreng. “Revi yang kemarin nemenin Bu RT. Baru tahu ternyata Bu RT takut ke bank, makanya simpen emas malah di rumah.“
“Takut kenapa emang?” celetuk polisi lainnya.
“Takut ketemu mantannya.”
Para polisi itu terkekeh-kekeh. Kemudian, salah satu polisi berseru, “Pak Edan! Bungkus dua, ya! Buat anak-istri saya!”
“Tuh kan, kubilang apa,” kata Revi. “Nasgor Pak Edan seenak itu.”
Sambil penuh semangat mengoseng nasi di wajan, aku menyunggingkan senyuman. Berita pencurian sebulan lalu menyebarluas di Pangkalan Lima. Pak Edan, seorang pedagang nasi goreng keliling, telah memprediksi sebuah gerakan pencurian. Bu RT menghadiahkanku tenda makan lebih besar. Sekarang aku berpangkal di dekat kantor polisi. Pengunjung selalu sesak memenuhi meja makan. Bahkan sekarang aku butuh pekerja ekstra untuk membantu menyuguhkan pesananku.
“Pak Edan,” Stepan menghampiri dengan beberapa gelas kosong di tangan, “meja keempat pesan nasgor dua. Nggak pake cabe dua-duanya.” Rambut bagian poninya sekarang bewarna hitam.
“Siap,” aku mengayunkan wajan, sebagian nasi beterbangan di antara api yang berdansa.
Karena ketenaranku, rumor mengenai aku bisa berbicara dengan nasi mulai tenggelam. Tapi tetap saja aku masih bisa mendengar nasi menangis. Namun, sekarang aku mengurangi porsi nasi gorengku dan menurunkan hargaku, supaya tidak ada pelanggan yang tidak menghabiskan nasinya. Kalau porsinya kurang, tinggal minta tambah saja. Hal tersebut pun mengurangi nasi yang terbuang dan tangisan mereka di dalam tong sampah yang biasanya menemaniku.
Aku melirik kotak makan Tupperware. Si Nasi, kematiannya yang saat itu langsung menghampiri saat dia berhamburan di aspal, akan kukenang selamanya.
Aku menghampiri meja yang dipenuhi polisi itu sambil menenteng kresek dengan dua bungkus nasi goreng.
“Ini ya, Pak!” aku menaruhnya di meja.
“Bapak,” panggil Pak Polisi berkumis uban, “Bapak buka jasa catering, nggak? Anak saya bulan depan mau nikah.”
Aku menyengir, mengelap dahi dengan handuk, “Belum pernah buka catering saya, Pak. Tapi boleh dicoba. Anak Bapak bisa ajak ke sini dulu buat coba nasgor saya.”
“Heh! Habiskan!”
Seruan Revi memutus pembicaraan. Terlihat Revi sedang menegur Pak Polisi tanpa kumis-janggut itu yang raut wajahnya berkerut sepenuhnya.
“Udah kenyang.” Pak Polisi tersebut menggeser piringnya, “Mesti diet aku, Rev.”
Perlahan-lahan, suara cempreng itu mulai bermunculan dari piring tersebut. Dan kemudian menjadi sahut-sahutan dari butiran sisa nasi seolah-olah ingin menunjukkan dirinya untuk dihabiskan. Sayangnya hanya aku yang selalu bisa mendengarnya.
Aku menghampiri Pak Polisi muda itu. Mataku melotot, pipiku panas, kemudian aku memukul meja dan membuat seluruh polisi melompat, “Habiskan nasinya!!”
+++
+++
tamat