Epilog

8 tahun kemudian.

Masih menggenggam paspor hijau yang baru tercetak lima bulan yang lalu, serta selipan secarik tiket pesawat, Haidar mengamati sekeliling. Ruang tunggu bandara tidak seriuh pintu gerbang. Kebanyakan orang-orang duduk di kursi panjang, sibuk dengan hiburan masing-masing, entah membaca buku, mendengarkan musik dengan earphone di telinga, atau mengutak-atik ponsel berlayar. Tidak hanya orang lokal saja yang terlihat, orang mancanegara dengan etnis yang berbeda juga berada di ruang tunggu ini. Mungkin karena ruangan ini khusus untuk penerbangan internasional.

Haidar memilih kursi di paling ujung dekat jendela, supaya dia bisa menikmati badan bermesin raksasa itu. Otaknya sambil berpikir mengapa badan pesawat bentuknya sedemikian rupa. Sebagai seorang insinyur sejak lima tahun lalu, setiap melihat mekanisme suatu benda, pasti otaknya langsung memikirkan materi kuliahnya. Bahkan sepeda adiknya Pengki saja, bukannya dia perbaiki, tetapi malah dibongkar sepenuhnya, membuat Pengki menghardiknya karena reparasinya tak kunjung selesai, padahal yang bermasalah hanya rantainya saja yang lepas.

Lamunannya buyar saat seseorang duduk di sebelah.

“Udah beli permennya, Mister?” Haidar menoleh ke pria di sebelah.

“Sudah.” Mister Herman memberikan dua bungkus permen, “Ini, buatmu sekalian.”

Haidar menerima bungkusan itu. Permen MeledaQ level 3. Permen lokal yang katanya terpedas se-Indonesia.

“Makasih loh, Mister,” Haidar memasukkan satu bungkus ke saku celana, satunya lagi ke dalam ransel gunung yang dia beli setahun yang lalu, dibantu Dwiki mencarikannya. “Nggak usah repot-repot, padahal.”

“Telingamu pasti pengang,” Mister Herman juga memasukkan bungkusan permennya ke ransel. “Di pesawat belum tentu dikasih permen.”

Haidar mengangguk. Meskipun Mister Herman – satu-satunya guru yang masih dia kontak sampai sekarang – sudah dia anggap seperti kakaknya sendiri, tetapi dia tetap memanggilnya mister. Padahal dia sudah terlibat cukup banyak peristiwa pribadi guru asal Kalimantan ini, termasuk sebaliknya.

“Yang mengantarkanmu tadi…” Mister Herman menyengir, mata sayunya menatapnya, “Banyak sekali.”

“Entah. Pak Kades pas naik haji nggak seramai itu,” Haidar berdecak. “Mereka penasaran sama Kak Lidia. Mister kan, waktu itu hanya mengundangku aja. Lagipula, katanya mumpung masih di Ibukota, sebelum anak-anak pencar lagi.”

“Karena acara pernikahan Melly dan Wisnu itu kemarin?”

“Iya. Orangtua Melly pindah ke Ibukota, kan, tiga tahun yang lalu. Makanya nikahnya di sini. Lagipula si Wisnu juga mau internship di RS Ibukota. Padahal mereka baru tunangan awal tahun ini. Tapi buru-buru ngadain acara pernikahan saat tahu aku akan berangkat bulan ini.”

Setelah lulus sekolah, Wisnu dan Danar, satu-satunya angkatannya yang masih menetap di Kota Lembah, adalah teman karib Haidar. Mereka terus melanjutkan kontak; mulai dari lewat e-mail kampus, sampai telepon seluler mereka tergantikan oleh smartphone berlayar penuh. Saling membantu, saling menghibur, di saat semua teman mereka keluar kota untuk melanjutkan kuliah. Haidar telah menyaksikan perjalanan kehidupan mereka. Mulai dari kelulusannya yang bersamaan dengan Danar dengan sekolah vokasinya, dan anak itu pindah ke Ibukota untuk membantu bisnis Dwiki, sebuah perusahaan bengkel. Haidar masih menetap di Kota Lembah, melanjutkan pekerjaan di sebuah pabrik, tempat magang di tahun terakhir kuliahnya, sedangkan Wisnu mulai melalang-buana karena koasnya. Haidar juga menyaksikan hubungan Wisnu dan Melly yang diam-diam menjalankan pacaran jarak jauh di tahun kedua kuliah mereka. Haidar dan Danar lah yang menjadi orang pertama yang diberitahu, itu juga harus disogok dengan semangkuk bakso terlebih dahulu.

Kehidupan Haidar saat memasuki umur dua puluhnya seperti memasuki jurang, mendadak terjal dan curam. Namun, setidaknya Haidar tidak sendiri. Ada kedua orang itu, yang menghiburnya dengan keliling kota dengan motor mereka di pagi buta, membuat Haidar kadang ngeri atas kecepatan maksimal mereka karena kakinya yang baru sembuh saat itu.

Dan tentu saja, mereka adalah satu-satunya saksi sebuah peristiwa yang ingin Haidar rahasiakan. Sebuah peristiwa empat tahun yang lalu. Yang membuatnya memutuskan untuk keluar dari negeri ini.

“Ngomong-ngomong, Mister,” Haidar membuka suara, menatap Mister Herman yang sedang mengetik sesuatu di ponsel. “Kak Lidia nanti beneran nyusul?”

“Iya, enam bulan kemudian,” Mister Herman memasukkan ponsel ke dalam saku celana.

“Berarti nanti si Hanum masuk TK-nya di sana? Bisa sekelas dengan cicitnya Ratu Inggris, tuh.”

Mister Herman, seperti biasa, hanya tertawa. Sejak dulu Haidar mengenalnya di luar sekolah, pria seumuran kakaknya ini memang tidak banyak cakapnya. Tidak seperti Hasan dengan umpatannya. Tetapi kakak sialan itu mendadak tenang tiga tahun terakhir ini.

“Maaf ya, Mister. Aku baru beli tiket pesawatnya sekarang,” Haidar menatap paspor hijau di genggaman. “Malah keburu Kak Lidia udah keluar dari biro itu.”

“Mau dia kerja dimanapun, dia tetap ingin sekali membantumu.” Mister Herman kemudian menyengir, “Tapi waktu dia beli tiketmu, dia kaget, sih. Bilang aku, sekalinya si Haidar beli tiket pesawat untuk pertama kalinya, langsung ke ujung dunia.

Kali ini Haidar hanya balas dengan tawaan, tanpa sepatah kata. Dengan wajah yang memanas.

“Kamu hebat sekali. Bisa lanjut ke sana tanpa LPDP,” lanjutnya. “Aku sampai baru tahu kalau institut teknologi itu juga memberikan beasiswa kepada mahasiswa mancanegara.”

“Bisa kok. Tapi ya itu, cari informasinya selama bertahun-tahun. Lagipula, aku sengaja nggak ikut LPDP, supaya…” Haidar memalingkan wajah, menatap ke jendela, “Aku nggak perlu kembali lagi ke sini.

+++

Haidar berjalan di belakang Mister Herman, menelusuri lorong sempit. Deretan kursi menyesakkan ruangan, para pramugari dan pramugara menyambut penumpang di setiap beberapa barisan. Suhu AC membuat Haidar ingin memakai jaket musim dinginnya yang tertenteng di tangan.

Untung saja Kak Lidia sampai menyesuaikan kursi penumpang Haidar bersebelahan dengan Mister Herman. Suaminya ditawarkan untuk melanjutkan program doktoral di Britania Raya beberapa tahun lalu. Namun, saat mendengar tentang Haidar yang akan melanjutkan kuliah Master di Amerika Serikat tahun kemarin, Mister Herman memutuskan untuk terbang tahun ini, supaya bisa menemani Haidar di pesawat juga, yang dia tidak pernah melangkahkan kaki ke bandara kecuali saat di tahun kelulusannya itu.

Setidaknya, menemani Haidar sampai dia harus transit terlebih dahulu di negeri kerajaan Ratu Inggris itu. Kemudian, dari sana dia menaiki pesawat langsung ke Amerika Serikat. Rute itu juga diatur oleh Kak Lidia, ketelitian wanita itu mengingatkannya kepada Hasan.

Setelah menaruh ransel gunungnya di kabin, Haidar menempati tempat duduknya yang berada di sebelah jendela. Sebuah layar terpampang di hadapan, kantong berjaring di bawah, serta sabuk pengaman yang terlihat berbeda dibandingkan di mobil.

“Ada petunjuknya, Haidar, cara memakai sabuk pengaman,” Mister Herman sudah lihai mengenakan sabuk itu di kursinya. “Tapi aku bisa menunjukkanmu.”

Setelah Haidar mengamati gerakan Mister Herman, dia sukses mengenakan sabuk pengaman. Dia merogoh sesuatu dari saku celana, permen MeledaQ dan belasan chat di WhatsApp. Dia membaca dua chat terpenting. Pertama ruang grup chat dari geng sekolahnya dulu, mengatakannya selamat jalan sambil memberikan belasan emoji orang menangis, membuatnya tertawa. Yang kedua, chat dari kakak sialannya, mengatakannya untuk tidak menganga selama perjalanan di pesawat. Dia berdecak, sambil mematikan ponsel, kemudian melahap satu permen lokal itu.

“Selama naik pesawat sejak merantau dulu buat kuliah,” Mister Herman juga mematikan ponsel, “aku masih nggak tahu kenapa kita harus mematikan ponsel selama penerbangan.”

“Demi keselamatan,” Haidar menunjuk ke atas sembarangan, mulutnya berdecak karena emutan permen. “Ponsel yang aktif bisa menganggu komunikasi pilot dengan para pekerja yang mengatur lalu lintas penerbangan.”

Mister Herman hanya ber-ooh, memahami penjelasan Haidar yang sederhana namun dimengerti. Haidar sudah biasa menjelaskan suatu tema teknis ke orang awam, bakat yang dikembangkannya sejak membengkel di Om Memet sampai bekerja sebagai pengamat mesin pabrik. Penjelasan mekanisme rantai sepeda pun pernah dia jadikan sebagai dongeng sebelum tidur adiknya Pengki. Satu-satunya orang yang tidak mempedulikan ocehannya hanyalah Harika.

Mata Haidar kemudian tertuju sepenuhnya kepada jendela yang menampakkan langit sore, saat pesawat mulai berjalan. Dia tidak mempedulikan seorang pramugari yang memperagakan untuk menggunakan berbagai macam benda di dalam pesawat. Toh, kata Mister Herman, semuanya sudah tertulis secara grafik di kertas instruksi di dalam saku jaring itu.

Pesawat sempat berhenti sebentar, yang disusuli oleh lampu yang dimatikan. Mata Haidar masih menatap keluar jendela, dia sudah tidak sabar untuk terbang meninggalkan negara ini, beserta para penduduknya. Ingin memulai kehidupan barunya di negeri antah-berantah, meskipun dari nol sekalipun. Terlalu banyak kenangan buruk yang membuat dadanya selalu panas setiap memikirkannya. Terutama sejak kuliah dia tidak bisa pergi ke bukit Desa untuk berteriak begitu saja.

Pesawat mulai melaju dengan kecepatan tinggi. Badan Haidar terhempas ke kursi penumpang. Matanya tetap tidak lepas ke jendela. Mengamati pemandangan di luar, yang awalnya hanya menunjukkan trotoar landasan, kemudian pucuk pepohonan di sekitar bandara, hingga akhirnya atap para gedung mulai tampak.

Haidar menganga sepenuhnya, saat dia melihat awan stratokumulus yang hanya seperti berjarak belasan meter dari jendela pesawat, yang selama ini dia harus menengadahkan kepalanya ke langit untuk melihat awan itu, rela matahari sampai hampir membakar bola matanya.

Haidar hampir saja mengangkat pantatnya jika tidak tertahan sabuk pengaman yang melilit pinggangnya. Masih menganga, dia meletakkan kedua tangannya ke jendela. Betulan aku naik pesawat? Batinnya. Betulan aku terbang?

Haidar masih mematung, menempelkan wajahnya ke jendela, tidak peduli menekan hidungnya sekalipun. Tidak menghiraukan lampu yang dinyalakan kembali. Tidak menghiraukan para pramugari yang menawarkan minuman. Tidak mempedulikan kekehan Mister Herman melihat tingkahnya sambil membuka lipatan meja di bangku Haidar untuk menaruh makanan. Sampai saat lampu dimatikan kembali, beberapa penumpang menyelimuti badannya dan tidur, atau hanya sedang menonton film di layar seperti Mister Herman, Haidar masih menempelkan wajahnya di jendela. Tidak peduli jika sampai mendarat di Britania Raya sekalipun.

Haidar tetap menatap keluar jendela, menyaksikan awan-awan seperti karpet yang terbentang di cakrawala jingga itu. Sambil memikirkan apakah dengan posisinya yang setinggi sekarang bisa terlihat oleh Ibu dari Surga. Dengan senyuman penuh bangga.

+++

Setelah berpisah dengan Mister Herman, Haidar mengelilingi bandara Inggris itu yang keadaannya seperti mall-mall elit yang dia jumpai di Ibukota.

Haidar mempunyai waktu transit selama empat jam. Setelah menukar beberapa uang sakunya ke mata uang Poundsterling, dia duduk di sebuah tempat makan, melahap makanannya sambil berusaha menyambungkan smartphone-nya dengan wi-fi bandara. Haidar membalas beberapa pesan yang masuk, sesekali mengirimkan foto suasana bandara yang selalu dihardik oleh anak-anak grup sekolahnya karena kualitas gambar yang tidak pernah memuaskan dari petikannya. Dia pun heran dengan sendirinya. Tangannya lihai menggunakan alat perkakas atau berbagai macam ukuran bilah pisau, tetapi kalau urusan memotret, mulai dari memegang kamera polaroid sampai layar smartphone, dia paling buruk. Untung kekurangan itu tidak perlu ditulis di CV lamaran pekerjaan.

Setengah jam sebelum keberangkatan, sudah mengenakan jaket musim dinginnya karena AC yang suhunya mengalahkan musim hujan selama tiga hari berturut-turut, sambil masih mengemut MeledaQ, Haidar duduk di ruang tunggu yang ukurannya lebih kecil dan tertutup. Langit juga sudah gelap, hanya lampu jalanan landasan yang terlihat dari luar.

Haidar mensematkan telinganya dengan earphone, mendengarkan koleksi lagu instrumental jazz yang dia kumpulkan di Spotify, dengan beberapa lagu bervokal seperti Fly Me to the Moon-nya Frank Sinatra dan I Believe I Can Fly-nya R. Kelly. Kedua lagu itu mungkin sudah dia setel seribu kali sejak memiliki smartphone sendiri, membuat adiknya sakit kepala jika dia sedang berkunjung.

Tangan Haidar berderu, mengetik layar di ponsel, sedang mengobrol dengan anak-anak di grup WhatsApp. Mereka semua sedang saling meledeki pengantin baru tersebut, dan dia tentu saja ingin menimbrung.

Lima belas menit sebelum keberangkatan, Haidar berdiri di antrian. Getaran ponsel dari chat grup anak-anak itu masih saja menggema, sampai saat dia memasuki pesawat kembali, dan duduk di kursi sebelah jendela.

Setelah Haidar memasang sabuk pengaman dan mengemut permen kelimanya, dia merogoh ponsel, ingin membaca pesan-pesan yang masuk sebelum dia mematikan ponselnya kembali. Jempolnya terhenti saat dia membaca pesan Danar yang memakai huruf besar semua – kebiasaan orang itu setiap menuliskan chat – yang disusuli oleh ledekan virtual anak-anak lainnya, termasuk Wisnu dan Melly.

Nanti kalau kalian ketemu cepetan kirim foto. Nggak mau tahu aku!!

Haidar mematikan ponsel, setelah itu tatapannya tidak berpaling dari jendela meskipun langit berwarna hitam. Dengan bibirnya yang menyungging, sambil melantunkan lagu Frank Sinatra itu yang lirik lagunya sehafal komponen-komponen di dalam mesin pemintal benang.

+++

+++

KEMBALI KE HALAMAN UTAMA
Previous
Previous

Bab Bonus: Aviator Impian

Next
Next

Bab 42: Menyentuh Angkasa