Bab 42: Menyentuh Angkasa
“Dedek tanya, Singapura di sebelah mana.” Haidar terkekeh, menunjuk ke belakang sembarangan, “Kubilang aja, letaknya di Provinsi Timur.”
Putra berdecak, “Malah kau tipu dia. Anak itu udah mulai besar, loh.”
Haidar tertawa, matanya sambil mengamati lalu-lalang orang dengan koper tiga kali lipat besar adiknya. Dia melirik Putra yang duduk di sebelah, “Tapi kau betulan janji, kan? Akan kirim kartu pos ke adikku? Karena selama belum ada surat dari kau, adik itu akan terus melolong tiap malam dengan ukulelenya sambil nyanyi dangdut.”
Putra terkekeh. Dia memberikan senyuman, “Akan kuusahakan. Sebelum program kemiliteranku dimulai.”
Mereka berdua mengamati Wisnu, Danar dan Dwiki, kakak keduanya, sedang bermain ria dengan troli pengangkut barang, tidak takut diusir oleh satpam. Melly dan Lili sedang duduk bersama Chelsea, mengobrol di kursi sebelah. Kedua orangtua Putra dan Chelsea mengobrol di kursi lainnya.
Setelah mengetahui penerbangan kedua sahabatnya yang berada di hari yang sama, bahkan Chelsea akan duduk di pesawat yang sama dengan Putra karena dia akan transit di Singapura sebelum mengambil pesawat kedua ke Amerika, Danar dan Wisnu mengajak Haidar untuk ikut mengantarkan mereka, sambil sekalian membantu kepindahan Melly dan Lili yang kuliahnya berada di Ibukota. Dwiki, sebagai supir mini-bus kepunyaan keluarga, mengendarai perjalanan empat jam itu dari pagi buta. Para anak lelaki akan menginap di kos Dwiki juga, yang memang anak itu kuliah di Ibukota.
Putra menggarukkan kepala gusar menatap kelakuan anak geng motor dan Dwiki, “Untung aja nggak satu angkatan ikut ngantarin ke sini. Bisa meriang badanku nanti di pesawat.”
Haidar terkekeh lagi. Sudah lama dia tidak tertawa mendengarkan celotehan Putra, sambil hanya duduk berdua di antara mereka. Sejak mengetahui bahwa mereka diterima di SMU yang sama, dia pikir sampai melepas seragam putih-abu pun dia tetap akan lanjut sebangku bersama Putra di tempat kuliah. Tetap belajar bersama dengan jadwal ketat mereka supaya Haidar tidak menunda pekerjaan. Dan sampai lulus kuliah pun mereka akan bekerja di kota yang sama. Tetap bersama…sampai kapanpun. Mungkin sampai mati.
Putra adalah teman pertama Haidar di hidupnya. Anak sekolah pertama yang tidak menertawakan impiannya itu, yang justru malah memberinya foto-foto pesawat yang dia petik. Meskipun mereka dibesarkan di keluarga dengan latar belakang ekonomi yang berbeda, Putra dengan santainya memasuki dunia sederhana Haidar tanpa memandangnya rendah. Tidak pernah jijik jika menumpang buang hajat di bilik sumur rumah Haidar, meskipun sering menutup hidung karena bau kotoran kambing. Tetap melangkah maju jika diajak ke perbukitan, meskipun hampir sesak nafas setiap dua puluh meter.
Di rumah berlantai marmor dan penuh barang antik itu, Putra tidak sungkan memperkenalkannya kepada orangtuanya dan belasan pembantunya itu. Mengajaknya makan sambil mengajarinya memakai sendok-garpu, meskipun sambil dengan hardikan jika Haidar melenceng dari peraturan table manner super-ketatnya. Mengajarinya bermain game dengan PlayStation sambil menawarkan es susu cokelat berapapun jumlah gelasnya. Menunjuknya sisi dunia lain selain lahan perbukitan Desa lewat koleksi film Hollywood, yang kadang Haidar harus bersembunyi di belakang meja jika mereka sedang menonton film horor, sedangkan anak itu tetap bergeming sambil menyeruput gelas es susu coklatnya santai.
Maka, bagaimana dada Haidar tidak nyeri sejak dia keluar dari Kota Lembah di pagi hari, jika sekarang dia harus melepaskan orang terbaik yang pernah datang di kehidupannya? Yang kehadirannya sehangat keluarganya sendiri. Egonya berkata untuk menahan lengan anak itu untuk tidak melangkah masuk ke kantor imigrasi, seperti dia menahan lengan anak itu dahulu untuk tidak mengejar Chelsea saat merebut buku tulis Bahasa Inggrisnya. Tetapi, itulah realita. Setiap pertemuan, pasti ada perpisahan.
Namun, seperti Chelsea, Haidar berharap Putra juga akan singgah ke kehidupannya kembali. Suatu saat. Dan tetap menetap, bagaimanapun caranya.
“Dar.”
Lamunan Haidar pecah saat mendengarkan suara ringan itu. Putra sudah menatapnya, matanya sendu.
“Kau,” dia berdeham, “tetap melihatku sama, kan?”
Haidar berkerut. Padahal belum jam sembilan malam, tetapi anak itu sudah berbahasa filosofis.
“Maksudku…” Dia menatap lalu-lalang orang. “Kau, kan ingin naik pesawat. Tapi berbagai macam masalah menimpamu, membuatmu harus mengundurkan rencana itu yang awalnya ingin kau lakukan setelah kelulusan.” Dia menatap Haidar kembali, “Tapi kau tetap aja mengantarkanku sampai sini. Aku yang sudah belasan kali naik pesawat.”
Haidar menyerngit. Setelah otaknya mencerna kalimat-kalimat itu dengan makna tersiratnya, dia justru menghardiknya, “Bertahun-tahun sahabatan sama aku, sejak kapan kau pesimis seperti ini??” Suaranya merendah, “Putra, buatku, kau hanyalah anak yang suka main game dan fotografi. Anak yang nggak pernah makan pakai tangan, bahkan makan cimol pun harus pinjam garpu penjual. Lagipula…” Dia menelan ludah, entah kenapa matanya memanas, “Harusnya aku yang pesimis sahabatan sama kau. Apalagi, kau banyak kali membantuku, termasuk saat mengurus transisiku dari rumah sakit Kota ke Kabupaten.” Dia menyengir, “Kau juga pintar, Tra. Seencer itu otak kau kalau mikirin solusi. Maka dari itu, janji sama aku.”
Putra terdiam. Menunggu lanjutan kalimat Haidar.
“Janji sama aku.” Haidar mengangkat kelingkingnya, “Kau tepati janji kita bertiga itu. Dua setengah tahun yang lalu.” Dia menekan kalimat selanjutnya, “Apapun yang terjadi.”
Putra masih terdiam. Dia hanya menatap kelingking Haidar yang mengudara. Semakin tua, entah kenapa rautnya itu semakin murung, seolah-olah ada beban yang dia pendam sendiri, tidak mau Haidar ketahui. Raut galak dan mulut cerewetnya saat Haidar dulu mengenalnya telah sirna sejak lama.
Putra mengaitkan kelingkingnya. Haidar tersenyum lega.
“Janji itu, akan kutepati, Dar.” Putra kemudian menatapnya tajam, “Apapun yang terjadi.”
+++
Keadaan di dalam bandara saat itu sudah membuat Haidar tercengang. Lalu-lalang orang berpakaian rapi dengan dua-tiga koper mereka, troli pengangkut barang, koridor besar yang panjangnya seperti tidak terhingga sejauh mata memandang, dan suara pengumuman jadwal penerbangan lewat pengeras suara. Ramainya melebihi Pasar Pinggir Lembah, tetapi tidak menyesakkan, yang membuat dirinya tetap leluasa berjalan, dengan kaki yang masih digips tetapi sekarang sudah bisa memakai kruk.
Perpisahan Putra dan Chelsea membuat mereka bertiga membisu di menit terakhir, sebelum kedua sahabat itu memasuki pintu imigrasi. Mereka hanya memeluk Haidar, terutama Chelsea yang pelukannya cukup lama, membuat Putra hampir menarik ransel di punggung anak itu.
Sekarang, Haidar berdiri di sebuah perkarangan. Pagar besi berjaring berdiri di hadapan, sebagai pembatas lapangan udara dengan pesawat-pesawat yang lalu-lalang. Suaranya di sini hampir membudekkan telinga, tetapi entah kenapa Haidar lebih nyaman berada di sini. Teman-temannya dan Dwiki berdiri di belakang, menyandarkan punggung ke mini-bus.
“Kira-kira pesawat Putra sama Achel yang mana, ya…” Danar menelusuri tiap pesawat yang terlihat dengan telunjuknya.
“Cari aja yang bahasanya asing,” celetuk Wisnu asal.
“Semuanya asing, Nu,” sahut Melly. “Kecuali pesawat garuda yang barusan lewat.”
“Berarti si Rina juga naik pesawat, ya nanti?” kata Lili. “Dia kan dapat kuliah di Sumatra.”
“Sumatra Selatan tapi. Katanya mau naik kapal aja. Dia kan, takut ketinggian. Mana mau dia naik pesawat.”
“Untung si Achel nggak takut ketinggian,” ujar Danar. “Nggak bisa kubayangkan dua belas jam di pesawat.”
“Nama kota kampusnya juga susah lagi,” kata Wisnu. “Apa tuh namanya…Masa…Masa…”
“Yang di otakku malah terngiang kaset nenek mulu,” Danar berdecak, yang disusul oleh tawaan Melly dan Lili.
“Eh, Wisnu,” Dwiki bersuara, menyapit rokok di jemari. “Kau kuliah nanti belajar bahasa Latin, loh. Namanya lebih susah ketimbang nama kota Amerika itu. Ngomong-ngomong, Haidar, mau sampai kapan kau di situ? Sampai besok?”
“Udah lah, Bang. Biarin anak itu,” Danar menepuk bahunya, dan kakaknya tetap berdiri stabil. “Baru ditinggalin sama sahabat dan gebetannya itu. Naik pesawat lagi.”
“Dar,” panggil Wisnu. “Kenapa pula kau nggak pacaran aja sama Achel? Sama-sama suka juga kalian.”
Haidar akhirnya menggerakkan kruk, memutar badan. “Siapa pula yang mau pacaran jarak jauh antara Indonesia dan Amerika? Mana dia belum tentu pulang ke sini selama kuliah, pasti sibuknya melebihi jadwal kerja presiden.” Dia mendekati pintu depan, “Bang Dwiki, ayo pulang kita.”
Mini-bus itu akhirnya menelusuri jalan tol, mengarah ke Ibukota. Sesekali mereka terjebak di kemacetan, kata Dwiki sudah biasa seperti ini di Ibukota.
Haidar duduk di sebelah Dwiki, Melly dan Lili di jok tengah, serta Danar dan Wisnu di jok belakang. Keempat anak itu mengobrol tentang angkatan mereka lain yang telah mendapatkan bangku kuliah lewat jalur tes, entah di universitas, politeknik atau akademi. Beberapa meneruskan di kemiliteran, beberapa ada yang tidak melanjutkan kuliah sama sekali.
Dwiki merokok, membiarkan jendela di sebelahnya setengah terbuka, satu tangannya yang memegang puntung dijulurkan ke jendela. Haidar hanya menatap kemacetan, sambil mendengarkan radio Ibukota yang masih gerasak-gerusuk karena lokasi mereka masih di luar wilayah. Hanya sayup-sayup lagu pop mancanegara dan suara klakson kendaraan menghiasi langit yang mulai jingga.
Sinyal radio mendadak jelas. Lagu pop mancanegara yang familiar dimainkan.
Hadiar tersentak, tangannya terjulur ke tombol pengeras suara, “Bang, kukeraskan, ya!”
“Sampai maksimal pun tak apa. Biar nggak bosan aku terjebak di kemacetan sialan ini.” Dwiki berputar ke belakang, “Tolong buka semua jendela di belakang.”
Haidar memencet tombol pengeras suara sampai maksimal, membuat suaranya menggema sampai keluar mobil. Mengalahkan tawaan menggelegar Danar dari jok belakang yang keempat anak itu masih berbincang-bincang sambil memutar tuas putaran kaca mobil. Mengalahkan suara klakson mobil di sekitar, serta cicitan sekelompok burung yang melewati cakrawala jingga.
Haidar terdiam kembali, matanya menatap keluar yang sekarang tidak dilapisi oleh kaca jendela. Angin sore mulai menyejukkan isi mobil, membasuh wajah. Telinganya tetap lebar meresapi setiap kata si penyanyi Barat itu, dengan mata yang mulai memanas. Mengenang waktu saat dia mendengarkan lagu ini pertama kalinya di teras belakang rumah rotan lima hari yang lalu, yang telinganya saat itu tersemat earphone, sambil menatap kedua sahabatnya mengipas sate kambing di tungku api, dan adiknya berlarian mengelilingi mereka dengan genjrengan ukulele di bawah langit gelap. Nenek dan Kakek menyeruput teh tubruk, menonton aksi para cucunya itu sambil tertawa.
Untuk meredakan rasa sesak di dadanya, Haidar melantuni satu-satunya kalimat dari lirik lagu yang dia hafal, setelah ratusan kali menyetel lagu itu dari MP3-Player Chelsea di malam itu. I Believe I Can Fly oleh R. Kelly.
Aku percaya aku bisa terbang…menyentuh angkasa…
+++
+++
KEMBALI KE HALAMAN UTAMA