Bab 41: Acara Kelulusan

Meskipun Haidar telah mengenakan baju batik terbaiknya, dia tetap tidak percaya diri untuk mendatangi sebuah acara semi-formal ini. Dia mengumpat dalam hati bahwa mengapa ritual coret baju seragam minggu kemarin terjadi sebelum acara kelulusan ini. Karena sekarang dia harus mendatangi gedung sekolahnya dengan gips yang bewarna-warni karena pylox, sangat kontras dengan baju batik coklatnya.

Masih duduk di kursi roda yang didorong Hasan, Haidar memasuki ambang pintu aula besar, yang tidak pernah dia masuki selama tiga tahun bersekolah di Negeri 36. Katanya, gedung aula yang terletak terpisah dari gedung kelas ini memang hanya dipakai untuk acara kelulusan.

Bapak berjalan di sebelah Haidar, Hasan dan Harika di belakang. Mereka juga mengenakan baju batik yang biasanya hanya mereka kenakan di acara pernikahan tetangga di Desa. Bapak dan Hasan celingak-celinguk, menatap hiasan ruangan di sudut atap, dengan rahang yang terkatup – Haidar bersikeras menyuruh mereka untuk tidak menganga. Harika seperti biasa bersenandung, namun matanya berbinar seperti saat dia memasuki Mall Pusat.

Dari kejauhan, dua orang familiar berjalan mendekati mereka. Chelsea, dengan balutan kebaya dan rambutnya yang disanggul – Haidar berusaha untuk tidak melotot saking terpananya – berseru memanggilnya, sambil melambaikan tangan. Putra berjalan di sebelah, dengan balutan kemeja batik berlengan panjang – yang harganya pasti melebihi semua batik keluarga Harun dijadikan satu – dan tanpa suara, namun wajahnya tidak datar, melainkan tersenyum.

Setelah keduanya menyalami Bapak dan Hasan, Chelsea berbicara kepada Bapak sambil menunjuk suatu area, “Om Harun, katanya Mommy sudah menunggu kedatangan kalian. Dia juga duduk sama Tante Ning, ibunya Putra.”

“Oh, para orangtua duduknya terpisah, ya?” mata Bapak mengikuti arah telunjuk Chelsea.

“Yang lain udah nungguin,” Putra menunjuk ke belakang dengan jempol. “Di barisan tengah. Satu baris diisi sama mereka semua, nggak boleh ada yang tempati.”

“Masih preman aja mereka walau udah lulus.” Haidar menaruhkan tangannya di roda, memanggil Bapak, “Aku bisa sendiri kok, dari sini. Bapak dan Abang ke sana aja.”

“Ya sudah kalau gitu.” Hasan memanggil Harika yang sekarang berdiri terpisah, mengamati kerumunan, “Dedek, ayo ikut Bapak sama Abang.”

Harika menoleh, mulutnya manyun, “Nggak mau sama Abang!”

“Udah, lah. Dengerin Bang Hasan kali-kali,” Haidar menggoyangkan lengannya gundah. Di situasi seperti ini, dia malas berdebat dengan adik itu.

“Tapi kalau sama Abang dan Bapak nggak seru!” Harika masih memanyunkan bibir, suaranya yang menggelegar menarik perhatian beberapa orang. “Nggak seru dengerin orang dewasa ngomong.”

“Dedek! Malah durhaka kau di acara begini.”

“Ya sudah.” Bapak terkekeh, mengayunkan tangan untuk menyuruhnya mendekat, “Dedek, mau ikut Bang Haidar aja?”

Melihat mata Harika yang berbinar dan langsung mendekati Bapak, Haidar menghela nafas. Dengan kakinya yang masih patah, entah kenapa dia ingin melunak berhadapan dengan adiknya itu. “Yaudah. Ikut Abang. Jangan berisik tapi.”

+++

Selama acara, Bu Wati dan sang ketua OSIS memberikan pidato di atas podium. Ibu Kepsek itu mengucapkan rasa bangganya kepada semua murid yang telah lulus melaksanakan Ujian Akhir Sekolah, serta ketua OSIS yang memberikan sambutan perpisahan kepada kakak tingkatnya, mewakili suara seluruh murid yang masih berada di bangku sekolah. Kemudian, sisa acara diisi dengan menyanyi bersama lagu himne Negeri 36, hiburan dari kelompok ekstrakurikuler bagian Kesenian, serta menunjukkan hasil dokumentasi foto-foto Study Tour di layar presentasi. Sesekali para murid tertawa jika melihat gambar seorang anak yang belum siap difoto, terutama wajah Danar yang selalu menampakkan raut garangnya, yang setelah itu disusul oleh seruan dan tepukan bahu para anak geng motor.

Acara ditutupi oleh pemberian ijazah satu per satu oleh Bu Wati.

“Dengan kondisiku saat ini, aku nggak akan bisa kerja sampingan, setidaknya di semester pertama,” Haidar berusaha mengencangkan suaranya di balik pengeras suara yang menggema, berbicara kepada Chelsea dan Putra yang keduanya duduk di sebelah kirinya. “Tapi, dua bulan mendatang Bapak dan Bang Hasan dapat proyek baru. Gajinya dua kali lipat dari sebelumnya, jadi mereka bisa bayar uang makan dan kosku. Namun…jika aku tetap kuliah di sekitar sini.” Dia menatap kedua sahabatnya, “Kalau aku nggak diterima di Institut Teknologi, aku akan daftar di politeknik.”

Para murid mulai dipanggil namanya untuk mendapatkan ijazah mereka, termasuk Putra dan Chelsea. Namun, setelah pembagian ijazah selesai, tidak semua murid dipanggilkan namanya.

“Loh?” Melly yang duduk di barisan sama menunjuk dirinya. “Kok aku belum dipanggil?”

“Aku juga,” Haidar menggarukkan kepala, celingak-celinguk menatap para peserta.

Harika yang duduk di antara Chelsea dan Putra menjulurkan kepala, menatap kakaknya, “Hayo, Abang nggak lulus.”

Haidar melototinya, yang disusuli oleh tawaan adiknya. Di sisi lain, benaknya mulai gelisah. Sudah sok mencoret baju seragam sampai gips terkena pewarna pylox, malah tidak lulus pula. Bukan satu keluarga lagi yang malu, tetapi satu penduduk desa, termasuk Pak Kades.

“Kemudian,” sang moderator berbicara kembali lewat pengeras suara. “Kepada sepuluh para murid dengan nilai UAS terbesar di sekolah.”

Spontan Chelsea dan Putra melototi Haidar dengan wajah tercengang. Haidar sendiri juga ikut kaget atas pengumuman itu, jantungnya berdegup kencang.

Para murid yang namanya disebut pun disusul oleh sorakan lainnya. Termasuk Wisnu, yang berada di urutan ketujuh, bahunya ditepuk-tepuk oleh para anak geng motor sampai hampir terjungkal, yang anak itu entah kenapa memasang wajah santai. Haidar berada di urutan nomor ketiga. Sepanjang memutar kursi roda dia ternganga sampai bertemu dengan Bu Wati yang turut turun ke podium supaya bisa memberikan ijazahnya. Melly berada di urutan pertama, nilainya juga termasuk dari sepuluh terbesar se-Kota.

Sang moderator berbicara mengenai susunan acara kembali. Haidar menatap map hitam bertuliskan nama sekolahnya, sambil masih tercengang, “Padahal aku baru belajar intensif seminggu sebelumnya. Itu juga kebanyakan tidur karena obat penawar sakit.”

“Halah! Akui aja kalau kau emang pintar,” Putra berdecak gemas. “Katanya kau dulu belajar buat Ebtanas SMP pun hanya tiga hari. Itu juga sambil bantu Kakek narik sapi.” Chelsea tertawa cekikikan, sambil menggenggam tangan Haidar dengan penuh kebanggaan.

Acara terakhir ditutupi oleh pengumuman para murid yang berhasil mendapatkan bangku universitas lewat jalur undangan. Posisi duduk para murid mulai berantakan. Haidar yang selama acara memang berada di ujung kursi, duduk di jalur pejalan, sekarang dikelilingi oleh geng Danar.

Terdapat dua puluh murid yang mendapatkan bangku kuliah tanpa tes itu. Salah satunya Lili, mendapatkan jurusan sastra, dan Melly jurusan pendidikan dokter gigi di salah satu universitas terbaik se-Indonesia.

Wisnu mendapatkan bangku di jurusan pendidikan dokter di sebuah universitas di Kota Lembah. Anak itu untuk pertama kalinya melompat-lompat, emosinya tidak bisa ditahan lagi. Sampai sujud di lantai, susah untuk menyuruhnya kembali berdiri bahkan dengan tangan Danar sekalipun.

Delapan belas murid sudah disebutkan, namun Haidar tidak menaruh harapannya. Katanya, jurusannya di Institut Teknologi termasuk diminati banyak orang satu Indonesia, makanya Hasan menyuruhnya membuat rencana cadangan, dengan mempersiapkan pendaftaran di politeknik. Toh, memegang ijazah SMU saja sudah termasuk mewah bagi anak desa sepertinya, apalagi mengerjakan UAS sambil dengan kaki yang dibaluti gips. Dia telah memberanikan diri menghadapi realita sejak uang tabungannya terkuras...

“Haidar Harun,” namanya tiba-tiba bergema di aula, sebagai murid ke-20. “Jurusan Teknik Mesin, Institut Teknologi Kota Lembah.”

+++

Haidar memijit bahu. Pukulan tangan Danar dan belasan anak lainnya masih terasa di balik baju batiknya itu. Dia menggerakkan rahang, telah ternganga sampai acara selesai, yang kali ini Wisnu tidak menghardiknya karena masih emosional atas pencapaiannya sendiri.

Dan sekarang, dia berada di kantor Bu Wati, duduk bersebelahan dengan Bapak. Ibu Kepsek itu ingin berbicara serius dengannya dan pihak orangtua, makanya sampai Hasan yang biasanya lebih banyak berkutat di urusan administrasi keluarga harus menunggu di luar, bersama Harika dan teman-teman Haidar lainnya, serta Tante Dinda dan Tante Ning. Mereka semua sedang berkumpul di kantin.

Ibu paruh baya dan berjas itu memasuki ruangan kantor. Bapak berdiri, menyalami Bu Kepsek itu, “Bu Wati.”

“Pak Harun,” Bu Wati menjabat tangan, memberikan senyuman ramah namun matanya masih menampakkan ketegasan. “Terima kasih sudah datang.” Bapak hanya membalasnya dengan anggukan dan ucapan sederhana; tidak apa-apa.

Setelah Bu Wati duduk berhadapan dengan mereka, meja kayu jati memisahkan mereka, Bu Wati mulai berbicara, “Begini, Pak. Saya sebetulnya ada berita lain buat Haidar. Tapi berita ini tidak bisa kami umumkan di aula, makanya saya memanggil Pak Harun ke kantor bersama Haidar.”

Haidar melebarkan telinga. Berita apalagi?

“Haidar,” Bu Wati menjulurkan tangan di atas meja. “Saya ingin mengucapkan selamat atas pencapaianmu dengan nilai UAS tertinggi di sekolah, serta telah mendapatkan bangku kuliah di Institut.”

Haidar menjabat tangan Bu Wati, tersenyum sambil mengucapkan terima kasih.

Setelah Bu Wati menarik tangannya kembali, dia berbicara kepada Bapak, “Pak, pernah dengar kah, tentang program beasiswa pemerintah bagi anak sekolah berprestasi dengan latar belakang ekonomi yang kurang mampu?”

Bapak melebarkan mata, “Oh? Ada program seperti itu, Bu?”

Bu Wati mengangguk. “Beasiswa ini membiayai keseluruhan biaya kebutuhan uang kuliah selama empat tahun, jika mengambil sarjana. Ada uang sakunya juga, diberikan per bulan. Namun, saking ketatnya seleksi ini, jadi biasanya pihak sekolah lah yang mendaftarkan murid pilihan untuk mendapatkan beasiswa ini.”

Bapak mengangguk, berusaha mencerna informasi itu. Haidar juga, berbulan-bulan berkutat di warnet, belum pernah dia mendengar program tersebut. Bu Wati menyunggingkan senyuman, kepada Bapak dan Haidar secara bergantian. Senyuman penuh bangga.

“Kami telah mendaftarkan Haidar.” Bu Wati menjulurkan tangannya sekali lagi kepada Haidar, “Haidar, selamat ya. Kau diterima mendapatkan beasiswa ini.”

+++

+++

KEMBALI KE HALAMAN UTAMA
Previous
Previous

Bab 42: Menyentuh Angkasa

Next
Next

Bab 40: Tamu Istimewa