Bab 40: Tamu Istimewa
Tamu paling istimewa Pak Kades adalah seseorang yang bekerja di Kabupaten Lembah sebagai pegawai negeri. Semua penduduk Desa masih ingat hari itu, dimana sebuah mobil jeep berloreng oren, satu-satunya kendaraan mobil yang bisa masuk ke jalan setapak itu meski keempat rodanya dilumuri lumpur, terparkir di depan satu-satunya rumah bersemen di desa itu. Badan gagahnya menutupi jalanan sepenuhnya, tetangga di depan rumah Pak Kades terpaksa tidak bisa melangkah keluar seharian karena terjepit. Semua anak melingkari mobil, lebih tertarik melihat seekor harimau versi mobil dibandingkan bermain kelereng atau lompat tali.
Di hari itu juga, Ibu yang sedang berbelanja ke warung tetangga tentu saja mematung di depan mobil itu, satu-satunya orang dewasa di antara anak-anak yang ternganga melihat moncong mobil. Kedua anak di genggaman tangannya sudah menggoyangkan lengan ibunya; Hasan ingin cepat ke rumah karena perutnya keroncongan, sedangkan Haidar karena kebelet pipis. Ibu bisa diseret sepenuhnya saat tidak sengaja Bapak melewati mereka dengan sepeda ontel, setelah dari kebun bertaninya.
Namun, hari ini tamu rumah keluarga Harun berhasil memecahkan rekor sebagai tamu paling istimewa yang pernah datang ke Desa Bukit Berbaris.
Haidar sedang menonton televisi di atas kursi roda, dengan kaki kiri terbalut gips yang terangkat di ujung pedal kursi. Pengki, duduk di kursi rotan sebelahnya, juga menatap televisi sambil menunjuk-nunjuk layar jika tertayang iklan suatu produk makanan yang dia ketahui. Hasan, duduk di kursi rotan juga, sebelah sofa, mengobrol dengan Om Memet dan Pak Kades yang mendominasi kursi empuk itu. Harika berada di teras belakang rumah, menggenjreng ukulele seperti biasa. Kakek sedang di halaman peternakan, Nenek memanggang kue di halaman belakang.
“Maaf ya, Hasan, kami nggak ada yang nyumbang sepeser pun,” pria sebaya Bapak dengan peci hitam dan kumis melengkung khasnya, menyeruput teh tubruk buatan Nenek. “Selama Haidar koma waktu itu, cuma pengajian aja yang kami buat di mesjid. Cuma doa yang bisa kami sumbangkan.”
“Santai aja lah, Pak,” Hasan menggeleng, genggaman gelas teh di tangan. “Sumbangan banyak kali yang datang. Saking banyaknya, sampai kelebihan. Makanya Haidar waktu itu bisa nginap di hotel Kota selama empat hari, biar anak itu bisa ke sekolah dan UAS. Itu juga dapat diskon karena salah satu saudara temannya kerja di situ.”
Om Memet terkekeh, menaruh gelas teh di meja. “Temannya banyak kali anak itu. Mengingatkanku pada Indah, sampai tukang sapu di depan Bundo Kanduang aja dia kenal, diajak ngopi juga dibuatnya tiap pagi.”
“Bang Haidar,” Pengki menunjuk layar, satu tangannya melahap kue dari toples di pangkuan. “Katanya air minum itu dari pegunungan Eropa, loh.”
“Masa, sih?” Haidar mengambil kue dari toples di atas pangkuan Pengki. “Emangnya nggak keburu basi kalau dikirim sampai ke sini?”
“Pak Kades,” Hasan melirik karpet wol yang tergeletak di dekat pintu sejak tadi pagi, menutupi lantai rotan. “Makasih juga loh, udah mau pinjam karpet.”
“Santai, lah Hasan. Kita saling membantu,” Pak Kades mengayunkan tangan, cincin emas berbatu akik di seluruh jemarinya berkilau. “Emangnya tamu kalian hari ini sebanyak apa? Buat pengajian aja nggak.”
“Entah si Haidar. Undang satu kota kayaknya dia.” Hasan melirik Haidar yang tak jauh dari sebelahnya, “Haidar, kapan mereka datang?”
“Bentar lagi, Bang,” Haidar menekan remot TV, mengganti saluran lain saat berita ditayangkan.
Bertepatan dengan selesainya kalimat Haidar, suara deruan motor mulai terdengar dari jalan setapak hutan. Awalnya hanya satu motor, lama-lama deruan itu terdengar bersahut-sahutan, sampai suara itu memekikan telinga siapapun yang sedang berada di desa. Para ibu-ibu mendongakkan kepala, ingin melihat sumber suara yang mulai keras. Para bapak-bapak yang berlalu-lalang menghentikan langkah. Anak-anak yang sedang bermain kelereng dan lompat tali di jalanan berhenti.
Sebuah motor moge terlihat moncongnya dari jalanan setapak. Lalu, disusuli belasan motor lainnya dengan ukuran yang sama. Deruan knalpot bergema sampai ke atas perbukitan. Para petani yang sedang bercocok-tanam di sana pasti memberhentikan langkah, mengira-ngira bahwa tamu kali ini berasal dari kantor kepresidenan. Udara langsung tercampur oleh asap knalpot.
Belasan motor itu anehnya malah berhenti di sebuah rumah rotan yang lokasinya paling dekat dengan jalan setapak. Rumah keluarga Harun. Para motor moge itu terparkir berjajaran di depan halaman rumah Haidar, beberapa motor harus diparkir di tepi mulut jalanan setapak karena parkiran depan rumah Haidar tidak seluas parkiran sekolah atau rumah sakit.
Para anak-anak mulai mendekati para motor, berdecak kagum, karena ukuran motornya dua kali lipat ukuran motor gigi bapak mereka. Para ibu-ibu mulai bergosip ria, tamu seperti apalagi yang datang ke rumah keluarga Pak Harun. Sedangkan para bapak-bapak malah mempercepat langkah mereka, meninggalkan rumah itu, mengira bahwa yang datang ke rumah itu adalah segerombolan tukang pukul.
Sejak deruan para motor itu terdengar, Pak Kades dan Om Memet adalah orang pertama yang mengangkat pantat, ikut penasaran dengan tamu Haidar. Mereka berdiri di ambang pintu, menyaksikan belasan motor yang terparkir, dan mereka berdua tetap di sana sampai semua mesinnya dimatikan. Om Memet melototi para motor itu satu-satu, matanya selalu berkilau jika melihat motor moge, termasuk selain motor bermerk Harley Davidson. Sedangkan mulut Pak Kades sudah melafalkan ayat kitab suci.
“Haidar!” Alis beruban Pak Kades bertekuk, jemarinya menunjuk keluar, “Bukan tukang palak yang mendatangi kau, kan?”
Haidar tertawa, tangannya memutar roda kursi ke arah ambang pintu. Hasan juga terkekeh sambil memindahkan toples-toples kue ke karpet wol.
Beberapa anak mulai berjalan mendekati pagar bambu rumah Haidar. Haidar mengenali hampir semuanya, kebanyakan adalah geng motor Danar. Danar dan Wisnu yang melihat sosoknya di ambang pintu menyapanya. Namun, mereka masih tidak mau masuk ke rumah.
Kemudian, sebuah deruan knalpot bergema dari jalan setapak. Suaranya mengalahkan deruan motor sebelumnya dijadikan satu, seolah-olah kali ini presiden betulan yang sedang memasuki Desa. Para orang dewasa menolehkan kepala kembali, serta anak-anak yang masih mengelilingi jalanan, penasaran dengan sosok di balik motor yang suara knalpotnya seperti auman singa.
Sebuah motor Suzuki RGR bewarna hitam dan bercorak anyaman memasuki jalanan Desa. Corak merah seperti bara api menghiasi frame tangki bensin dan di bawah jok. Sepasang mata hewan terletak di sebelah lampu sein, sepakbor depan dicat seperti moncong kuda dengan ikat hidung.
Motor itu terparkir tepat di mulut pagar bambu, bersebelahan dengan Harley Davidson-nya Om Memet. Dua motor itu terletak terpisah dari segerombolan motor lainnya, seolah-olah kedua motor itu mempunyai kasta tak tergapai. Sosok berhelm dengan kaos tanpa lengan duduk di atas jok, menampakkan lengan kanannya yang bagian atasnya bertato topeng dadak merak.
Setelah mematikan mesin, sosok itu melepas helm. Seorang pria yang masih seperti seumuran Haidar, namun perawakannya segagah Pak Gilang dengan badannya yang hampir setinggi Hasan. Rambut sebahunya terikat di pucuk kepala seperti pesilat cina yang ada di televisi. Kumis tipis dan helaian janggut menghiasi wajah.
Semua mata masih tertuju kepada pria misterius itu. Beberapa ibu-ibu saling menatap, sedang berbicara lewat membaca pikiran bahwa kandidat calon menantu mereka bertambah. Anak-anak mendekati motor frame terunik itu, berteriak bahwa coraknya seperti kuda lumping. Bapak-bapak menggoyangkan kaki mereka; sebelah otaknya mengatakan untuk tinggalkan rumah keluarga itu, tetapi sebelah otaknya ingin menyaksikan sosok itu yang sepertinya ketua kelompok tukang pukul.
Mata Om Memet berpindah ke motor Suzuki hitam itu, sedangkan Pak Kades menelan ludah sambil mengusap kumis melengkungnya yang telah tercampur keringat. Pria itu memasuki halaman rumah, dan para anak geng lainnya masih belum menginjakkan kaki ke dalam.
Saat pria itu menemui mata Haidar, sambil melepas sendal gunungnya, dia membuka suara, “Haidar.”
Haidar tersenyum lebar, hanya satu-satunya yang berani menyunggingkan bibir di antara semua. “Masuk, Ansar.”
+++
Ansar adalah satu dari sedikit anak yang bisa membuktikan slogan; kerjanya kencang, mainnya juga kencang. Lompat kelas saat SD, serta masa SMP-SMU-nya dia habiskan dengan home-schooling karena terlalu pintar di sekolah, dan keduanya dia habiskan masing-masing hanya dua tahun. Di umur saat Haidar mempersiapkan Ebtanas SMP setahun sebelumnya, di umur yang sama Ansar sudah memegang ijazah SMU dari Paket C. Namun, dia menolak untuk langsung kuliah, lebih ingin memilih jeda setahun sambil bekerja di sebuah pabrik baju. Uangnya dia kumpulkan untuk membeli motor moge bekas, yang langsung dia modifikasi sendiri menjadi seperti singgasananya sekarang. Saat memasuki kuliah, di situlah dia mengenali geng motor Kota Lembah. Karena umurnya yang terbilang masih muda, dia dirangkap sebagai ketua geng motor cabang anak sekolah.
Kakek-neneknya dulu adalah penari Reog Ponorogo. Kedua orangtuanya merantau kemari, melahirkan keempat anaknya di sini. Tidak ada logat jawa kental dari anak-anaknya itu jika berbicara dengan bahasa Indonesia, namun adat kampung asal masih melekat di badan mereka. Mereka lebih hafal cerita kerajaan Jawa Kuno dibandingkan guru Sejarah sekolah mereka sendiri, memahami bahasa Jawa dengan tiga tingkatannya, serta bisa membaca aksara Jawa.
“Frame motormu kau lukis sendiri?” Om Memet menunjuk ke arah luar, sambil menyeruput sisa teh tubruk yang sudah dingin di atas sofa. “Pintar lukis juga ya kau.”
“Diajari kakak keduaku, Om. Pintar lukis dia,” Ansar, bersandar di ujung ruangan, menyeruput kemasan air gelas yang dibelikan Hasan di Kabupaten Lembah kemarin.
“Masih suka lukis si Dara?” Hasan melahap kue dari toples, masih duduk di atas kursi rotan.
“Masih lah, Bang. Sebatas di waktu luang aja tapi. Itu juga lukis corak batik.” Ansar ingin merangkak mengambil sebuah toples, tetapi langsung diambil sama anak buahnya dan memberikan kepadanya.
“Dara?” Haidar menyerngit, kemudian matanya melototi sang kakak di sebelah, “Perempuan, kah dia? Sejak kapan Abang temenan sama anak perempuan? Biasanya tiap anak perempuan yang mendekat, langsung ingin Abang lamar saat itu juga!”
Hasan terkekeh, menusuk gelas air kemasan, “Justru dia satu-satunya yang nggak Abang lamar. Terlalu liar, orang kami suka tonjok-tonjokan.”
Haidar hampir saja mengangkat pantatnya kalau dia sedang tidak patah tulang. “Tonjok-tonjokan sama anak perempuan??”
“Badan dia sebesar aku, Dar,“ Ansar melahap kue dari toples. “Dulu suka ajak berantem Bang Hasan, latihan hadapi preman yang kecentilan katanya. Bang Ferdi jadi penengah.”
“Iya. Si Ferdi pasti udah siapin kotak P3K, ambil dari UKS. Paling nggak tahan dia lihat kami tonjok-tonjokan.” Hasan berdecak, gusar menunjuk pintu, “Malah jadi tentara anak itu sekarang! Entah kesurupan apa. Ngomong-ngomong, si Dara, masih kerja di pabrik kargo itu di Sumatra?”
“Masih, Bang. Cuma pulang kalau lebaran, itu juga numpang makan aja. Cuci piring nggak sudi dia. Besoknya balik lagi ke Sumatra.”
Pak Kades mengelus dada, berbisik kepada Om Memet, “Si Hasan, liarnya sama kayak Indah. Suka kali tonjok orang. Hidung adikku aja yang Indah tonjok dulu masih bengkok sampai sekarang.”
“Suka bertengkar juga kadang sama orang kuli, kata Bang Harun,” balas Om Memet.
“Udah suka tonjok orang, main lamar anak orang sembarangan, gimana nggak susah dia dapat jodoh? Pantas masih melajang sampai sekarang.”
Suara langkahan kaki yang berlarian menghampiri ruang tamu. Harika muncul, dengan ukulele tergenggam di tangannya.
“Wah, ramai!!” suara Harika menggelegar, girangnya seperti saat dia main ke Mall Pusat.
“Dedek! Main ukulele aja kau di halaman belakang,” Haidar melambaikan tangan. “Abang kedatangan tamu penting.”
“Biarin aja dia di sini. Jarang-jarang kita kedatangan tamu sebanyak ini,” Hasan melerainya, melirik adik itu yang berdiri di antara mereka berdua. “Dedek, kau duduk di lantai tapi, ya. Jangan habisin kue Nenek. Buat tamu itu.”
“Ini adik kau itu, Dar?” Danar menunjuk Harika yang berjalan mendekati salah satu toples. “Yang kata Putra teriaknya ngalahin sirine ambulans.”
“Ngomong-ngomomg, kupikir Putra juga ikut ke sini,” Haidar menatap punggung adiknya yang membawa toples, menghampiri Danar dan Wisnu, karena disuruh Wisnu duduk di depan mereka.
“Cuma kasih alamat dia kemarin,” kata Wisnu. “Nggak bisa ikut datang dia. Ngurus paspor buat kepergiannya ke Singapura nanti.”
Haidar hanya ber-ooh. Benaknya masih tidak menyangka bahwa suatu saat, mereka berdua bukan hanya pisah bangku saja, melainkan pisah negara. Sebuah realita yang sama menyakitkan seperti kakinya yang patah karena kecelakaan dan melepas Chelsea ke benua lain.
“Pintar main musik, ya kau, Harika?” Ansar menunjuk ukulele hijau di genggaman adik itu. “Coba mainkan buat kami.”
Mendengar permintaan itu, mata Harika berbinar. Tangannya mulai menggenjreng asal, tetapi entah kenapa tetap bermelodi. Dengan suara sekeras knalpot motor Ansar, Harika bernyanyi, “Ada Mbah Dukun, sedang ngobatin pasiennya…”
“Dedek!! Malah nyanyi lagu itu kau!” Haidar gemas ingin mengetok kepalanya tapi tidak bisa.
“Konon katanya,” Pengki menyahut, duduk di atas sofa sebelah Om Memet, “sakitnya karena diguna-guna…”
“Pengki! Jangan ikutan kau!!” Haidar hampir melempar gelas air kemasan kosong ke anak itu yang justru sekarang Pakde-nya ikutan menyanyi.
Hasan tertawa melihat tingkah adik terbungsunya yang sekarang berdiri, sambil masih menggenjreng ukulele dengan penuh semangat seperti gitaris dari band mancanegara. Pak Kades terkekeh, sambil menggelengkan kepala, mengingat lagu dangdut itu yang disetel keluarga Pak Ahmad di acara pernikahan anaknya minggu kemarin. Para anak geng motor, termasuk suara menggelegar Danar, tertawa melihat tingkah Haidar yang gemas ingin mengetok kepala adiknya dengan toples tapi tidak bisa. Bahkan Ansar yang belum menyunggingkan bibirnya sejak kedatangan ikut tertawa.
Menjelang sore, semua tamu, termasuk Om Memet dan Pak Kades, izin pulang. Para orang dewasa yang terlebih dahulu meninggalkan tempat. Setelah deruan motor Harley Davidson Om Memet senyap, giliran anak geng motor yang berpamitan. Harika menangis meraung-raung karena rumah akan sepi lagi, sampai harus ditarik Hasan ke teras belakang rumah.
Para anak geng motor itu belum ada yang keluar, sepertinya menunggu bos mereka lagi. Namun, Ansar melangkah mendekati Haidar, memberikan secarik kertas. Saat Haidar membukanya, sebuah nomor telepon tertulis di dalamnya.
“Itu nomor ponselku,” Ansar menunjuk kertas di genggaman Haidar. “Hubungi aku kalau ada perlu.”
Haidar berkerut, menatap mata bos geng motor itu yang setajam elang, “Tapi bentar lagi aku lulus.”
“Kau pasti tetap butuh aku. Terutama kalau kau masuk kuliah di tempat keinginanmu itu.”
Haidar semakin berkerut, sambil menatap punggung Ansar yang sekarang menuju ambang pintu.
Sebelum Ansar memakai sendal gunungnya, dia berputar, memberikan senyuman kecil, “Aku mahasiswa Teknik Mesin di Insititut Teknologi. Kutunggu kau di gedung Fakultas.”
+++
+++
KEMBALI KE HALAMAN UTAMA