Bab 39: Perasaan

Saat Hasan mengatakan bahwa malam besok Chelsea akan menjenguknya seorang diri, Haidar hampir saja menyuruh kakaknya untuk membelikan baju baru. Dia merasa tidak enak menyambut anak perempuan itu dengan baju yang dia ganti tiga hari sekali.

Seharian, Haidar menyuapi makanannya dengan tangan bergetar. Di situasi seperti ini, jika kondisi badannya normal, dia pasti langsung menghubungi Putra, menanyakan saran, seperti saat dia menelepon anak itu menjelang malam tahun baru. Tetapi apa daya, jangankan ke luar kamar untuk ke wartel, ke toilet pun dia tidak bisa. Selang kateter masih terhubung dengan badannya.

Jadi, dia memutuskan untuk menanyakan kepada seorang wanita di kepala lima akhirnya, Bu Sarni, yang terbaring di sebelahnya sejak Haidar menempati kamar itu di hari pertama. Seorang ibu bercucu tiga yang terbaring di sana sejak sebulan karena pergelangan kakinya yang juga patah akibat terpeleset di kamar mandi.

“Aku harus ngapain nanti, Bu?” Haidar menolehkan kepala kepada Bu Sarni yang rajin memoleskan wajahnya dengan bedak bubuk meskipun hanya perawat yang menghampirinya.

“Ya…bicara aja toh, Dek. Seperti biasa,” Bu Sarni terkekeh. Matanya tertuju kepada cermin kecil di genggaman. “Katanya dia teman sekolahmu?”

“Masalahnya…dia beda dari teman sekolahku lainnya,” Haidar menelan ludah. Membayangkan Chelsea saja sudah membuat jantungnya berdegup kencang.

“Berbeda gimana emang?” Bu Sarni sekarang memoleskan lipstik di bibir, warnanya semerah buah stoberi.

“Kayak…senang aja gitu, Bu, kalau aku ketemu dia. Apalagi kalau dia sendiri, nggak sama Putra. Sebut namanya aja buat aku deg-degan lebih cepat, padahal nggak lagi olahraga. Pas dia masuk angin waktu itu…” Haidar memikirkan tentang tragedi pertengkaran dengan Melly. “Aku panik kali, Bu. Padahal saudaraku kalau sakit tetap aja kutelantarkan. Saking paniknya,” suaranya merendah, “ingin kali aku peluk dia terus. Sampai mati pun tak apa, yang penting dia sembuh.”

Bu Sarni terkekeh, melirik Haidar. Tangan yang memoleskan lipstiknya terhenti.

“Duh, anak muda emang, ya…” Bu Sarni kembali menatap cermin, “Seperti ini kalau dimabuk asmara.”

Haidar tertegun. Wajahnya entah kenapa memanas.

Bu Sarni menutup cermin lipat, menggeletakkannya di rak kecil sebelah ranjang. Dia menatap Haidar, “Kau berarti suka dia.”

Mata Haidar melebar. “Suka? Harus pacaran berarti aku sama dia?”

Bu Sarni justru tertawa.

Haidar menggarukkan kepala. “Kalau suka, biasanya orang pasti pacaran, kan? Maksudku…” Wajahnya semakin memerah, dia melirik tirai, “Aku pacaran pun tak apa. Aku nggak kayak kakakku yang langsung main lamar anak orang. Tapi…kalau pacaran, kan, berarti berkomitmen. Untuk saling bersama. Masalahnya…”

Haidar terdiam sejenak. Bu Sarni masih menatapnya, menunggunya.

“Masalahnya,” Haidar menoleh ke ibu itu kembali. “Bentar lagi kami lulus. Tempat kuliah pun pasti beda, walaupun aku belum tahu dia mau kuliah dimana. Tapi, kalau lihat impiannya itu…” Dia menundukkan kepala, menatap kain selimut yang membalutinya, “Kemungkinan besar dia akan kuliah di tempat kelahirannya itu. Amerika.”

Suasana hening. Hanya terdengar batukan dari pasien di seberang, yang sosoknya tertutup tirai pembatas.

“Jadi, aku lebih ingin dia tetap membiarkannya mencapai impiannya itu, Bu,” Haidar memainkan jemari di atas selimut. “Aku rela jika dia setelah itu pacaran dengan orang lain. Lagian, aku yang anak desa ini mungkin nggak layak bersanding di sebelahnya. Satu keluarganya juga punya profesi hebat. Sebaliknya, bapakku hanya tukang kuli dan mendiang ibuku dulu tukang bengkel.”

Haidar berdeham, menutupi ceritanya. Keluh kesahnya. Yang sepertinya dia telah membuat keputusan yang baik, menceritakan isi hati ini kepada Bu Sarni ketimbang Putra yang selalu menolak setiap anak perempuan mendekatinya.

“Kau tak harus pacaran sama dia, Haidar.”

Haidar menoleh cepat. Bibir merah cerah Bu Sarni menyunggingkan senyuman.

“Tapi, katakanlah perasaanmu itu,” lanjutnya. “Sebelum kau menyesal karena hanya memendamnya.”

+++

Masih pukul setengah tujuh malam, para pasien, termasuk Bu Sarni, sudah tertidur lelap. Kecuali Haidar, yang baru selesai makan malam, matanya hanya menatap langit-langit. Dengan jantung yang terus berdetak kencang dua jam terakhir. Untung tidak ada perawat yang ingin mengukur tensinya.

Haidar mendengar suara pintu terbuka. Dia berharap bahwa yang masuk adalah Chelsea atau perawat secara bersamaan. Saat langkahan kaki itu mendekati tirai, kemudian tersibak, jantung Haidar hampir berhenti.

“Aku tidak mengganggumu, kan?” Chelsea menyengir. Dia mengenakan baju yang sama saat dia mengunjungi Kawah Bening dan Desa di hari menjelang tahun baru, dibalik jaket merah yang resletingnya dibiarkan terbuka. Ransel tersanding di punggungnya.

Haidar membenarkan posturnya menjadi setengah duduk, “Masuk, Chel.”

Chelsea melangkah masuk, mendekati kursi di sebelah Haidar. Dia menaruh telunjuk di bibir, berbisik, “Jangan bilang-bilang Putra, ya, kalau aku ke sini sendirian. Yang mengantarkanku tadi juga Mommy.”

Chelsea kemudian bercerita tentang keadaan sekolah, yang katanya baginya tetap sepi, apalagi di penghujung kelas sebelum UAS bangku di sebelahnya akan tetap kosong. Sekarang dia yang duduk tepat di sebelah jendela. Kadang tidak tertarik ke kantin atau ke warung Mbok, lebih ingin mendengarkan koleksi lagu jazz dari MP3-Player yang dia bawa diam-diam sambil mengemut Antangin.

“Suka kali ngemilin Antangin,” Haidar berdecak gemas. “Udah kayak adikku ngemilin Choki-choki.” Chelsea tertawa, membuat pipinya semerah lipstik Bu Sarni tadi siang.

Chelsea juga bercerita tentang Putra yang menemani Ansar dan para anak geng motor ke kuburan cina seminggu yang lalu.

“Wisnu bilang…” Chelsea seperti berusaha keras untuk tidak tertawa terpingkal-pingkal, “Anak-anak, termasuk Ansar dengan genset mereka udah bersembunyi di balik pohon tiap dengar suara semak-semak bergoyang. Tapi Putra yang hanya bawa senter kecil tetap berada di sana. Justru anak itu malah ngos-ngosan, nggak akan mau ke kuburan cina lagi karena jalanannya terjal. Katanya lebih parah daripada perbukitan di Desa.”

Mendengar hal itu, Haidar tertawa geli, membayangkan wajah datar anak itu di kegelapan di saat orang-orang berlari meninggalkannya. Entah gen keberanian darimana yang dimiliki anak itu. Atau saking tidak pedulinya dengan makhluk astral.

Setelah itu, Chelsea mengambil kamera dari ransel. Dia ingin menunjukkan foto-foto sebuah hutan yang dia kunjungi bersama orangtuanya di akhir pekan kemarin. Namun, lengannya kurang panjang untuk menunjukkan foto di layar berukuran kecil itu, jadi dia harus berdiri sepanjang waktu.

Haidar berusaha menggeser pantatnya hati-hati supaya kaki kirinya yang tergips di gantungan tidak tergoyang. Saat Chelsea menatapnya heran dengan gerakannya itu, Haidar terpatah-patah menepuk sisi ranjang di sebelah kanannya, sambil menelan ludah, “Duduk sini aja, Chel.”

Chelsea awalnya menatapnya tanpa kata-kata, dengan wajah yang mulai memerah. Kemudian, dia hati-hati naik ke atas ranjang, duduk di sebelah Haidar.

Kemudian, Chelsea membawanya sebuah majalah asing. Bukan National Geographic, melainkan sebuah majalah kampus Amerika dimana ibunya dulu bersekolah. Majalah itu tidak mencantumkan banyak gambar, melainkan teks-teks yang mereka malas membacanya. Namun, gambar-gambar yang ditunjukkan adalah foto-foto alat-alat canggih bermesin atau robotik, dan salah satunya pesawat, yang membuat mata Haidar tidak berkedip sepanjang waktu.

“Katanya kampus ini adalah salah satu Institut Teknologi terbaik sedunia,” Chelsea sekarang ikut setengah berbaring di sebelah Haidar, bahu mereka bersentuhan.

“Oh ya?” Haidar yang kedua tangannya memegang majalah itu menoleh, membuat wajah mereka hanya berjarak sepuluh senti. “Ibumu hebat kali berarti.”

“Ibumu juga hebat. Di umur ibumu mulai bekerja di bengkel, ibuku masih suka melukai jarinya dengan palu kakekku. Jemarinya hanya lihai di atas keyboard.” Haidar terkekeh.

“Ngomong-ngomong, membicarakan kampus,” Chelsea menggerakkan kepala, menatap langit-langit. “Ada sesuatu yang ingin kubicarakan.”

Haidar masih menatap wajah anak itu dari samping. Mata coklatnya bersinar di balik lampu LED ruangan. Dengan jarak sedekat ini, Haidar baru menyadari bahwa ukuran mata Chelsea lebih besar dari ukuran rata-rata. Seperti kelereng bewarna putih susu yang ingin keluar dari lobang. Bulatan irisnya tersingkap sepenuhnya. Guratan pembuluh darah yang seperti akar jalar menghiasi di tepi.

“Di sebuah institut teknologi di Indonesia,” katanya, matanya masih menatap langit-langit. “Sebenarnya aku memikirkan untuk melanjutkan pendidikan di sana. Aku bisa masuk jurusan fisika murni, atau bahkan astronomi. Jurusan yang hanya ada di sana di negara ini.” Dia terdiam. “Tetapi…hal itu bukanlah jalan menuju impianku.”

Chelsea menoleh balik ke Haidar. Dengan jarak sedekat ini, Haidar bisa merasakan hembusan nafas anak itu yang menghangatkan kulit wajahnya.

“Sebelum memasuki kelas dua belas, aku sudah mengurusi bangku kuliahku,” lanjutnya. “Terutama persyaratan itu lebih banyak bagiku, sebagai anak yang akan lulus dari sekolah Indonesia. Di ulang tahunku yang ke-18 nanti, aku akan memilih kewarganegaraan Amerika.”

Haidar masih terdiam, dia tahu arah pembicaraan ini dibawa kemana. Mata besar itu mulai berkaca-kaca.

“Aku akan kuliah,” Chelsea melirik majalah yang dipegang Haidar, “di sana.”

Chelsea kemudian langsung memalingkan wajahnya cepat. Dia belum berkata apa-apa setelah itu, hanya membersihkan hidungnya sesekali atau mengelap wajah dengan punggung tangan.

Haidar menutup majalah itu, menggeletakkannya di atas perutnya yang berselimut. “Udah kuduga, Achel.”

Chelsea masih memalingkan wajah. Tapi gerakan membersihkan hidung dan mengelap wajahnya terhenti.

“Kau sendiri yang dulu bilang saat pembagian rapor, bahwa kita semua akan kuliah dan meraih mimpi masing-masing,” Haidar tetap menatap sisi wajah Chelsea. “Dan pasti juga di tempat berbeda.”

Chelsea perlahan memutar badan ke hadapan. Bola mata kelereng putih susu itu sekarang memerah, menutupi pembuluh darah akar jalar itu.

“Aku juga yakin, Putra pasti kuliah di Singapura,” lanjut Haidar. “Kita semua akan terpencar setelah melepas seragam kita, termasuk terpencar dari geng Danar dan Melly. Karena…itu realita, bukan? Termasuk dalam perjalan hidup?” Dia terdiam. “Tapi, bukan berarti kita akan terpisah selamanya, kan? Ditambah teknologi yang makin maju, pasti suatu saat kita akan ketemu lagi. Entah kapan. Atau mungkin, saat kita udah meraih impian masing-masing.”

Satu tetes air mata jatuh dari mata Chelsea, membasahi pelipisnya.

“Kalian semua adalah satu-satunya teman di hidupku,” suaranya parau. “Bagaimana saat aku kuliah di sana nanti, yang paling jauh di antara kalian semua, aku kembali sendiri? Tidak punya teman? Ditambah lagi sekarang, orangtuaku tetap berada di Indonesia.” Dia terisak, “Aku takut sendiri, Haidar. Aku takut…”

Isakan Chelsea tidak terbendung lagi. Dia menutupi mata dengan satu lengannya.

“Bintang di langit, pasti masih ada di sana, bukan? Menemanimu?”

Chelsea mengangkat lengan, menampakkan mata merahnya itu yang menatap Haidar. Haidar melirik ke bawah, melihat sebelah tangan Chelsea lainnya yang tergeletak di atas selimut, di antara badan mereka berdua. Haidar meraih tangan itu, menggenggamnya.

“Aku juga pernah setakut itu pas Ibu meninggal,” katanya. “Saat SD aku juga nggak punya teman. Tapi aku tahu aku harus tetap menjalani hidup. Menelan realita pahit ini bulat-bulat, meskipun caranya kadang sambil menyumpahi kehadiran adikku. Tapi, aku sadar, realita nggak selalu kejam. Aku ketemu Putra, teman pertamaku. Aku nggak nyangka juga bahwa Danar yang dulu nonjok aku jadi begitu akrab denganku, dengan anak-anak buahnya juga. Melly pun seperti itu. Aku pikir dulu, di bangku SMU temanku hanya Putra sampai kelulusan, seperti saat aku SMP. Tapi aku salah. Kehadiranmu…juga merubah segalanya.” Dia tersenyum, “Kamu orang pertama yang ingin bermimpi bersamaku. Dan kehadiranmu, paling berpengaruh di antara semuanya, selain Putra.”

Mata Chelsea melebar, membuat sisa genangan air berlinang di pelipisnya.

“Aku akan berusaha tetap berani terjatuh. Dan menghadapi realita,” genggaman tangan Haidar semakin erat. “Semoga kamu juga berani. Kita bisa menghadapinya bersama, meskipun jarak memisahkan kita, dan tidak tahu kapan ketemunya.”

Chelsea masih belum berkata-kata. Perlahan, jemarinya bergoyang, menggenggam tangan Haidar balik. Sentuhan itu sama hangatnya seperti saat dia menyentuhnya di Kawah Bening, malam tahun baru, dan saat lengannya dia lingkarkan di pinggang Haidar, sambil membasahi punggung seragamnya dengan air mata penuh luka itu karena kesendiriannya.

“Pergilah, Chelsea. Sejauh mungkin. Yang penting impianmu tercapai,” suara Haidar lirih, menahan sesak di dada untuk melampiaskan suatu perasaan. “Namun, izinkan aku menyukaimu, selama aku masih bisa melihat ragamu di sini.”

Sesak di dadanya akhirnya hilang. Udara hangat dari nafas Chelsea tiba-tiba sirna.

Haidar menelan ludah. Dia sudah siap jika perasaannya ditolak mentah-mentah. Dia hanya ingin menyatakan perasaannya itu. Sebelum dia menyesal karena hanya memendamnya.

Pegangan tangan Chelsea di tangannya justru semakin erat. Linangan air mata di wajah anak itu juga semakin deras, tetapi Chelsea sekarang menyunggingkan senyuman. Seperti ada rasa kelegaan yang dia lampiaskan lewat butiran kristal di balik pelupuk matanya itu.

“Susul aku ya, Haidar,” hanya itu jawaban yang dia berikan.

Setengah jam sebelum kepulangan Chelsea, mereka hanya mendengarkan koleksi lagu jazz dari MP3-Player. Dengan sebelah telinga masing-masing yang tersemat earphone, kepala Chelsea yang bersandar di dada Haidar, serta tangan Haidar yang merangkul bahu anak itu, seperti saat dia merangkulnya saat Chelsea masuk angin, dan saat bahu anak perempuan itu bergetar karena menahan dinginnya angin malam di atas bukit. Egonya akan berkata untuk tidak ingin melepaskan rangkulannya, tetapi dia tahu, realita berkata lain. Haidar juga harus berani melepaskan anak ini, supaya dia bisa meraih impiannya yang sudah dia pegang sendiri sejak melihat komet itu sebagai ingatan pertamanya.

Setelah punggung Chelsea menghilang di balik tirai karena jam besuk sudah berakhir, Haidar tidak bisa tidur karena dadanya yang panas menahan kebahagiaan atas dua hal. Yang pertama, karena sekarang dia sudah tahu destinasi tujuannya jika suatu saat dia membeli tiket pesawat. Yang kedua, dia tidak ingin rasa sentuhan hangat di bibirnya itu memudar sampai mati.

+++

+++

KEMBALI KE HALAMAN UTAMA
Previous
Previous

Bab 40: Tamu Istimewa

Next
Next

Bab 38: Jatuh