Bab 38: Jatuh

Setelah dua hari berada di ruangan remang itu, akhirnya Haidar dipindahkan ke ruangan yang lebih terang dan tanpa pendingin ruangan sedikitpun. Berisi empat orang – bersamanya – dan hanya selang kateter dan jarum infusan yang melekat di badan.

Dua hari itu cukup membuat Haidar menyadari situasinya. Dia tertabrak mobil sedan berkecepatan tinggi di Perempatan Lampu Merah, membuat kaki kirinya patah dengan fraktur terbuka, yang di saat itu langsung dioperasi. Menariknya – kata dokter – hantaman keras yang sampai membuat sepedanya hancur-lebur dan tidak bisa terselamatkan oleh tangan para tukang bengkel Om Memet tidak melukai organ lainnya selain kaki kirinya itu. Pendarahan di organ dalam pun tidak ada. Hanya beberapa guratan lecet di wajah dan tangan karena gesekan aspal saat terjatuh. Bahkan kepalanya aman, karena berkat helm Kakek itu, meskipun sekarang keadaannya terbelah dua.

Bapak dan Hasan diliburkan oleh pihak perusahaan supaya bisa merawat Haidar, meskipun Bapak akan kembali bekerja minggu depan, dan Hasan masih tinggal di rumah rotan sampai Haidar selesai UAS. Keberadaannya dibutuhkan jika ada pemasukan sumbangan lain. Kakak itu memang teliti juga mengenai keuangan. Bahkan dahulu dia yang tukang menghitung pemasukan rumah tangga meskipun masih mengenakan seragam putih-merah, jika Ibu terlalu lelah dari bengkel atau setelah mencuci bajunya di sungai yang olinya tak kunjung hilang.

Di hari pertama dia pindah kamar, Kakek dan Nenek ikut datang bersama Harika. Kedua pasangan tua itu menyambutnya dengan tangisan, bahkan Nenek menyiapkan teh tubruk dengan potongan jahe, meminjam termosnya Bu Kades, berharap bahwa kaki patahnya itu cepat sembuh dengan teh mujarabnya. Harika menyapanya dengan suara menggelegar, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Nenek bercerita bahwa selama ketidak-hadirannya, Harika bahkan asyik bermain ukulele sambil tidak memakai baju sehabis mandi. Katanya mumpung tidak ada kehadirannya, karena Hasan lebih sering keluar, entah ke sekolahnya atau mengunjungi teman lama.

Satu-satunya yang menggelitik benak Haidar mengenai adiknya itu adalah di hari operasinya. Harika menangis meraung-raung di depan pintu ruang operasi, hampir membudekkan semua telinga orang. Hanya diam saat Putra datang dan menemaninya. Haidar berpikir apakah adiknya itu betulan tidak tertukar keluarga saat lahir.

Di hari ketiga di ruangan barunya, Putra dan Chelsea akhirnya menjenguk mereka. Sama seperti Hasan, Putra malah menghardiknya, mengatakan bahwa dia terlalu lama koma dan pasti karena keasyikan berada di ruangan ber-AC itu. Sedangkan Chelsea menyapanya hangat dengan hidung memerah sepanjang waktu, sambil membawa buah-buahan yang mereka bertiga makan bersama. Mereka bercerita bahwa dokter dan perawat yang mengurus Haidar saat di ruang ICU adalah bapaknya Melly dan Wisnu, yang Haidar langsung paham mengapa mereka menyebut dirinya ‘om’. Di kelas, di kantin dan di warung Mbok sepi tanpa kehadirannya, membuat Haidar bingung karena dia selama ini tidak seribut Danar di tempat itu. Bahkan tukang bakso di kantin menanyakan kehadirannya, katanya satu-satunya murid yang paling antusias membeli baksonya selama ini, dengan dua sendok makan sambal.

Dua minggu sebelum UAS, Hasan datang bersama Bu Wati. Ibu Kepsek itu ingin membicarakan tentang kemampuan Haidar hadir di sekolah saat UAS, atau mereka harus mencari alternatif lain, seperti Haidar mengambil Paket C saja. Hasan menerangkan bahwa menurut dokter, Haidar sudah boleh keluar dari rumah sakit dalam tiga hari sebelum hari UAS pertama karena keadaannya yang cepat pulih, meskipun selama empat hari Haidar sebaiknya bermalam di sebuah penginapan di Kota Lembah karena kondisinya yang memakai kursi roda. Haidar bebas memilih yang mana, karena di kedua opsi itu, Hasan sudah mengurusi perencanaannya. Maka, Haidar memilih tetap ikut UAS ke sekolah meskipun dengan kursi roda.

Selama hampir tiga minggu setelah siuman, selain Hasan yang mendatanginya, hanya Putra dan Chelsea yang mengunjunginya hampir setiap hari, sambil membawa buku-buku pelajaran dan contoh latihan soal. Kadang, Haidar mengobrol dengan pasien di ruangan itu, yang semuanya adala para orangtua dari Kabupaten Lembah. Satu kali, geng Danar dan Melly menjenguknya, sambil membawa susu kemasan, katanya supaya kakinya cepat pulih. Satu kali Om Memet dan beberapa orang bengkel seperti Dadang mendatanginya, termasuk Pengki, yang katanya hampir mencuri susu bubuk kaleng adiknya untuk diberikan kepada Haidar, tetapi untung Om Memet mencegatnya.

Haidar pikir di rumah sakit, sekelas Kabupaten sekalipun, dia tidak akan betah. Namun, makanan rutin tiga kali sehari dengan lauk lengkap yang buat dia cukup mewah, perbincangan dengan para pasien lain yang ramah kepadanya, serta kehadiran pengunjung meskipun tidak setiap hari – terutama jika Hasan mengunjunginya hanya untuk memberikan laporan keuangan atau rencana penginapan di Kota – dia merasa seperti seorang bapak bos dan Hasan adalah anak bawahannya. Hal tersebut membuatnya lupa akan kehadiran kaki kirinya yang dibaluti gips dan tergantung di depan mata.

+++

Di suatu sore, saat Haidar berkutat dengan buku soal, tirai pembatas terbuka. Sosok Hasan muncul.

“Lagi sibuk kau?” Hasan berdiri di tirai yang bukaannya hanya untuk badannya saja.

Haidar menutup buku soal, “Nggak sih. Cuma ngerjain soal Bahasa Inggris. Kenapa emang?”

“Ada tamu istimewa.”

“Siapa? Bapak Walikota?”

Saat Hasan membuka tirai lebih lebar, Haidar langsung ternganga mendapatkan sosok yang berdiri di sebelah kakaknya. Mister Herman.

“Sore, Haidar,” sapa Mister Herman dengan senyuman ramahnya. Dia mengenakan kemeja yang lengannya digulung, sepertinya baru pulang dari sekolah.

Haidar tidak pernah membayangkan bahwa seorang guru selain Bu Wati akan menjenguknya karena keinginan pribadi, termasuk jika itu Mister Herman.

“Malah nganga kau,” Hasan seperti biasa menghardiknya. Dia menoleh ke Mister Herman, “Maaf ya, Man. Semua adikku nggak ada sopan-santunnya. Pas Bu Wati datang kemarin aja dia juga ternganga.”

“Kayak Abang nggak pernah aja. Pas ke gedung sekolahku waktu itu Abang juga ternganga. Untung aja air liur nggak sampai menetes!”

“Padahal kaki udah patah begitu masih aja bisa teriak-teriak. Masuk, Herman. Duduk aja di situ.”

Haidar harus berkedip berkali-kali, meyakinkan dirinya bahwa guru terbaik sejagad raya itu sekarang menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Serta mengobrol dengan Hasan seperti teman sendiri.

“Guru aku ini,” Haidar berbicara kepada Hasan yang menutup tirai kembali di belakang. “Malah manggil nama. Nggak ada sopan-sopannya.”

“Panggil nama, lah aku. Tahun lulusnya aja sama. Bedanya dia dulu anak Bahasa,” Hasan berdiri di ujung kasur. “Guru ini yang kau bilang sepantaran sama Abang?”

“Iya,” Haidar mengangguk patah-patah, sesekali melirik Mister Herman di sebelahnya yang juga menatap Hasan. “Yang Abang bilang namanya mirip Bang Ferdi. Ngomong-ngomong, Bang Ferdi kemana, Bang? Masih jadi tentara, dia?”

“Masih, kok. Abang main ke rumah minggu lalu. Anak itu kebetulan lagi pulang juga.” Hasan menyibak tirai kembali, kali ini berbicara kepada Mister Herman, “Aku titip adik sialanku bentar, ya. Aku mesti ke wartel, telepon Bapak.”

Setelah Haidar adu mulut sebentar sama Hasan, yang diiringi dengan kekehan Mister Herman, kakak sialan itu akhirnya pergi.

“Langsung dari sekolah tadi, Mister?” Haidar berusaha membuka pembicaraan terlebih dahulu, mengurangi ketegangan.

“Iya. Saya janjian hari ini sama kakakmu itu.”

“Kakakku suka sok akrab sama orang dewasa. Tolong maklumi, ya.”

Mister Herman terkekeh. “Ngomong-ngomong, ada salam dari Lidia.”

“Lidia?” Haidar berkerut, namanya terdengar asing. Tetapi kemudian dia langsung menyengir, mengerti arah pembicaraan, “Pacar Mister itu, ya?”

Mister Herman tersenyum, wajahnya memerah. “Ingin sekali dia menemuimu. Tapi belum bisa ambil cuti katanya. Kerjanya di Ibukota.”

“Oh gitu? Udah berapa lama emang Mister sama dia?”

“Hmm…cukup lama, sih. Pas saya masih kuliah.”

“Selama itu? Mister beda kali sama kakakku. Bang Hasan paling nggak suka pacaran lama-lama. Kalau ada yang bilang suka sama dia, langsung dia lamar besoknya, walaupun itu teman kelas SMP-nya. Tapi jadinya malah buat orang langsung kabur. Orang itu semuanya direncanain, termasuk masalah percintaan. Masalah asrama pun buru-buru, kayak kebelet pipis.”

Mereka tertawa bersama. Entah kenapa suasana di kamar ini bukan seperti antara murid dan guru, melainkan seperti saudara. Mungkin karena pertemuannya berada di luar sekolah.

“Haidar,” Mister Herman berdeham – pasti topik pembicaraan mulai serius. “Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan.”

Haidar terdiam, hanya menatap guru itu, menunggunya.

“Semoga kamu nggak kecewa,” Mister Herman menatapnya balik. “Uang yang kamu beri waktu itu saya pakai buat biaya pengobatanmu.”

Haidar tertegun. Belum mau membuka suara.

“Sebenarnya tabungan saya untuk lanjut kuliah keluar negeri sudah cukup dari sebelum kerja di sekolah juga,” tatapan guru itu masih belum berpaling. “Kedua kakak saya yang memutuskan untuk tanggung jawab dengan biaya pengobatan ibu saya waktu itu. Saya hanya kendala belum mau keluar negeri karena masalah pribadi, tidak tega saya meninggalkan Ibu yang masih sakit. Sebelum kerja di sini, saya dulu ngajar anak-anak yang mau tes TOEFL. Jadi guru di sini sebagai pengganti darurat, dapat dari kenalan.”

Tatapan guru itu sekarang berpaling ke tirai.

“Setelah kontrak saya habis, bertepatan dengan kelulusan angkatanmu,” lanjutnya. “Saya akan kembali ke tempat kerja yang lama. Tapi dengan tujuan yang berbeda.” Dia melirik Haidar, tersenyum, “Kali ini, karena mengisi waktu untuk menunggu pemberitaan dari LPDP. Saya betulan akan ke luar negeri tahun depan.”

Haidar ikutan tersenyum. Dia bisa merasakan kebahagiaan guru itu. Pasti Mister Herman juga telah menunggu impian ini terealisasikan. Bertahun-tahun lamanya. Atau mungkin belasan tahun lamanya.

“Mister,” panggil Haidar. “Wajar kah, sebelum kita meraih impian, kita harus jatuh dulu? Berkali-kali?”

Mister Herman terkekeh. “Wajar sekali. Sudah termasuk bagian dari perjalanan hidup.” Guru itu memalingkan wajah, menatap tirai kembali. “Bahkan wajar juga, jika setelah terjatuh, orang-orang melupakan impiannya itu. Karena tidak mau merasakan sakit yang sama. Terlalu sering terjatuh, sampai rasanya tidak bisa berdiri lagi.“ Dia terdiam. “Dan saya…pernah juga berada di posisi itu. Di waktu dimana ibu saya dinyatakan meninggal karena kankernya yang sudah melemahkan tubuhnya sepenuhnya.

“Saya saat itu sampai berpikir untuk melamar kerja di tempat lain setelah kontrak di Negeri 36 selesai. Tempat yang kontraknya lebih panjang, dengan uang yang lebih banyak dibandingkan lembaga kursus TOEFL itu. Supaya saya bisa membawa Lidia ke jenjang lebih serius, meskipun dia selalu menolak untuk dilamar selama saya belum melanjutkan kuliah ke luar negeri.” Dia terdiam. “Di titik itu, saya sudah menyerah dengan impian saya. Lebih ingin duduk saja setelah terjatuh.”

Mister Herman menundukkan kepala, menatap tangannya yang jemarinya saling terekat di pangkuan.

“Tapi, mau selama apapun saya ingin duduk, pada akhirnya saya ingin berdiri kembali. Meskipun tidak tahu kapan saya berdirinya.” Dia mendongakkan kepala, menatap Haidar, “Di malam itu, saat kalian memberikan amplop itu, saya memutuskan untuk berdiri. Terutama karena kata-katamu itu. Impian yang tinggi, meskipun sederhana di mata orang-orang.” Dia tersenyum, matanya berkaca-kaca, “Seperti para penduduk desa dahulu menatap impian seorang anak nelayan. Anak berkaki lumpur dan bau ikan, berteriak keliling kampung bahwa dia suatu saat akan menginjakkan kakinya di depan gerbang kerajaan Inggris, karena sudah bosan dengan menginjak lumpur sungai selama ini.”

Mata Haidar seketika memanas. Mulutnya juga kram, masih lebih ingin diam.

“Aku merasa semangatmu menular ke orang-orang,” Mister Herman menyengir. “Tidak hanya ke kawan-kawanmu, tapi juga ke orang dewasa sekalipun yang melupakan impian masa kecil mereka. Jika orang-orang selama ini hanya melangkahkan kaki, yang kadang-kadang terjatuh, kamu berbeda. Kamu seperti membawa pesawat, mempersilahkan orang-orang untuk ikut naik, terbang bersama menuju satu tujuan, meskipun jika sampai sana mereka akan berjalan kembali ke tujuan inti masing-masing. Kadang-kadang pesawatmu mendarat, entah ingin beristirahat atau karena kerusakan mendadak. Namun, para penumpang tetap menunggumu sampai ke destinasi yang ingin kamu tujui itu.” Sunggingan bibirnya mengecil, tetapi matanya semakin syahdu, “Kamu adalah seorang aviator, Haidar. Sang aviator yang menerbangkan pesawatnya ke sebuah destinasi; impian.”

+++

+++

KEMBALI KE HALAMAN UTAMA
Previous
Previous

Bab 39: Perasaan

Next
Next

Bab 37: Realita