Bab 36: Anak
Badan Chelsea hampir meriang saat mendengarkan berita itu di ambang telepon dari Putra. Namun dia tahu, Haidar pasti tidak ingin dia jatuh sakit karena kondisinya. Maka, malam itu dia menghabiskan tiga sachet Antangin dari lemari pertolongan pertama di dapur. Orangtuanya membiarkannya, karena mereka tahu apa yang sedang anaknya rasakan saat ini.
Chelsea tahu betul, bahwa Haidar ingin dia berani untuk menerima kenyataan ini. Seperti kata Putra, berani untuk terjatuh. Meskipun bagi Chelsea, dampak baginya hanya secara emosional, tidak sebanding dengan Haidar.
Berita mengenai kecelakaan Haidar tersebar, tidak hanya di kalangan murid, namun juga para guru. Di saat upacara, Bu Wati, sang kepala sekolah, berpidato mengenai rencananya yang bekerjasama dengan OSIS untuk menyumbangkan uang untuk biaya pengobatan Haidar.
Sudah seminggu setelah kecelakaan itu, dan katanya Haidar juga sudah dipindahkan ke RS Kabupaten Selatan, di ruang ICU. Bapaknya Melly menangani anak itu, dan bapaknya Wisnu, seorang perawat di bagian ruang ICU, juga bertanggung jawab untuk mengecek kondisi Haidar.
Namun, keluarga Harun tetap saja pesimis mengenai berita ini. Masalah finansial adalah sumber masalah terberat mereka, meskipun banyak sumbangan yang mereka dapatkan; mulai dari sekolahnya, sekolah para anak geng motor lain, bahkan sampai dari Om Memet dan para pekerja bengkel.
“Hampir aja kami mau jual televisi dan perabotan lainnya,” Om Harun menghela nafas. Badannya tidak mau dia sandarkan di kursi rotan, sebaliknya hanya membungkuk sepanjang waktu, sambil mengusap-ngusap sela-sela jari.
“Biaya yang kami terima…” Hasan, duduk di sebelah Om Harun dengan kursi rotannya juga, mengamati kertas di tangan. “Cuma mampu nutupi biaya penginapan di ICU. Itu juga entah kapan anak itu siuman. Padahal UAS tinggal sebulan lagi.” Dia berdecak, “Bapak juga udah jual cincin pernikahan.”
Chelsea yang duduk di antara orangtuanya di atas sofa menatap kedua pria itu. Om Harun tetap terlihat tenang meskipun rautnya menyimpan kesedihan, sedangkan wajah Hasan memerah sepanjang waktu, menatap kertas yang dia tulis mengenai biaya pengobatan. Putra ada benarnya, Haidar adalah anak tertenang meskipun kalau marah dia harus berteriak di atas bukit terlebih dahulu. Di antara adiknya yang suaranya mungkin sampai seratus desibel, dan kakaknya yang sering sekali mengumpat, Haidar adalah anak yang paling tenang di antara mereka berdua. Seperti bapaknya.
“Belum biaya penginapan jika dia pindah kamar,” tangan Hasan bergetar, sepertinya dia ingin sekali meremas kertas itu. “Biaya kursi roda, kruk, obat-obatan…” Dia mengusap wajah, “Semua ini…mendadak sekali. Mau mikirin rencana bagaimana mendapatkannya pun entah kenapa nggak bisa bekerja otakku dibuatnya.” Dia mendecak keras, “Pemabuk bajingan!”
“Huss! Hasan,” Om Harun menoleh ke anak tertuanya, rautnya seketika serius. “Udah Bapak bilang, tahan mulutmu.”
Hasan berdeham, menatap orangtua Chelsea dan mengangguk, “Maaf.”
Menurut kepolisian, mobil yang telah menabrak Haidar adalah seorang pemabuk yang telah melakukan kriminal. Dalam keadaan mabuk, orang itu mengendarai mobil dengan kecepatan penuh, menerobos setiap lampu merah, yang celakanya di salah satu perempatan lampu lalu lintas malah menabrak Haidar. Namun, orang itu tetap melaju sampai jalan tol, yang kemudian mobilnya masuk ke jurang, mencelakai dirinya sendiri.
Saat ditelusuri latar belakangnya pun, orang itu tidak memiliki keluarga. Hanya tinggal sendiri di negara kepulauan berisi dua ratus juta penduduk. Jadi, mau tidak mau keluarga Harun tetap harus membiayai pengobatan sepenuhnya.
“Pak Harun,” Mommy membuka suara. “Kami tidak keberatan, kok, untuk menutupi biaya pengobatan yang masih diperlukan. Kami juga bekerjasama dengan orangtuanya Putra. Mereka bersedia sekali membiayai selebihnya karena bagi mereka biaya itu tidak seberapa.”
Om Harun menggeleng cepat, “Saya tahu…Chelsea dan Putra dekat sekali dengan Haidar. Tapi tetap saja, sebagai bapaknya, saya tidak enak diberi bantuan seperti ini.” Dia menelan ludah, “Besar sekali hutang budinya.”
“Tapi kami iklas, Pak,” kata Mommy.
“Bapak, cara ini paling masuk akal,” Hasan berusaha membujuk bapaknya. “Mau dapat darimana uang-uang ini? Lagian mau kita jual rumah ini beserta hewan ternak Kakek pasti tetap nggak nutupi biaya selebihnya.”
Om Harun menatap Hasan nanar, “Takut nggak tenang Bapak kalau hutang budi ini dibawa sampai mati.”
“Kata iklas mereka emang nggak cukup?” wajah Hasan memelas. “Bagaimana kalau menurut takdir, ini adalah jalannya? Rejeki kita? Rejeki…Haidar?” Dia terdiam. “Supaya anak itu bisa UAS. Supaya anak itu bisa kuliah. Supaya anak itu…bisa naik pesawat.”
Om Harun memalingkan wajah dari anaknya. Dia menundukkan kepala, menatap lantai rotan.
“Haidar…”
Chelsea dan Mommy menoleh ke Daddy yang selama kunjungan hanya diam seribu bahasa karena kendala bahasa. Hasan juga menatap Daddy, dan Om Harun menengadahkan kepala.
“Haidar,” Daddy terbata-bata ingin mengucapkan kalimatnya, “juga anak kami.”
Ruang tamu berdinding rotan itu seketika lengang.
Mommy mengangguk. “Sejak mengenal Haidar, anak kami bertambah satu.” Dia merangkul bahu Chelsea, bersamaan dengan rangkulan Daddy juga yang memahami bahasa Indonesia secara pasif. “Karena selain Putra, Haidar adalah teman pertama Chelsea di hidupnya.”
Mendengar perkataan ibunya, mata Chelsea memanas. Haidar juga adalah orang pertama yang ingin bermimpi bersamanya.
Mendengar perkataan kedua orangtuanya, sepertinya cukup meyakinkan Om Harun. Bapak itu mengangguk patah-patah, membuka mulut untuk bersuara, tetapi yang ada malah isakan. Dia menundukkan kepala, menutupi wajahnya yang basah dengan tangan.
Hasan menggeser kursi, mengelus pundak Bapak. Tidak seperti bapaknya yang emosional, Hasan hanya memasang wajah datar, mengingatkan Chelsea kepada Putra. Namun, saat dia menatap kedua orangtuanya bergantian, matanya sendu. Tatapannya seperti ingin mengucapkan rasa syukur yang tidak bisa dia katakan dengan kata-kata, kecuali sebuah ucapan dengan suara parau, “Terima kasih, sudah membantu Adik.”
+++
+++
KEMBALI KE HALAMAN UTAMA