Bab 35: Isyarat
Putra merasa otaknya berhenti bekerja setelah sambungan telepon dari Kakek Ramadan tertutup. Perutnya yang baru terisi dua suap makan siang mendadak mual. Dahinya berkeringat dingin. Satu tangannya masih memegang gagang telepon yang suara sambungan terputusnya menggema di sebelah telinga. Jantungnya berdegup kencang.
Putra paling tidak bisa yang namanya melampiaskan emosi, tidak seperti Haidar yang harus berteriak di atas bukit, Chelsea dengan tangisan meraungnya, atau Danar dengan tonjokannya. Jadi, dia hanya mematung di depan telepon, masih menaruh gagang di telinga, dengan otaknya yang masih tidak berjalan. Mau mengumpat pun dia bingung. Mengumpat kemana? Ke siapa? Ke Tuhan?
Setelah syarafnya bekerja kembali, memberikan berbagai macam sinyal ke otak, Putra mengambil sebuah buku tulis yang tergeletak di bawah meja telepon. Sebuah catatan berisikan nomor-nomor penting baginya, yang dimana catatan itu terisi berlembar-lembar halaman sejak lingkaran pertemanannya tidak hanya berisi Haidar dan Chelsea saja.
Setelah gusar membuka lembaran halaman yang hampir saja merobekinya, dia menemukan sebuah nomor. Masih menempelkan gagang di telinga, dia memencet nomor itu. Sebuah nomor yang dia pikir tidak akan dia hubungi bahkan sampai kelulusan sekalipun.
Setelah sambungan kedua, suara berat terdengar, “Halo?”
“Ini Putra. Dari Negeri 36.”
Sambungan telepon lengang. Kemudian, suara berat itu terdengar melengking, “Putra? Akhirnya telpon juga kau–”
“Kuterima ajakanmu ke kuburan cina, Ansar,” Putra memotong sigap. “Itu, kan, persyaratannya jika aku minta tolong sesuatu lewat panggilan telpon?”
Decakan Ansar yang beruntun terdengar. “Astaga, nggak ada basa-basi sama sekali.”
“Kau kabari aja kapan mau kutemani. Yang penting jangan pas masuk bulan keempat. Ini nomorku.” Putra terdiam. “Sekarang, boleh kau berikan ponselmu ke Wisnu? Atau Danar, kalau Wisnu nggak ada. Pasti mereka lagi bersamamu, kan?”
Lengang.
“Ansar,” Putra menekan suaranya, “ini darurat sekali.”
Ansar tidak menjawab. Namun, sayup-sayup teriakannya terdengar, memanggil Wisnu.
Suara gerusukan terdengar, ponsel itu berpindah-tangan. Suara familar muncul, “Halo, Putra?”
“Temui aku di RS Mulia Jaya. Sekarang juga.”
Wisnu terdiam. “Hah?”
“Aku butuh engkau. Kau bawa satu geng motor pun tak apa.”
Sebelum Wisnu mempertanyakan permintaan aneh itu lagi, Putra langsung menjelaskannya dengan dua kata. Tetapi itu cukup membuat Wisnu langsung menyalakan mesin motor.
Setelah sambungan telepon putus, Putra mencari nomor kembali, membalikkan halaman secara mundur. Setelah menemui nomor yang dituju, menekannya, di sambungan kedua, terdengar suara familiar lainnya, “Halo?”
“Melly, ini Putra,” panggilnya. “Bisa temui aku di RS Mulia Jaya sekarang juga? Aku butuh kehadiran kau di sana.” Dia menekankan kalimat selanjutnya lagi, “Ini darurat sekali.”
Melly menyetujuinya, meskipun dengan suara terbata-bata. Dan saat dia mempertanyakan kenapa, Putra menjelaskannya dengan dua kata. Cukup membuat Melly langsung berpamitan dan segera naik angkot.
Setelah itu, Putra menaruh gagang telepon. Dia memasukkan buku tulisnya ke rak, mengambil kunci motor yang tergantung di atas telepon, melangkah keluar pintu, membiarkan makan siangnya di meja besar itu begitu saja. Saat dia ingin memasang sepatu, dia teringat sesuatu. Dia memutar badan, menuju telepon kembali, kemudian memencet nomor tanpa perlu meraih buku tulisnya. Satu-satunya nomor yang dia hafal di luar kepala, selain nomor rumah Haidar.
Sebelum di sambungan kedua, suara melengking itu terdengar, “Putra? Ngapain telepon? Padahal tinggal ke rumah saja–”
“Achel,” Putra memotongnya sigap. Dia menghela nafas, berat sekali rasanya untuk mengatakan dua kata itu ke anak ini, tetapi dia tahu Chelsea berhak mengetahuinya. Setelah berdeham, dia mengucapkan dua kata itu, dengan suara yang seperti berbisik, “Haidar kecelakaan.”
+++
Sesampai di parkiran rumah sakit, cuaca yang tadi kering kerontang dan matahari yang menyengat mendadak berubah mendung dan kemudian hujan deras dengan petir yang menggelegar.
Saat Putra melangkah ke dalam, Wisnu dan Melly sudah berdiri di ambang pintu masuk dengan wajah yang menegang.
“Betulan kubawa satu anak geng motor,” Wisnu sigap melalui para orang lalu-lalang yang melewati mereka dari arah berlawanan. “Kayaknya parkiran rumah sakit penuh gara-gara mereka. Ngomong-ngomong, dimana kakeknya?”
“Resepsionis UGD.” Langkah kaki Putra berhenti saat mereka bertemu dengan pertigaan.
“UGD…” Melly membaca panah beserta keterangannya di dinding hadapan mereka. “Belok kanan.”
Mereka menelusuri koridor, dan Putra berbicara singkat mengenai keadaan Haidar berdasarkan percakapannya dengan Kakek Ramadan. Setelah itu, mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mungkin masih tidak mempercayai apa yang barusan terjadi, termasuk Putra. Padahal hari ini mereka baru saja bertengkar di kantin karena Putra menipunya bahwa dia memakan satu bakso Haidar, yang hampir saja terjadi tonjok-tonjokan jika tidak dicegat oleh Chelsea dan anak geng motor. Anak itu tiga hari ini ketagihan sekali membeli bakso.
Dan juga suara girangnya saat meneleponnya perihal percakapan dengan Mister Herman. Anak tertenang sedunia itu belum pernah segirang itu, setidaknya di hadapannya.
Di kejauhan, terlihat sosok pria tua berbadan tegap. Kakek Ramadan.
Putra menyalami Kakek Ramadan, juga Wisnu dan Melly. Dia menunjuk kedua temannya, “Kakek, kedua orangtua mereka kerja di RS Kabupaten Selatan. Mungkin Haidar bisa ditransfer ke sana supaya bisa dibantu mengenai urusan administrasi.”
“Bapakku dokter spesialis tulang, Kek,” kata Melly. “Kasus Haidar bisa dipindah-tangankan ke bapakku.”
Kakek Ramadan dengan raut tenangnya – tetapi Putra yakin bapak itu sebenarnya panik sejak mereka bertelepon – mengangguk patah-patah. Dia tersenyum, matanya terlihat berkaca-kaca. “Terima kasih, Nak Wisnu, Nak Melly. Tapi tetap aja Kakek harus ngurus biaya administrasinya di sini.” Dia terdiam. “Haidar…saat ini lagi di ruangan operasi. Kakinya yang patah harus segera ditangani.“
Dua orang berseragam polisi mendekati mereka, menyapa Kakek Ramadan.
“Kakek…juga harus ke kantor polisi segera,” Kakek Ramadan menatap mereka bertiga. “Mereka ingin membicarakan tentang orang yang telah menabrak Haidar.”
Kemudian, sosok wanita tua bertudung muncul. Nenek Suherni.
“Sudah Abang telepon Harun?” tanya ibu tua berwajah lembut itu, meskipun ada kekhawatiran di balik mata keriputnya.
“Sudah,” Kakek Ramadan mengangguk. “Baru sampai malam di Stasiun Kota. Kau bisa urus administrasinya, Dik? Aku perlu ke kantor polisi segera.”
Nenek Suherni mengangguk. “Aku usahain, Bang. Mataku mungkin susah baca nanti.”
“Nenek,” panggil Melly. “Mau aku bantu? Pekerjaan orangtuaku buat aku sering bolak-balik rumah sakit. Aku familiar dengan dokumen-dokumennya.”
“Aku bisa bantu juga, Nek,” tambah Wisnu.
Nenek Suherni tersenyum lega. Dia kemudian menatap Putra, “Nak Putra, bisa tolong jaga Harika sebentar? Dia duduk di dekat ruang tunggu pintu –”
Suara tangisan anak melengking tiba-tiba memekikan telinga dari kejauhan.
Kedua pasangan tua itu saling menatap, “Dedek.”
Tanpa berpamitan kepada dua polisi dan para anak sekolah, mereka meninggalkan meja resepsionis begitu saja. Putra menatap Melly dan Wisnu, kemudian dia memutuskan untuk mengikuti kedua pasangan itu, yang juga disusul oleh mereka.
Semakin Putra berjalan menuju ke arah sumber suara, telinganya semakin sakit. Tangisan itu mungkin bisa memecahkan kaca jendela.
Di kejauhan, dengan beberapa orang di dekat yang menyaksikan sumber suara dengan wajah terheran atau terganggu, beberapa suster duduk di sebelah Harika. Harika, masih berseragam sekolah, berteriak dengan air mata yang berlinangan, sambil menutup telinganya. Seolah-olah anak itu sedang menahan rasa sakit di dalam badannya.
“Harika?” Suara Nenek Suherni yang biasanya menghardiknya kali ini terdengar iba. “Dedek? Kenapa, Nak?”
“Adek,” salah satu suster mengusap bahunya. “Udah ya, jangan keras-keras nangisnya. Kakakmu pasti baik-baik aja. Kasihan orang di sini terganggu.”
Harika tetap berteriak, tidak mempedulikan orang-orang yang berbicara. Putra pernah menemui anak itu menangis jika sedang main ke rumah Haidar, entah karena jatuh dari pohon atau habis dijewer Nenek. Tangisannya hanya pecah jika Haidar sedang tidak berada di ruang tamu, itu juga hanya menangis sesenggukan. Tetapi anak itu belum pernah menangis semenyakitkan ini.
Lima orang dewasa duduk di dekatnya, termasuk Kakek Ramadan yang berlutut di hadapannya. Namun kehadirannya masih belum mampu meredakan tangisan anak itu.
Dengan wajah yang menyerngit mendengar tangisan anak itu, Putra mendekat. Dia berbicara kepada para orang dewasa, “Biar kutangani.”
Para suster beranjak. Kedua pasangan tua itu menatapnya dengan wajah pasrah. Putra hanya mengangguk sebagai balasan tatapan mereka, lagipula entah kenapa dia optimis sekali bisa menenangi adik sahabatnya ini.
Jadi, Putra duduk di sebelahnya, kemudian merangkul pundaknya, seperti yang dia lakukan untuk meredakan tangisannya yang kesakitan setelah dijewer Nenek atau lututnya yang berdarah. Seketika, Harika berhenti berteriak. Meskipun kedua tangan masih menutupi telinganya.
Melihat situasi yang berubah drastis, para suster menghela nafas lega, meninggalkan mereka dan menenangkan para pengunjung bahwa semua sudah terkontrol. Pasangan tua itu berpamitan kepada Putra, sekalian berterima kasih kepadanya karena mau menjaga anak itu sebentar. Wisnu dan Melly juga berpamitan kepadanya.
Kursi panjang itu hanya menyisakan mereka berdua. Dengan suara batukan orang di sekitar serta suara tetesan hujan deras dan gemuruh petir. Hujan yang sama saat Putra menghampiri Haidar yang berteriak di atas bukit.
Harika perlahan menurunkan tangan. Dia menekuk lutut, mendekapkan ke dalam lengan. Wajahnya basah karena linangan air mata, dan Putra mendecak karena tidak ada tisu di saku celana.
Mata Harika menerawang ke depan, sepertinya pikirannya kosong. Dia tidak bergeming sedikitpun. Namun badannya juga tidak mengelak, membiarkan tangan Putra masih merangkulnya, mengusap bahunya. Sebagai isyarat bahwa kakaknya akan baik-baik saja.
+++
+++
KEMBALI KE HALAMAN UTAMA