Bab 34: Berita
Semenjak memasuki kelas dua belas, jumlah PR sudah mulai berkurang, digantikan dengan laporan praktikum dan latihan mengerjakan contoh soal UAS. Ritual tersebut tetap dilakukan di rumah Putra. Terlebih jika mengenai pelajaran bahasa, mereka bisa mengerjakannya bersama. Putra dan Chelsea akan membantu Haidar dengan pelajaran Bahasa Inggris, dia dan Putra akan membantu Chelsea dengan pelajaran Bahasa Indonesia, yang kosa kata anak itu juga mulai banyak berkat novelnya Melly.
Memasuki tahun ajaran baru, PR dan laporan praktikum sudah tidak ada lagi, digantikan dengan berbagai macam Try Out dan persiapan Ujian Praktek yang dilakukan bulan kedua akhir. Pekerjaan bengkel Haidar hanya dilakukan tiga kali seminggu, yang sisanya dia habiskan waktunya di warnet sebelah warung Mbok Juminten, menelusuri internet bersama Wisnu untuk membaca informasi mengenai jurusan keinginan masing-masing. Setiap akhir pekan, dia menghabiskan lebih lama untuk belajar mempersiapkan berbagai macam ujian bersama Putra dan Chelsea. Gelas es susu cokelat yang mereka butuhkan semakin banyak, serta waktu bermain PlayStation semakin berkurang.
Perilaku Mister Herman semenjak study tour tidak berubah sedikitpun jika menghadapi Haidar dan lainnya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa di antara mereka semua di malam itu. Guru itu tetap menyapanya dan mengobrol dengannya layaknya seorang guru dan murid.
Di bulan ketiga, nilai-nilai Ujian Praktek dibagikan oleh para guru, supaya membuat para murid tenang menghadapi UAS yang hanya tinggal sebulan setengah. Termasuk Mister Herman yang di kelasnya membagikan nilai para murid. Wisnu tidak mengedip sepanjang pelajaran, tidak percaya dengan nilai yang dia dapatkan sendiri, membuat Haidar dan Chelsea terkekeh melihatnya. Anak itu memang semakin rajin semenjak memasuki semester akhir, bahkan sering menawarkan untuk belajar bersama di warung Mbok Juminten sepulang sekolah.
Dengan pikirannya yang sibuk menghadapi UAS dan mempersiapkan diri untuk mendapatkan bangku kuliah yang diinginkan, Haidar sampai lupa dengan impiannya sendiri, meskipun dia masih bekerja di bengkel. Sejauh ini, dia bekerja semata-mata supaya dia bisa punya uang untuk menghabiskan waktunya di warnet atau menikmati jajanan di kantin atau warung Mbok yang baru sekarang bisa dia cicipi. Harika akan girang jika porsi kue bolunya bertambah dua kali lipat.
Seperti ini rasanya jika ingin menikmati waktu saat ini, tanpa memikirkan masa depan, tanpa memikirkan rencana lainnya. Pantas saja Putra ogah-ogahan punya impian.
+++
Bel berbunyi, menandakan pelajaran Bahasa Inggris telah usai. Para murid bernafas lega setelah berkutat dengan teks sebuah karya sastra bahasa asing selama dua jam.
Seperti murid lainnya, setelah memberikan ‘pamitan kepada guru’, Haidar cepat-cepat menaruh buku-bukunya ke dalam ransel. Hari ini jadwalnya ke warnet bersama Wisnu.
Saat Haidar dan Wisnu berjalan bersisian dan melewati meja guru, Mister Herman memanggilnya, “Haidar?”
Haidar dan Wisnu berhenti. Mereka serentak menoleh kepada guru itu yang berdiri di belakang meja guru.
“Haidar ada waktu?” tanya Mister Herman. “Saya ingin mengajakmu ke kantor sebentar.”
Haidar dan Wisnu saling menatap. Wisnu menepuk pundak, “Kutunggu di warnet. Tempatmu biar kujaga juga.”
Kemudian, Haidar dan Mister Herman berjalan bersisian menelusuri koridor yang sesak oleh para murid yang ingin segera pulang. Dalam hati, Haidar berusaha menerka pembahasan mereka di dalam kantor guru nanti. Apakah Mister Herman sebenarnya ingin mengutarakan perasaan kekecewaannya kepada Haidar secara personal mengenai amplop pemberian itu?
Haidar memasuki kantor guru. Ini pertama kalinya dia memasuki ruang sakral itu tanpa murid lainnya. Haidar tidak seramah Lili, jadi dia hanya bisa tersenyum setiap melewati para guru.
Mereka berdua memasuki ruang kantor yang lebih lengang itu. Kali ini tidak ada kehadiran Pak Gilang. Ruangan itu hanya menyisakan mereka berdua, dengan deretan meja dan foto para wisudawan dan wisudawati yang selalu berubah setiap tahun.
Mister Herman menaruh buku-bukunya ke meja. Dia menunjuk kursi di sebelah, “Silahkan duduk di sana. Itu tempatnya Pak Gilang. Saya sudah minta izin tadi pagi.”
Haidar mengangguk patah-patah. Sejak keluar kelas, mereka belum bertukar satu kata pun. Dia duduk di kursi guru olahraga itu, yang mejanya sama berantakannya seperti meja Mister Herman. Mungkin ini yang membuat mereka akrab.
Mister Herman membuka buku bersampul batik dan tebal itu, mencatat sesuatu. Dia melirik Haidar, “Saya dengar sepulang dari study tour, kamu jatuh sakit.”
Haidar terkekeh. “Iya, Mister. Kupikir hanya kakakku aja yang nggak bisa kena angin pantai.”
“Saya justru masuk angin kalau kena angin gunung.”
“Serius, Mister? Di Eropa bukannya banyak pegunungan, ya?”
“Mungkin di Britania Raya nanti saya milih kota yang dekat pantai.”
Mereka tertawa. Ketegangan mulai mencair saat mereka melanjutkan basa-basi mereka. Haidar merasa bukan seorang guru lagi yang sedang dia hadapi, tetapi seperti seorang anak kuliah yang sedang KKN. Atau seorang kakak.
Mister Herman menutup buku bersampul batik. Dia masih memegang bulpen, kali ini mengambil secarik kertas, menuliskan sesuatu. Setelah itu, dia memberikannya kepada Haidar.
Haidar menerimanya. Dia menyerngit saat membaca suatu tulisan yang seperti alamat situs, tetapi tercantum nama lengkap guru itu.
“Itu alamat e-mail saya,” Mister Herman menggeletakkan bulpen. “Kamu pasti akan punya e-mail jika sudah duduk di bangku kuliah.” Dia terdiam. “Saya sebenarnya ingin mencantumkan nomor HP saya, tetapi kemungkinan akan ganti tahun depan. Jika saya dapat beasiswa LPDP di akhir tahun ini.”
Mata Haidar langsung melebar. “Mister akan keluar negeri tahun depan?”
Mister Herman menyengir. “Paling cepat tahun depan. Makanya saya memberimu e-mail saya, karena pasti tidak akan berubah. Tolong kirim saya e-mail, ya, jika kamu sudah punya. Saya ingin tetap berkontak denganmu. Lagipula…” Dia berdeham. “Pacar saya kerja di biro perjalanan. Kalau kamu suatu saat ingin beli tiket pesawat, bisa kontak saya. Nanti biar kami bantu. Biro perjalanan dia ngurus nggak hanya perjalanan domestik, tapi juga perjalanan ke luar negeri. Saya kalau pulang kampung pasti diurus tiketnya sama dia.”
Haidar ternganga. Ingin sekali dia menitihkan air mata. Kertas di tangannya bergetar.
Setelah keluar dari gedung sekolah, Haidar langsung berlarian ke telepon jalanan terdekat terlebih dahulu, tidak sabar ingin menelepon kedua sahabatnya. Dia menghubungi telepon rumah Chelsea, menyuruh anak itu untuk memanggil Putra segera. Dengan suara yang bergetar dan berusaha menahan air mata, dia menceritakan tentang pembicaraannya kepada Mister Herman di kantor sampai nafasnya tersengal-sengal. Mereka juga ikut berteriak girang, Haidar sampai bisa mendengar Chelsea sedang melompat-lompat di kursi sofanya sendiri, yang langsung dihardik sama Putra karena akan membuat pernya rusak. Chelsea mengatakannya bahwa dia akan menceritakan perihal ini kepada Melly.
Di warnet, berusaha mengontrol diri untuk tidak berteriak, Haidar juga menceritakannya kepada Wisnu. Anak itu sekarang gantian yang ternganga saat mendengarnya, dan dia juga tidak sabar untuk menceritakan kepada anak geng motor tentang hal ini.
Sepulang dari warnet, Haidar tidak sabar untuk pulang ke rumah dan langsung menelepon tempat kuli Bapak yang katanya hanya menerima panggilan darurat dari pihak keluarga. Dia tidak bisa menunggu sampai akhir pekan di jadwal bertelepon mereka.
Haidar bersenandung salah satu lagu rock lokal selama perjalanan, sebercak ingatan yang ada di kepalanya dari bengkel Om Memet. Dia tidak mempedulikan asap knalpot yang menghitamkan wajahnya, sudah biasa terkena asap mobil jika dia mereparasi mesin mobil bersama Dadang. Nafasnya tersengal-sengal, ingin mengeluarkan isi dari dada, yang biasanya terisi karena amarah. Tetapi hari ini terisi dengan kebahagiaan, meskipun dia tidak tahu kapan dia akan naik pesawat. Entah lima tahun, sepuluh tahun, lima belas, atau saat dia beruban sekalipun. Tetapi, hari ini dia hanya ingin menyampaikan berita bahagia ini kepada semua orang yang selama ini mendukungnya. Mungkin sore ini dia akan ke kuburan Ibu walaupun bukan jadwal membersihkan kuburannya.
Mata Haidar memanas di bawah sinar matahari yang menyengat kepala meskipun di balik helm. Entah karena cuaca siang ini yang begitu kering, atau air mata kebahagiaannya tidak sabar untuk keluar. Satu-satunya suara yang dia dengar hanyalah senandung lagu rock dari mulutnya. Tidak menghiraukan seragamnya yang berkeringat, mesin kendaraan bermotor yang berderu karena menunggu lampu hijau di Perempatan Lampu Merah, atau nyanyian pengamen dengan ukulelenya.
Dan dia juga tidak menghiraukan sayup-sayup suara sirine mobil polisi dari arah sebelah kiri jalan.
Saat lampu hijau muncul, sepeda ontel Haidar adalah kendaraan pertama yang berjalan, mengalahi motor dan mobil yang beberapa detik lebih telat bereaksi. Di perempatan besar yang lengang itu, Haidar mengayuh sepedanya, tidak peduli dengan suara sirine yang semakin besar.
Tepat di tengah-tengah, saat Haidar baru selesai menyanyikan lagu rock dari mulutnya, dia baru menyadari ada hembusan angin yang meniupnya kencang dari sebelah kiri. Dan saat dia menoleh, satu-satunya yang ditangkap oleh indra penglihatannya adalah sebuah lampu sen mobil sedan yang hanya berjarak sejengkal darinya.
Setelah itu, penglihatannya gelap.
+++
+++
KEMBALI KE HALAMAN UTAMA