Bab 33: Malam Tahun Baru

Sehari setelah kepulangannya dari study tour, Haidar muntah-muntah seharian.

Haidar berjongkok di bilik kamar mandi, mengeluarkan isi perutnya yang hanya terisi tiga suap nasi makan siang saja. Nenek mengurut tengkuknya, sesekali mengusap keringat dingin di keningnya.

“Kubilang juga apa! Bawa Antangin!!” Hasan mencak-mencak sejak tadi pagi, wajahnya meradang melihat sikap adik pertamanya yang tidak pernah mendengarkannya.

Haidar mengambil gayung, membersihkan mulutnya, “Kupikir Abang aja yang masuk angin kalau ke pantai–” Dia muntah kembali.

“Bapak sama Kakek sampai ke Kabupaten, ke apotek buat beli obat demam.” Hasan menghela nafas. Kepalanya menoleh ke teras, berseru, “Dedek! Main ukulelenya nggak bisa di tempat lain apa?”

Suara ukulele menggema sejak malam kemarin – pemberian cuma-cuma Haidar dan Hasan yang telah mereka rundingkan bulan lalu. Ritual pagi yang biasanya Harika habiskan di rawa-rawa untuk menangkap tikus sungai diganti dengan genjrengan ukulelenya, sambil melolong ria di teras diiringi dengan kokokan ayam dan embekan kambing. Dan Haidar merasa suara genjrengannya semakin merdu ditambah dengan suara muntahannya dari bilik.

Haidar hampir tidak pernah sakit. Satu-satunya riwayat sakit yang pernah dia ingat adalah saat SMP dahulu. Kakinya pernah terkilir saat melesat untuk menendang bola, yang malah terpeleset di atas rumput basah. Saat itu dia sampai diantarkan pulang oleh Kakek dengan motor giginya, dan selama perjalanan Haidar menggendong sepeda ontelnya. Tiga hari Haidar tidak bisa keluar rumah, untung dua harinya adalah tanggal merah dan akhir pekan.

Dan untung saja hari ini adalah liburan akhir tahun. Tetapi dia tidak bisa melakukan ritual membakar sate gosong di rumah Putra besoknya, karena Hasan bilang bahwa dia pasti akan terkapar selama dua hari. Bapak malah menawarkan kedua sahabatnya biar kemari saja, membakar sate bersama di atas tungku api. Bapak akan ke rumah Pak Kades untuk meminjam matras tambahan.

Jadi, di hari pertamanya sakit, Haidar hanya berbaring di kasur. Stamina tubuhnya seperti terkuras habis, hanya bisa menggerakkan tangan untuk meraih gelas teh tubruk Nenek di sebelah ranjang. Sayup-sayup suara obrolan dan televisi terdengar, kadang genjrengan Harika yang langsung dihardik Nenek supaya Haidar bisa beristirahat. Padahal bagi Haidar, Harika tidak apa-apa jika lanjut bermain ukulele. Suaranya bermelodi meskipun dimainkan asal-asalan.

Malamnya, Haidar dibuatkan bubur oleh Nenek sebagai pengganti nasi. Tetapi hanya bisa dia makan tiga suap, yang setelah itu dia muntah kembali di bilik, keberadaannya di bilik jauh lebih lama dibandingkan di meja makan. Haidar ingin menelepon Putra perihal rencana tahun baru, tetapi kepalanya berat, yang akhirnya Hasan menjadi juru bicaranya.

Di dalam kamar, berusaha untuk menghabiskan teh tubruk – gelas ketujuh hari ini – Haidar menghela nafas, menatap langit-langit yang matanya terasa panas karena demam. Punggungnya masih sakit karena kerokan Nenek. Sambil mengumpat kepada angin pantai dalam hati.

+++

Di hari kedua, Haidar mampu menghabiskan sarapannya. Dengan bubur sebagai pengganti nasi, serta gerakannya yang lamban, yang sampai hampir dua jam pun piringnya belum habis.

Deruan motor moge menggema. Haidar masih belum bisa bergerak cepat, jadi dia biarkan para saudaranya yang menyambut mereka. Harika berlari cepat ke teras depan, ukulele di tangannya masih tergenggam. Benda itu sepertinya dilem di telapaknya sejak kemarin.

“Bang Putra!” seru Harika. “Kak Achel!”

Kedua sahabat itu mulai terlihat sosoknya saat memasuki teras. Mereka menyapa Harika balik, sambil berlutut untuk memeluknya.

Hasan berdiri di ambang pintu, “Masuk Putra, Chelsea. Haidar di meja makan.”

Mereka berdua bersalaman dengan Hasan, kemudian melangkah masuk. Ransel berada di kedua punggung mereka. Chelsea menenteng keranjang buah-buahan, Putra menenteng helm keduanya.

Mereka menyapa Haidar saat mata mereka bertemu dengannya. Seperti rumah sendiri, mereka santai berjalan ke meja makan.

“Salam dari Mommy dan Daddy. Katanya cepat sembuh,” Chelsea menaruh keranjang buah-buahan yang terbungkus seperti parsel lebaran. “Aku meminta untuk dibelikan banyak supaya bisa dibagi buat orang rumah.”

Harika berlarian, berhenti di sebelah Chelsea. “Wah! Ada rambutan!”

“Jangan ambil semua, ya Dek. Kupas sendiri,” Haidar menyuapi sendok terakhir. Dengan stamina buruk dia malas berdebat dengan adiknya.

Putra menunjuk ukulele di tangan Harika, “Baru itu? Baru lihat Abang.”

“Iya,” Harika mengangkat ukulele hijaunya dengan antusias. “Dikasih Bang Hasan sama Bang Haidar. Padahal ulang tahunku baru bulan depan.”

“Justru sengaja nggak pas ulang tahun,” Hasan, duduk di sofa sambil menonton televisi, terkekeh. Juga diiringi dengan kekehan Haidar penuh makna.

Di jam makan siang, mereka menyantap ikan lele balado dan sayur kangkung. Bapak, Hasan, Haidar dan kedua sahabatnya duduk di meja makan. Kakek, Nenek dan Harika duduk di sofa, sambil menonton televisi karena meja yang tidak muat.

“Kambing ternak Kakek nggak apa-apa disembelih buat sate nanti malam, Om?” tanya Putra sambil melahap ikan lele dengan sendok.

Bapak terkekeh. “Loh, justru kambing-kambing ternak Kakek kan buat disantap juga.”

“Lagian jeroannya juga dijual kok,” Hasan melahap nasinya dengan tangan. “Sebelum disate sama Dedek.”

“Chelsea,” panggil Bapak. “Tadi pas sembelih kambing, Kakek cerita kalau pekerjaan orangtuamu tidak biasa.”

“Om Harun belum tahu?” Chelsea membesarkan mata, sendok di tangannya terhenti. “Bukannya pernah ngobrol sama Mommy waktu pembagian rapor?”

“Hanya ngomongin tentang perbedaan sistem sekolah di Amerika sama di sini. Itu juga Hasan yang dominasi.”

“Sok kali Abang ngomongin begituan,” celetuk Haidar. “Semua orang Abang ajak debat. Nggak kepsek, nggak Pak Kades.”

“Yaudah, sih,” Hasan melototinya. “Suka-suka aku mau ngomong apa dan sama siapa. Termasuk sama presiden sekalipun.”

“Abang ngomongnya sambil tonjok-tonjokan tapi. Untung aja sama Tante Dinda nggak sampai segitunya.”

Hasan dan Haidar beradu mulut, kemudian berhenti saat Nenek menghardik mereka berdua, “Lagi makan malah berantem! Mau Nenek jewer nanti, hah? Malu di depan Putra dan Chelsea.”

Haidar dan Hasan saling menatap sengit, sambil melahap nasi dengan tangan sampai memenuhi mulut. Bapak yang telah menyaksikan kedua anaknya seperti ini selama berpuluh-puluh tahun hanya bisa terkekeh, juga Kakek yang melihat raut sewot Nenek. Putra dan Chelsea juga tidak bisa menahan diri untuk tertawa, tidak menyangka bahwa Haidar juga bisa bertengkar ria seperti itu dengan kakaknya.

“Emang pekerjaan orangtua kau apa, Chelsea?” tanya Hasan.

“Bapakku seorang zoologist. Ibuku seorang programmer.”

Gerakan suapan Hasan dan Bapak terhenti. Mereka seketika ternganga mendengar kata asing itu.

“Bapaknya peneliti, bidangnya mempelajari hewan liar,” Haidar menjelaskan. “Kerjanya di hutan, katanya sama lembaga penelitiannya disuruh kerja di Indonesia. Ibunya nulis program komputer. Itu loh, semacam instruksi supaya komputer di warnet bisa berfungsi.”

“Ada pekerjaan kayak gitu?“ Bapak masih ternganga.

“Ada lah, Pak. Jaman udah mulai modern, kok.”

“Tapi katanya ibu kau cuma kerja di rumah,“ Hasan menyuapi lelenya, mata masih menatap Chelsea.

“Pekerjaan seperti Mommy bisa bekerja dimanapun, Bang Hasan,” jawab Chelsea. “Dia masih bekerja di perusahaan Amerika, tapi dia tidak harus punya kantor di perusahaannya. Remote…maksudku, jarak jauh. Yang penting internet di dalam rumah harus stabil untuk meeting secara virtual.”

“Unik juga pekerjaan orangtuamu,” Hasan berdecak kagum. “Belum pernah dengar aku kerjaan kayak gitu. Kalau peneliti…mungkin pernah dengar, itu juga di film. Kalau pekerjaan ibumu…nggak bisa kebayang aku. Satu-satunya pekerjaan di rumah yang aku tahu cuma ibu rumah tangga.”

“Belum tahu aja sama pekerjaan anggota keluarga lainnya,” ujar Haidar. “Kakek-Nenek Amerikanya juga peneliti. Kakeknya pengamat bintang, neneknya botanis, ahli tumbuhan. Semua sayuran di warung tetangga pasti hafal semua nama latinnya. Para pamannya…” Haidar menoleh ke Chelsea di sebelahnya, “Apa, Chel? Lupa aku.”

“Paman pertamaku bekerja sebagai dokter forensik di kepolisian. Pamanku lainnya seorang perancang kaki palsu untuk olahragawan penyandang disabilitas.”

Rahang Bapak dan Hasan terbuka seperti lepas dari sendinya.

“Astaga,” Hasan akhirnya berkutik, menyuapi nasi terakhir. “Kukira semua pekerjaan itu hanya ada di film aja.”

“Kalau pekerjaan dari keluarga pihak ibumu bagaimana?” tanya Bapak kepada Chelsea.

“Ibuku anak tunggal.” Chelsea kemudian menyengir, pipinya memerah. “Kakekku dulu seorang pemahat kayu jati untuk keluarga keraton. Nenekku penerjemah bahasa Sansekerta bagi para arkeolog asing.”

+++

Ini pertama kalinya Haidar menghabiskan malam tahun baru di rumahnya sendiri. Namun, dia lebih baik menghabiskan melihat kembang api – yang pasti hanya suaranya saja – dari rumah rotan dengan orang seramai sekarang.

Haidar masih lemah dan sedikit demam, jadi dia hanya membantu meracik bumbu sate bersama Nenek. Kakek mencincang daging dengan pisau kapak. Putra dan Chelsea menaruh daging ke tusukan dan mencelupkan ke bumbu jadi. Bapak dan Hasan menyiapkan tungku api dan membakarnya. Harika membantu mengambil alat masak yang diperlukan dan menggrenjeng ukulele dengan lolongannya.

“Kurang meja panjang aja ini,” Hasan membalikkan sate, mengusap peluh di dahi dengan lengan kaos. “Bisa buka warteg sate kita.”

“Jangan di sini tapi, Bang,” Putra menusuk daging di tusukan. “Bau tai kambing soalnya. Yang ada para pengunjung malah lari.”

“Bisa tapi kita buka warung,” tambah Haidar yang duduk di antara dua sahabatnya, sambil menaruh kain basah di kening. “Ada peracik bumbu, penusuk sate, tukang masak, pengamen…”

Lolongan Harika mendadak mengencang, diiringi dengan suara embekan kambing yang menggema. Semuanya tertawa melihat aksi adik itu yang duduk di ujung teras lainnya.

“Ngomong-ngomong, udah lama aku nggak berpanas-panasan begini,” Hasan mengeluarkan kipas Hello Kitty dari saku, mengipas dirinya karena kipas sate sedang dipakai Bapak untuk membakar. “Mendingan nguli aku. Atau bercocok-tanam.”

“Nenekmu tiap hari berada di depan api dulu,” Bapak mengipas sate, sesekali terbatuk karena asap yang mengepul. “Makanya dia bisa naruh tangannya di dalam api sekalipun.”

“Bang Hasan,” panggil Chelsea, membolak-balikkan tusukan sate mentah di dalam wadah bumbu kecap. “Abang suka menggambar, ya? Aku pernah lihat sketsa Abang di kamar Haidar.”

“Oh, itu,” Hasan menoleh. “Iya, Chel. Gambaran Abang tapi macam begitu aja. Kalau disuruh gambar badan pesawat jet, mungkin juga kayak buras macam punya Haidar.”

“Bang Hasan dulu juga masuk IPA, Chel,” cerita Haidar.

“Oh, ya?”

“Nilai Abang nggak sebagus punya Haidar tapi,” Hasan menaruh sate yang sudah jadi di wadah anyaman beralaskan daun pisang. “Gara-gara suka bertengkar sama Pak Kepsek. Dijelekin sama dia. Untung nilai Ebtanas tetap bagus.”

Mereka menikmati sate kambing, nasi dan saos kacang buatan Nenek di teras belakang, sambil duduk melingkar. Sebagian sate akan diberikan kepada tetangga dan Pak Kades sebagai ucapan terima kasih karena sudah dipinjamkan matras.

“Dedek! Masih celemotan aja cara makanmu,” Hasan melototi Harika yang mulutnya penuh saos kacang. “Malu di depan Putra dan Chelsea.”

“Jangankan di depan mereka, di depan pejabat aja mungkin tetap celemotan,” Haidar melahap nasi bercampur saos kacangnya mantap karena memakai tangan sebagai alat makan. “Di Mall Pusat kemaren juga begitu.”

“Ibu kalian bahkan dulu celemotan di seluruh wajah,” Bapak terkekeh.

“Tapi katanya Ibu udah nggak celemotan lagi sejak nikah sama Bapak,” Hasan mengambil sate selanjutnya dari wadah anyaman. “Apa Dedek nanti juga gitu? Keburu ubanan aku.”

Setelah puas mengisi perut dengan sate kambing, malam menjelang kembang api, mereka duduk di teras belakang. Menikmati teh tubruk Nenek – khusus buat Haidar dengan potongan jahe – sambil mendengarkan dongeng khas keluarga Harun. Cerita seram Kakek di masa mudanya.

Nenek membereskan tungku api. Bapak mencuci alat masak dan piring di sebelah sumur. Kakek bersandar di dinding rotan. Hasan, Putra, Haidar dan Chelsea duduk setengah melingkar di hadapan Kakek. Harika berada di sebelah Hasan, meringkuk di balik sarung dan ukulelenya tergeletak begitu saja.

“…Kawan Kakek keesokkan harinya menghilang. Hanya sebelah sepatunya aja yang bisa kami temui.” Kakek menyeruput teh sesaat. “Malamnya, saat kami masih berkeliling cari kawan Kakek, di tengah kegelapan, tiba-tiba sosoknya muncul. Bajunya compang-camping, belati di kerisnya terlilit akar gantung, wajahnya kotor dan penuh luka. Langsung kami samperin lah dia, kami masih pakai obor saat itu. Badannya menggigil, dan kalimat pertama yang dia lontarkan adalah; tahun berapa ini? Kami bingung, karena dia baru tiga hari aja menghilang.” Kakek terdiam, suaranya merendah, “Tapi dia bilang, dia telah tersesat di hutan selama satu tahun.”

Haidar menenggak gelas teh, mengusap bulu kuduk di tengkuknya yang merinding. Untung saja hutan di Desa tidak ada pohon beringin. Wajah Chelsea juga menegang, gelas di tangannya belum terminum lagi sejak Kakek mengawali ceritanya.

Hasan seperti biasa tertawa. Tetapi, Putra malah berdecak, “Kurang seram, Kek. Ada yang lebih seram lagi?”

Hasan langsung terbelalak, menatap Putra antusias – merasa punya teman, “Nggak penakut juga kau ternyata?”

“Abang belum tahu aja,” sahut Haidar. “Kalau lagi nonton film Hollywood yang ada hantunya, satu rumah udah ngumpet di dinding. Di depan televisi hanya nyisain dia aja.”

“Oh, cerita ini, Kek,” kata Hasan. “Yang tentang arwah noni Belanda di goa–”

“Jangan yang itu!! Nggak bisa tidur aku nanti!” Harika menghempaskan sarung, memperlihatkan wajahnya yang nanar. Kemudian, kepalanya dia tutup dengan sarung kembali.

Haidar tertawa melihat postur adiknya yang menungging di balik sarung. “Udah kayak perbukitan desa aja dia.”

“Iya.” Hasan menguncupkan jemari, menaruhnya ke kepala Harika, “Tinggal bercocok-tanam aja aku di sini–”

Harika langsung menghempaskan sarung lagi. Dia beranjak, dengan sarung yang masih melilit badannya, berlarian ke belakang punggung Putra dan meringkuk kembali.

“Dedek,” Haidar memutar badan, menatap adik yang terbungkus sarung. “Di belakang Putra pas banget loh sama ladang ilalang. Kata Kakek kalau kambingnya ngembek berarti ada genduruwo di balik semak-semak.”

Gemaan embekan kambing langsung terdengar. Spontan Harika berdiri, tidak jadi mengambil posisi barunya. Sambil berteriak ketakutan, dia berlarian ke sebelah Hasan, kemudian membungkus dirinya kembali dengan sarung. Dua bukit desa yang bergetar muncul kembali, membuat semuanya tertawa melihat tingkah laku anggota keluarga termuda itu, termasuk Putra dan Chelsea.

“Omongan kakakmu dipercaya.” Putra menggeser badan, menepuk lantai rotan, “Sini Harika, mau duduk di sebelah Abang?”

Harika pindah tempat kembali. Dia menyempilkan badannya di antara Putra dan Hasan. Posisinya masih meringkuk, tetapi kepalanya sekarang hanya tertutup setengah.

Kemudian Kakek mulai menceritakan tentang kisah arwah noni Belanda di goa, salah satu sepuluh cerita terseram bagi Haidar. Haidar sudah mendengarnya tiga kali, tetapi tetap saja bulu kuduknya merinding, ditambah lagi embekan kambing malah terdengar lebih ramai. Hasan seperti biasa tertawa jika suara Kakek mulai merendah, memberikan klimaks dari inti cerita yang bagiannya paling seram. Putra hanya mangut-mangut dengan wajah datarnya, seperti setiap dia menonton film horor mancanegara kalau setannya tiba-tiba muncul di layar. Chelsea masih melebarkan mata karena tegang sepanjang cerita, membiarkan tehnya dingin. Harika masih bersembunyi di balik sarung, tetapi badannya tidak bergetar lagi.

Kakek masih melanjutkan ceritanya saat kembang api mulai terdengar. Tidak ada yang menghiraukannya, karena mereka tidak bisa melihatnya dari rumah rotan. Lagipula, mendengarkan cerita Kakek tetap lebih seru ketimbang melihat kembang api. Terutama, saat sepanjang cerita, Chelsea diam-diam merangkul lengan Haidar, membuat bulu kuduk Haidar perlahan juga menurun, merasakan sentuhan hangatnya di balik kulitnya yang demamnya mulai mereda.

+++

+++

KEMBALI KE HALAMAN UTAMA
Previous
Previous

Bab 34: Berita

Next
Next

Bab 32: Study Tour