Bab 32: Study Tour
Seminggu ini, Haidar tidak bisa tidur. Tidak sabar membayangkan study tour ke pantai di Provinsi Selatan yang bertepatan di akhir pekan ini. Mungkin tempat itu adalah tempat terjauh yang pernah Haidar datangi selama ini.
Saat Haidar menceritakan hal ini kepada Bapak dan Hasan di telepon sampai kehabisan nafas saking menggebu-gebunya, terlebih perjalanan ini tidak memakan biaya sepeser pun meskipun dia akan pergi selama tiga hari dua malam, respon pertama yang didapatinya adalah kalimat sederhana Hasan: “Jangan lupa bawa Antangin.”
Tetapi, tentu saja Haidar tidak membawanya. Dia tidak pernah mendengarkan pesan kakak sialan itu.
Malam sebelumnya, Haidar menginap di rumah Putra supaya besoknya mereka bisa berangkat bersama Chelsea, juga karena alasan jarak tempuh. Malam itu mereka habiskan dengan duduk di telepon rumah canggih Chelsea, menghubungi Melly dan Wisnu secara bergantian, membicarakan tentang rencana mereka perihal uang sumbangan yang ingin mereka kasih kepada Mister Herman. Sudah sejam lebih mereka berkutat dengan telepon, untung saja tidak perlu menaruhkan gagang di telinga. Orangtua Chelsea setiap melewati mereka terkekeh melihat ketiga remaja itu yang seperti sedang meeting virtual.
“Katanya Lili yang akan membujuk Mister Herman,” kata Chelsea. “Uangnya akan dipegang oleh Rina selama perjalanan.”
“Terus kapan mau dikasihnya?” tanya Wisnu, suaranya bergema di ruang tamu lewat pengeras suara. “Dan dimana?”
“Di malam kedua,” jawab Putra. “Tempatnya…yang jelas bukan di pantai.”
Tawaan Danar menggelegar. Anak itu katanya sedang menginap di rumah Wisnu, juga menguping pembicaraan mereka.
“Sebaiknya di tempat tertutup. Di tempat nggak ada yang bisa lihat, termasuk guru,” tambah Haidar. “Mungkin kita baru bisa mutusin jika udah di sana.”
+++
Setiap bis pariwisata diisi oleh setiap kelas yang hanya berjumlah dua puluh murid dan dua guru. Lima bis pariwisata melaju di jalan tol saat matahari baru terbit.
Haidar, berusaha menahan diri untuk tidak ternganga supaya tidak dihardik Wisnu, menatap jendela sejak mereka memasuki tol. Pemandangan sawah di atas bukit belum pernah dia lihat selama ini selain di televisi. Sandwich isi keju leleh, potongan sayuran dan daging asap di tangannya baru tergigit setengah. Chelsea yang duduk di sebelahnya juga berdecak takjub.
“Achel, sandwich buatan bapakmu enak. Belum pernah aku makan kayak begini,” Wisnu menunjuk sandwich ke arah Chelsea di tangannya. Dia duduk di sebelah Chelsea, satu-satunya kursi yang menghadap langsung ke jalanan bis karena mereka duduk di paling belakang.
“Achel,” Melly yang duduk di sebelah Wisnu lainnya, menjulurkan kepala sambil mengunyah sandwich. “Kalau bapakmu jualan di Mbok, aku beli tiap hari sampai lulus.”
“Iya, Chel,” Sonya menyahut, juga menjulurkan kepala di sebelah Melly lainnya. “Ini resep Amerika, ya?”
Chelsea tertawa, wajahnya memerah sepanjang perjalanan dengan mata yang melebar. “Katanya ini makanan dia jika harus berada di hutan berhari-hari dahulu kala. Kalau di Amerika kami memakai roti gandum.” Mereka bertiga ber-ooh antusias, meskipun tidak bisa membayangkan apakah roti gandum berbeda dengan roti tawar.
“Makasih loh, Achel, udah bagi-bagi sarapan,” Melly tersenyum. “Si Lili pasti pamer di bis, bilang dapat sarapan dari Amerika.”
“Iya,” Wisnu terkekeh, melahap potongan roti terakhirnya. “Nggak kebayang si Danar juga pasti merem-melek makan ini sama anak-anak lainnya, apalagi anak itu sarapannya cuma singkong rebus. Kalau si Putra, sih, kayaknya udah biasa makan beginian.”
Chelsea tertawa, suara anak ini sejak pagi terdengar girang sekali. “Justru bapakku yang lebih semangat saat mendengarkan tentang study tour ini. Makanya sampai ingin buat sandwich, suruh dibagi ke kalian semua.”
Di hari pertama, mereka mengunjungi ke sebuah hutan lindung yang tak jauh dari pantai. Mereka berjalan menelusuri hutan yang dipandu oleh penjaga hutan, berbicara tentang spesies tumbuhan yang mereka lewati serta tempat tinggal para burung atau serangga tertentu.
Chelsea sibuk berfoto ria dengan kamera digital bapaknya. Dia yang berjalan di sisi Haidar sesekali menunjuk suatu tumbuhan yang mereka lewati, berbicara tentang fakta menarik dari tumbuhan itu yang dia dapatkan dari bapaknya. Haidar mendengarkannya dengan antusias, anak ini selalu mempunyai cerita menarik di balik suatu alam. Geng Melly juga kadang menimbrung, ingin mendengarkannya juga.
Sedangkan geng Danar sibuk menyeret Putra yang gerakannya melamban, terutama jika mereka menaiki tanjakan. Putra beralasan ingin memotret dengan kamera polaroidnya meskipun dengan nafas tersengal-sengal, sesekali memotret Danar jika anak itu mendekatinya dengan pelototan karena ingin menyeretnya kembali, yang langsung dibalas oleh teriakan Danar karena belum siap. Anak geng motor tertawa jika melihat hasil dari film yang keluar, dan Putra akan mengatakan bahwa foto Danar ini untuk mengusir tikus di rumah.
Malamnya, mereka tidur di sebuah tempat penginapan dimana satu kamar memuat sepuluh orang, tidur beralaskan tikar dan anak lelaki serta perempuan dipisah. Ruangan Haidar hanya beranggotakan anak geng motor dan Putra, maka mereka hampir saja bergadang semalaman, hanya pura-pura tidur jika mendengar langkahan kaki guru untuk mengecek kamar mereka. Malam itu mereka habiskan dengan Danar dan anak geng motor rebutan gameboy Putra untuk bermain Tetris, ketagihan. Haidar tertawa geli menyaksikan kehebohan mereka seperti ayam ternak Kakek jika dikasih makan, sambil melihat-lihat hasil jepretan Putra dari hutan yang gambarannya sudah hampir mirip seperti foto-foto di majalah National Geographic. Lelah rebutan gameboy, mereka bermain kartu remi yang diam-diam dibawa oleh Danar.
Di hari kedua, bis mereka melaju ke pantai. Mereka berkeliling di desa sekitar, berbaur dengan orang lokal, seperti mengamati para nelayan yang memperbaiki perahu mereka atau para ibu yang menyulam jala. Anak-anak kecil berlarian di pesisir pantai dengan bertelanjang dada, kepala bersimbah keringat dan kaki dipenuhi oleh pasir pantai. Haidar tertawa geli menyaksikan mereka, membayangkan jika adiknya berada di sini. Mungkin seluruh badannya sudah dipenuhi oleh pasir.
Sore menjelang malam, sambil menyaksikan langit yang mulai jingga dan matahari yang mulai tenggelam di ufuk, para murid dan guru membakar ikan tangkapan orang lokal, duduk mengelilingi api unggun. Beberapa bermain lompat tali atau bola pantai dengan alat seadanya. Murid dan guru bergabung dan bermain bersama, tidak ada yang dibedakan. Bahkan Pak Kodir ikut bermain bola pantai bersama murid lainnya, melawan tim Pak Gilang yang juga diisi oleh para murid. Beberapa murid mengelilingi wali kelas mereka, berbicara santai sambil mengoleksi kerang yang terhampar.
Menjelang malam, geng Danar sibuk bermain voli melawan Pak Gilang yang berkelompok oleh para guru kali ini seperti Pak Kodir dan Mister Herman. Geng Melly sibuk membangun kastil pasir sambil menghiasnya dengan kerang yang mereka tangkap. Haidar melihat-lihat hasil foto di kamera digital Chelsea, dengan anak itu yang memicingkan mata sepanjang waktu di sebelahnya, melihat langit sambil telunjuknya bergoyang-goyang, mencari rasi bintang. Putra berkeliling, memotret orang-orang dari kejauhan, menangkap momen malam terakhir study tour yang sehangat api unggun di hadapan mereka.
+++
Di malam terakhir, para murid menginap di rumah orang lokal yang sudah mendapatkan perizinan supaya rumahnya mau ditempati. Anak lelaki dan perempuan boleh digabung, dan setiap grup berisi maksimal lima belas orang.
Haidar dan lainnya tidur di sebuah ruang tamu yang sudah dikosongkan. Hanya ada kipas, televisi yang dimatikan dan karpet jerami yang menutupi ubin lantai. Mereka memutuskan untuk memberikan uang sumbangan Mister Herman di rumah ini.
“Semoga si Lili nggak nyasar,” Melly menggosokkan tangannya, wajahnya menegang. Dia menoleh ke Rina, “Nggak lupa kan kau bawa uangnya?”
“Nggak, Mel. Udah aku cek sampai tiga kali sebelum berangkat,” Rina berjongkok, mengais ranselnya. Sesekali mengibaskan selendangnya yang menjuntai ke depan, meliliti leher dan menutupi kepalanya.
“Ditemani si Fajar, kan anak itu?” Danar berselonjoran, duduk di depan kipas yang anginnya terhalang sepenuhnya karena badan bongsornya.
Asep menyeruput air kemasan gelas. “Iya.”
Kemudian, langkahan kaki yang berlarian terdengar. Fajar muncul di ambang pintu.
“Mister Herman bentar lagi datang,” ujarnya, dengan wajah menegang.
Semua orang langsung gegabah merapikan lipatan selimut dan ransel mereka. Danar mengemas cepat kartu remi supaya tidak ketahuan. Putra menumpuk film hasil jepretan dari pantai. Haidar melipat sarung yang dia jadikan selimut selama perjalanan, dengan hatinya yang berdegup paling kencang di antara semua. Mereka telah memutuskan untuk dia yang akan memberikan uangnya, karena dia yang pertama kali mengusulkan. Sejak lingkaran pertemanannya masih berisi Putra dan Chelsea saja.
Saat suara langkahan lainnya terdengar, mereka mulai duduk setengah melingkar, dengan wajah yang menegang, termasuk Danar. Ruangan mulai senyap, hanya suara kipas yang menggema dan jangkrik dari luar.
Sosok Lili masuk terlebih dahulu. Dia berdiri, menghadap ke luar, “Silahkan masuk, Mister.”
Kemudian, Mister Herman muncul, dengan senyuman ramahnya. Guru itu mengenakan celana kain dan jaket hoodie, serta sendal gunung. Penampilannya membuat bapak itu malah seperti anak kuliah yang sedang KKN di desa ini.
“Malam semuanya,” Mister Herman menyapa sambil melepas sendal. Semua membalasnya serentak, seperti mereka menyapa guru itu setiap masuk kelas di ‘sambutan kepada guru’.
Saat Mister Herman memasuki rumah, Lili menutup pintu, “Mister, permisi ya. Pintunya harus ditutup. Supaya tidak ada yang masuk.”
Mister Herman terkekeh, menatap semuanya sambil mengambil posisi duduk di sebelah pintu, “Ada apa ini? Wajahnya pada tegang semua.”
Wisnu yang duduk paling dekat dengan guru itu menyodorkan air gelas, “Ini Mister.”
Danar menekan tombol kipas, “Mister, kipasnya kugedein nggak apa-apa, ya. Mendadak gerah.”
“Mister, tempat nginapnya nggak jauh dari sini, kan?” tanya Melly. “Maaf ya, kalau kami ganggu Mister.”
“Santai saja,” Mister Herman menusuk sedotan di air gelas. “Tadi hanya merokok sama Pak Gilang dan salah satu nelayan.”
“Nggak ada yang curiga, kan Mister, saat dipanggil Lili?” tanya Sonya dengan suara bergetar.
Mister Herman menggeleng. “Justru Pak Gilang yang ngusir saya.”
Semua tertawa. Ketegangan di ruangan itu mulai mencair.
Mereka sempat berbasa-basi terlebih dahulu. Guru itu menceritakan tentang kampungnya yang terletak di sebuah sungai, jadi ada kehidupan nelayan juga yang mengingatkannya kepada tempat tinggal. Semua ber-ooh antusias mendengar cerita tersebut, terutama Haidar yang kehidupannya lebih dekat kepada perbukitan. Chelsea juga sesekali menimbrung, menceritakan tentang rumahnya dahulu yang terletak di dekat danau, bisa terlihat beberapa nelayan juga meskipun dengan kapal lebih canggih, dan Rudi bercerita tentang sepupu tertuanya yang bekerja sebagai tentara di Angkatan Laut.
“Jadi,” Mister Herman membuka suara lagi. “Dalam rangka apa ini memanggil saya?”
Suasana yang awalnya hangat kembali tegang.
Semuanya melirik satu sama lain, memberi makna tidak terucap. Kemudian, Lili yang pertama menjawab, “Kami…sebenarnya punya sesuatu buat Mister.”
Rina merogoh sebuah amplop putih dari tasnya, mengoper kepada anak di sebelahnya sampai amplop itu jatuh ke tangan Haidar yang duduk di tengah, lurus berhadapan dengan Mister Herman. Haidar menelan ludah sebentar, kemudian dia beranjak, berjalan mendekati Mister Herman. Dia berlutut saat hanya berjarak satu meter di depan guru itu.
Haidar menyodorkan amplop putih dengan kedua tangannya, “Buat Mister.”
Raut Mister Herman berubah bingung, tapi sunggingan senyuman masih berusaha dia beri. Setelah dia menerima amplop itu, Haidar kembali ke tempat duduknya dengan langkahan kaki yang bergetar.
Mister Herman menatap amplop di tangannya. Dia menatap para murid, “Boleh…saya lihat?”
Semua mengangguk cepat. Justru itu yang mereka nantikan.
Mister Herman membuka hati-hati amplop yang hanya dikerat selotip. Saat dia melihat isinya, senyumannya langsung sirna. Melihat perubahan drastis itu, degupan jantung mereka semakin cepat.
“Itu bukan uang sogokan, Mister,” Putra yang selalu bisa membaca situasi membuka suara.
“Iya, Mister,” Wisnu menambahi, dengan deheman tiga kali. “Justru karena Mister, nilai rapor Bahasa Inggris kami selalu bagus.”
Mister Herman masih menatap isi amplop dengan wajah berkerut. Anak-anak mulai menatap Haidar, menunggunya untuk mengatakan kalimat selanjutnya.
Haidar menarik nafas, mengusap keringat di dahi meskipun kipas sudah dinyalakan maksimal. “Itu…buat ibu Mister. Yang sedang sakit.”
Mister Herman seketika mengangkat kepala. Murid yang dia tatap pertama kali adalah Haidar, dengan tangan yang masih memegang amplop.
“Semua ini…rencanaku,” Haidar mengusap tengkuk, menghindari tatapan guru itu. “Kalau Mister marah, marahnya sama aku aja. Jangan sama yang lain. Mereka hanya ingin membantuku.”
Semua mata tertuju kepada Haidar, sedangkan dia masih menundukkan kepala, menatapi karpet anyaman yang memberikan pola di kulit kakinya.
“Aku…nggak sengaja nguping pembicaraan Mister sama Pak Gilang di kantor. Sudah lama, saat masih kelas sepuluh,” lanjutnya. “Tentang Mister yang katanya ibunya sedang sakit dan ingin keluar negeri. Pembicaraan Mister membuatku penasaran. Jadi aku sempat berdiskusi sama Putra dan Achel awalnya, terus habis itu juga bilang sama yang lainnya di sini.” Dia menatap semua temannya satu-satu. “Jadi, kami berusaha ingin gali informasi itu lebih dalam.
“Mister mungkin lupa, tapi dulu Mister pernah bilang kepadaku dan Melly di kantor, bahwa Mister ingin lanjut kuliah ke luar negeri. Kami juga cari tahu lewat Pak Gilang, karena kami menduga Mister dan beliau cukup dekat. Katanya, ibu Mister ngidap penyakit yang…cukup keras. Maka dari itu, hampir setahun ini, kami berusaha ngumpulin duit. Sendirian. Nggak ada campur tangan orang tua kami, atau dari OSIS. Hanya dari murid yang berada di sini sekarang.”
Haidar memberanikan diri untuk mengangkat kepala, menatap guru itu lurus.
“Kami ingin ibu Mister cepat sembuh. Supaya Mister bisa keluar negeri,” Haidar menegakkan postur badan. “Karena saat aku nguping pembicaraan Mister tentang itu, aku merasa itu adalah impian Mister, dan ternyata Mister juga tekankan saat aku dan Melly di kantor.” Dia berhenti. “Aku ingin Mister bisa menggapai impian itu. Karena aku juga tahu rasanya punya impian. Impian yang bagiku tinggi, meskipun di mata orang sederhana.”
Ruangan masih hening. Selain kipas dan jangkrik yang bergema, kali ini ada suara cicak yang muncul.
Mister Herman menghela nafas. Matanya menatap amplop kembali, “Bang Gilang ini, angkat beban bisa. Tapi ringan kali mulutnya kasih tahu tentang hal ini.”
Semua wajah menegang, menduga bahwa Mister Herman justru kecewa dengan pemberian mereka. Mereka, sebatas muridnya yang hanya berdurasi dua setengah tahun, telah masuk ke ranah pribadinya secara sembarangan.
“Tapi, saya masih ingat kok. Tentang pembicaraan itu di kantor.”
Mister Herman mengangkat kepala. Dia menatap Haidar kembali, mata sayu itu masih terlihat redup sejak dia pulang dari kampungnya di awal semester baru. Namun, senyuman menyungging di bibirnya. Senyuman yang bukan dipaksakan untuk terlihat ramah, melainkan senyuman tulus, yang belum pernah Haidar lihat selama ini.
“Bahkan, saya masih ingat teks bahasa Inggrismu itu saat kelas sepuluh, Haidar,” lanjutnya. “Teksmu…yang bahasanya tidak sebagus punya Putra, Chelsea, atau Melly, saat itu. Tapi, teksmu satu-satunya yang buat saya saat itu tercengang. Ambisimu saat menceritakan keinginanmu itu menggebu-gebu sekali. Mengingatkan saya kepada diri sendiri saat masih duduk di bangku sekolah juga.”
Haidar tertegun. Kata-kata Mister Herman entah kenapa terdengar indah.
Mister Herman menatap amplop kembali, jempolnya mengelus kertas putih itu, “Maaf, jika saya justru mengecewakan kalian semua.” Dia mendongakkan kepala, “Ibu saya sudah meninggal lima bulan yang lalu.”
Udara di ruangan itu seperti mendadak lenyap, membuat dada Haidar langsung sesak. Perasaan yang sama juga dilanda oleh anak lainnya.
Haidar langsung menyadari sesuatu. Kepulangan Mister Herman yang sampai hampir sebulan, serta matanya yang terlihat redup di balik senyuman girangnya setiap mengajar, mempunyai alasan. Dalam hati, dia mengumpat diri sendiri. Bagaimana mungkin dia tidak menyadari hal itu?
Wajah para anak geng motor menegang. Beberapa anak perempuan mulai menitihkan air mata.
“Tapi, terima kasih banyak atas pemberian kalian ini. Saya terima dengan senang hati,” Mister Herman mengangkat amplopnya, tersenyum. “Saya tidak menyangka akan mempunyai pengalaman seindah ini selama menjadi guru. Saya…tidak menyangka akan memiliki murid sebaik kalian semua.”
Mister Herman memasukkan amplop ke dalam saku hoodie-nya. Dia mulai beranjak, mengangguk kepada para murid, “Saya…pamit, ya. Maaf tidak bisa berlama-lama.”
Serentak semuanya berdiri, mengizinkan guru itu meninggalkan mereka. Haidar juga berdiri, menatap guru itu yang suaranya parau saat berpamitan serta matanya yang sedikit berkaca-kaca.
Mereka berdiri di ambang pintu, dimana Haidar berdiri paling depan. Mereka menemani Mister Herman yang sedang memasang sendal gunungnya.
Sebelum Mister Herman membalikkan badan, dia menatap semuanya sekali lagi bergantian, memberikan senyuman ramah khasnya, “Sekali lagi, terima kasih banyak, ya. Saya pamit.”
“Hati-hati, Mister,” kata Danar. “Jangan nyasar, ya Mister!”
Mister Herman terkekeh. Dia berpamitan sekali lagi, kemudian memutar badan. Di langkah ketiga, Haidar berlari ke ambang teras, berseru, “Mister!”
Mister Herman berhenti. Dia membalikkan badan. Semuanya juga menatap punggung Haidar bingung.
Haidar berkerut, memberanikan diri untuk mengatakan kalimat selanjutnya, “Mister…akan kuliah ke luar negeri, kan tapi?”
Di bawah lampu remang jalanan dan rembulan penuh, mata sayu Mister Herman mulai terlihat bersinar. Bahkan lebih antusias dibandingkan saat Haidar bertemu dengan guru itu untuk pertama kalinya. Seolah-olah baterai yang terhubung dengan lampu bohlam kembali terisi, bahkan membuat sinarnya semakin terang. Dan Mister Herman pun tersenyum, “Iya.”
+++
+++
KEMBALI KE HALAMAN UTAMA