Bab 31: Tahun Terakhir
Kelas dua belas, tahun terakhir para murid mengenakan seragam sekolah. Memasuki tahun ajaran baru, banyak peristiwa menarik yang telah mengalihkan kesedihan Haidar terhadap uang tabungannya yang terkuras itu.
Pertama, perubahan para murid secara fisik karena pubertas yang sudah di penghujung waktu. Mulai dari Danar yang wajahnya berewokan, sampai Melly yang memanjangkan rambutnya supaya bisa diikat ekor kuda dan suaranya yang melembut. Beberapa siswi juga mengganti seragam mereka seperti rok yang menutupi sampai mata kaki dan membaluti kepala dengan kerudung putih, seperti Rina. Lili sekarang menjabat sebagai sekretaris di OSIS, dan sering berbicara kepada Putra bahwa wakil ketua OSIS yang kenal dekat dengannya menitipkan salam kepada anak itu, yang tentu saja sama dia ditolak mentah-mentah.
Pembicaraan mereka sekarang juga mulai serius setiap berada di warung Mbok Juminten, meskipun pembicaraan mengenai Ansar masih mendominasi. Mereka berbicara tentang jurusan kuliah yang ingin mereka daftar setelah kelulusan nanti.
“Aku mana ajalah. Masuk vokasi pun tak apa,” Danar mengayunkan tangan gusar. “Yang penting masih bisa balap motor sama Ansar.”
“Aku rencananya lanjut di Politeknik, sih,” Sonya menggigit roti. “Jurusan yang berhubungan dengan kesehatan pokoknya.”
“Sama,” tambah Asep. “Kalau aku palingan masuk akutansi.”
“Haidar,” panggil Melly. “Katanya kau mau masuk teknik di Institut Teknologi. Ambil teknik apa emangnya?”
“Mesin,” Haidar menggigit bolu. “Om Memet yang saranin. Lagian aku juga sekarang yang tukang perbaikin mesin mobil jeep sama Kang Dadang.”
“Wisnu,” panggil Rina. “Kau ambil perawat juga? Sama kayak kedua orangtuamu?”
Wisnu memasukkan tangannya ke dalam saku, wajahnya berkerut seperti memantapkan kata-kata yang akan keluar dari mulutnya. “Pilihan terakhir. Aku coba kejar bangku universitas. Kedokteran.”
Semua anak langsung ternganga, termasuk Danar yang berada di sebelahnya.
“Serius kau, Nu?” Danar berteriak di telinga Wisnu, tapi anak itu tidak bergeming – sudah terbiasa. “Sejak kapan kau seserius itu??”
“Kau nggak tahu kalau sejak semester kemarin si Wisnu jadi serius?” Haidar menunjuk anak di depannya. “Dia sering menelponku ke rumah. Nanyain PR.”
“Apa??” Danar melototi Haidar. “Padahal anak ini kalau ketemuan sama Ansar mainnya juga banyak.”
“Si Wisnu,” Chelsea menyahut. “Katanya kalau Haidar susah dihubungi, dia menelepon Melly untuk menanyakan PR.”
Wajah Melly langsung memerah, ingin melempar bungkusan roti yang kosong. “Achel! Tidak usah dibahas!”
Spontan Danar dan para anak geng motor langsung bersiul sambil menepuk pundak Wisnu. Tetapi anak itu tetap tidak bergeming, entah karena memang dia tidak begitu peduli atau dia menyembunyikan reaksi emosinya dengan begitu baik.
“Cepat kali kalian pikir yang aneh-aneh,” Wisnu menepis tangan Danar yang masih memukul pundaknya. “Aku bertelpon sama Melly karena bicarain jurusan kedokteran. Kedua orangtuanya kan dokter.”
Kemudian, rumor tentang sebuah study tour ke sebuah pantai yang terletak di Provinsi Selatan di akhir tahun sebelum liburan mulai tersebar. Katanya kegiatan itu adalah ritual tahunan para anak kelas dua belas sebelum menghadapi UN. Beberapa guru yang mengajar di angkatan mereka juga ikut, seperti Pak Kodir dan Mister Herman. Saat mereka mengetahui bahwa guru Bahasa Inggris itu ikut, mereka berencana untuk memberikan uang sumbangan yang masih mereka kumpulkan di saat study tour.
Namun, Mister Herman sudah hampir sebulan ini sejak tahun ajaran baru tidak terlihat batang hidungnya di sekolah.
+++
Haidar tidak bisa menahan diri untuk menguap kelima kalinya, mendengarkan Miss Winda, guru Bahasa Inggris di angkatan bawah, berbicara dengan bahasa asing itu yang tercampur dengan logat daerah lokal yang mendominasi, sambil menulis dengan kapur di papan tulis. Dia tidak sendirian yang menguap. Beberapa murid terkantuk-kantuk, bahkan Chelsea di sebelahnya sesekali mengayunkan kepalanya yang hampir terantuk meja, yang langsung Haidar tahan dengan memegang bahunya supaya kepala anak itu tidak benjol. Chelsea saja yang biasanya sefokus Melly mendengarkan ceramahan guru bisa terkantuk begini. Dia membayangkan Putra mungkin bahkan tertidur di atas meja, bersamaan dengan Danar dan dengkurannya.
Para murid seketika melek saat Miss Winda menyuruh mereka untuk mengerjakan soal. Mereka mulai duduk berkelompok. Wisnu seperti biasa langsung memutar posisi duduk, menaruh bukunya di meja Haidar.
“Jadi nanti kita ke warnet yang di sebelah warung Mbok?” tanya Wisnu sambil menggurati bulpen. “Selesaiin laporan praktikum minggu kemarin.”
“Jadikan aja,” Haidar menulis kalimat bahasa asing di bukunya. “Kapok aku diketok kepalaku sama penggaris Putra gara-gara menunda pekerjaan.”
Chelsea yang mendengarkan itu langsung tertawa, pasti membayangkan sebuah kenangan di semester kemarin.
“Lagian, sejak kelas dua belas, kenapa sih semua guru minta laporan diketik?” Wisnu berdecak, mata ke bukunya. “Paling malas aku di depan komputer. Mendingan belah perut kodok. Achel, kenapa ibu kau bisa tahan di depan komputer dua puluh empat jam?”
Chelsea menyengir, matanya juga ke buku. “Karena Mommy lebih suka di depan komputer. Daripada membelah perut kodok bersama Daddy.”
Di dalam warnet, Melly dan Sonya duduk di komputer sebelah mereka, juga mengetik laporan yang sama. Mereka berlima sambil berbicara mengenai Mister Herman.
“Si Lili udah berusaha tanya sama anak OSIS lain katanya,” jari Melly berderu di keyboard – kata Chelsea tangannya selincah ibunya mengetik. “Ya gitu, satu-satunya informasi adalah guru itu sedang pulang kampung. Alasan darurat.”
“Oh gitu,” Wisnu, sebaliknya, malah mengetik keyboard satu-satu, matanya berkerut menatap layar dan gerakan jemarinya bergantian. “Si Danar juga udah tanya Pak Gilang katanya. Tapi dia juga bilang yang sama…”
“Wisnu, kau salah ketik lagi,” Chelsea menunjuk layar.
“Ah! Nggak bisa aku ketik sambil ngomong,” Wisnu menggarukkan kepala gusar.
“Ya sudah, aku aja yang ngetik,” Haidar menawarkan diri. “Nanti Achel yang ketik selebihnya.”
“Kau bisa ngetik, Dar?”
“Haidar pernah mengetik di komputer Mommy. Aku ajari waktu itu,” kata Chelsea. “Kalau masalah ketangkasan dengan tangannya, dia paling cepat belajarnya. Kecuali memotong steak.”
Haidar hanya berdecak pelan sambil menukar posisi dengan Wisnu, membiarkan Chelsea menertawakannya. Suaranya selalu merdu di telinganya, mau anak itu lagi mengumpat dengan bahasa gaul Amerika sekalipun.
“Tapi…pulang kampung kok selama itu,” Sonya terbata-bata. “Katanya sejak liburan semester juga.”
“Mungkin mengunjungi ibunya,” gumam Melly.
Bulan depan, Mister Herman akhirnya muncul kembali di kelas, membuat satu angkatan kelas dua belas bernafas lega. Para murid juga merindukan logat guru itu yang selalu menyulap kelas seperti pertemuan keluarga bangsawan di kerajaan Ratu Inggris. Mister Herman, dengan nada girang khasnya, mengajar seperti biasa, melanjuti materi Miss Winda yang terakhir.
Tetapi, di dalam kelas, sambil mengamati guru dari Kalimantan itu, Haidar merasa ada sesuatu yang berbeda dari Mister Herman. Mata sayu guru itu terlihat seolah-olah kelopak matanya lebih berat. Seperti lampu bohlam yang terhubung dengan baterai yang hampir habis.
+++
+++
KEMBALI KE HALAMAN UTAMA