Bab 30: Mall Pusat
“Minggu depan kan ulang tahunmu,” suara Chelsea terdengar dari ambang telepon. “Pas sekali kita juga sudah selesai Ujian Semester. Jadi, aku dan Putra berniat membawamu ke sebuah mall yang baru buka awal bulan ini.”
Setelah jadwal bertelepon dengan Bapak dan Hasan malam ini, kedua sahabat itu menghubungi Haidar. Telepon darurat.
“Ingin kali kau ke mall itu,” sahut Putra, suaranya terdengar jauh meskipun mereka bertelepon tanpa gagang. “Dari minggu kemarin kau selalu nyebut mall itu tiap main PlayStation di rumah.”
“Katanya mall itu adalah mall terbesar di Kota,” suara Chelsea semakin meninggi. “Tidak hanya ada pertokoan saja, tetapi juga ada berbagai macam tempat makan dan arena permainan.”
Haidar berkerut, “Arena permainan?”
“Iya. Arena permainan di dalam. Namanya Timezone.”
Haidar berusaha mencerna kata itu yang lagi-lagi terdengar asing di telinganya. Tetapi tidak seasing New York atau spaghetti bolognese.
“Kedengarannya menarik,” Haidar mengangguk. “Tapi…bayar, kah?”
Suara ambang telepon senyap. Sepertinya kedua orang itu saling menatap.
“Haidar,” panggil Putra kemudian. “Aku tahu kau nggak pernah suka ditraktir sama kami, tapi di hari ulang tahunmu, kami ingin mentraktirmu. Selama berada di mall itu.”
“Iya,” sahut Chelsea. “Tidak hanya di arena permainan saja, tetapi juga makan di mall itu nanti. Kau tidak usah mengeluarkan uang sepeser pun.”
Haidar menelan ludah. “Kalian…serius?”
Mereka berdua terkekeh.
“Iya. Serius,” kata Chelsea. “Itu kan hari ulang tahunmu. Anggap aja itu hadiah dari kami.”
“Lagipula kalau kami ulang tahun pun,” ujar Putra, “kau selalu bersikeras ngajak kami ke rumahmu karena ingin buat bubur dari ayam ternak Kakek.”
Kedua orang itu terkekeh kembali, kali ini sambil saling berbicara. Haidar hanya mendengarkan mereka dengan mata yang memanas. Entah apa yang dilakukan dia di hidup ini, dia bisa mempunyai kedua sahabat yang baik sekali dengannya.
Suara hentakan kaki Harika terdengar. Adik itu menenteng ember berisi piring bersih, sehabis mencuci di belakang. Dia berdiri di depan rak, mulai mengelap piring bersih itu sambil bersenandung.
Tiba-tiba, Haidar punya keinginan lain.
“Kalian,” Haidar bersuara, menginterupsi obrolan kedua orang itu. “Aku…boleh punya satu permintaan?”
Mereka berdua terdiam menunggu Haidar.
Haidar melirik Harika dari kejauhan. “Di hari ulang tahunku…aku boleh ajak adikku?”
Mereka masih terdiam.
“Yang bayar uang makan sama bermainnya...” Haidar berdeham, “Biar aku aja. Uang sangu dari bengkel masih cukup.”
Mereka masih terdiam. Tetapi Haidar merasakan bahwa mereka sedang tersenyum.
“Tentu saja boleh,” Chelsea yang pertama bersuara. “Bahkan, Harika bisa kami bayar juga.”
+++
Haidar ternganga, sambil memegang tangan Harika yang anak itu sedang bersenandung sambil melihat lalu-lalang kendaraan di jalan raya.
“Sepertinya hanya Harika yang tidak mendapatkan gen bapakmu ini,” Chelsea tertawa cekikikan, berdiri di sebelah Harika.
Haidar menelan ludah, berusaha menutup rahangnya. Sebuah gedung berdiri di seberang jalanan yang besarnya melebihi bank negeri atau Rumah Sakit Kabupaten. Puncaknya seperti menenggelamkan langit, menutupi matahari yang bersinar. Deretan mobil mengantri di depan pintu mall yang selebar rumah rotan.
“Tahu begitu…” Haidar menelan ludah lagi. “Aku pakai baju batik ke sini.”
Putra, berdiri di sebelah Haidar, memukul pundaknya. “Suka kali kau pakai batik! Padahal tiap upacara bendera aja kau suka terngantuk-ngantuk.”
“Ngomong-ngomong,” Chelsea menolehkan kepala kepada Putra. “Tumben sekali kau tidak membawa kameramu.”
“Aku nggak tertarik motret lautan manusia di dalam gedung.”
Mereka berempat menyebrangi jalan raya, ada sebuah penyebrang jalan khusus pengunjung yang ingin ke mall elit itu, dengan satpam yang lalu-lalang menjaga penyebrangan berlangsung. Haidar berjalan terpatah-patah saat dia menyebrang jalan menuju pintu mall, melewati mobil elit yang menunggu mereka menyebrang. Untung saja dia mengenakan sendal khusus untuk mengunjungi kondangan, serta adiknya juga yang biasanya hanya mengenakan sendal anyaman yang selalu berlumpur setiap pulang ke rumah.
Saat mereka memasuki pintu geser kaca raksasa itu, Haidar hampir saja menggigil karena dingin ruangan yang mengalahkan lantai ubin rumah para sahabatnya. Matanya melebar melihat lalu lalang orang yang ramainya seperti di Pasar Pinggir Lembah, tetapi tidak menyesakkan. Lantunan lagu pop mancanegara bergema di seluruh gedung dari pengeras suara, tetapi tidak mekekikan telinga seperti toko penjual kaset yang dia lalui di Pasar.
“Waah!!” Harika akhirnya berseru, matanya membesar memperhatikan lalu lalang orang. “Ramai kali–”
“Dedek!” Haidar mengayunkan tangannya yang masih memegang adik itu. “Kubilang apa tadi di rumah? Kalau kau teriak di sini, kutinggalin kau.”
Harika melangkah maju, tetapi tertahan karena pegangan Haidar – supaya tidak hilang di tengah mall. Dia menunjuk ke depan sembarang, “Suaranya jauh lebih keras daripada suaraku.”
Haidar menggarukkan kepala – bahasa adiknya kadang jauh lebih asing dibandingkan mendengar kata spaghetti bolognese. “Entah suara apa lagi yang kau maksud.”
Saat mereka menaiki eskalator, Harika menjulurkan kepalanya dari pegangan untuk menatap ke bawah. Haidar harus jongkok untuk memegang badan adiknya, sambil menatap anak itu ngeri, terlebih tinggi pegangan eskalator tidak setinggi ujung koridor sekolah. Sesekali Haidar menghardiknya, yang membuat Chelsea dan Putra tertawa melihat tingkah mereka.
Saat mereka berjalan menyusuri lantai dengan pinggiran sebuah kaca yang menampakkan empat lantai di bawahnya, gerakan mereka melamban karena wajah Harika yang menempel di kaca sepanjang jalan, menatap keramaian dengan mata berbinar, sambil sedikit ternganga. Lagi-lagi Haidar harus jongkok menahan badannya, meskipun kaca pelindung jauh lebih tinggi dibandingkan adiknya.
“Adikku emang jarang menganga,” Haidar menatap kedua sahabatnya di belakang. “Tapi dia suka nempelin wajahnya di kaca. Tadi juga begitu sepanjang perjalanan di dalam bis kota.” Dia menatap ke depan, bergumam, “Kata Bapak kayak Ibu dulu kalau dia naik mobil Pak Kades.”
“Suaranya bagus, Abang.” Harika berbicara di sela-sela wajahnya yang masih tertempel di kaca, hampir membuat hidungnya gepeng.
“Suara apa lagi, sih?”
“Suara mall.”
Haidar menghela nafas. “Mendingan aku dengar ocehan filosofis Putra dibandingkan dengerin kau.”
Mereka memasuki sebuah arena permainan yang bernama Timezone. Tulisannya yang berada di atas area masuk tanpa pintu menyambut mereka dengan belasan lampu bohlam warna-warni, menunjukkan berbagai macam permainan yang tidak pernah Haidar lihat selama ini. Tidak ada perosotan atau ayunan, melainkan sebuah kursi dan meja berbeda bentuk, serta lampu bohlam warna-warni lainnya menerangi ruangan itu dan suara-suara abstrak yang melengking.
Tempat ini mampu membuat Harika menganga sepenuhnya. Belum pernah dia setakjub itu.
“Oh, tempat kayak gini,” Putra mangut-mangut. “Pernah lihat aku di Singapura. Tapi belum pernah masuk.”
“Di setiap permainan kita harus memasuki koin khusus yang kau tukar terlebih dahulu di meja resepsionis.” Chelsea melangkah masuk. “Di setiap akhir permainan, kita akan mendapatkan secarik kupon. Kupon itu bisa kita tukarkan di resepsionis dengan hadiah, semakin banyak semakin besar hadiahnya.”
Haidar hanya mengikuti kemana kedua sahabatnya itu berjalan. Mereka ke resepsionis dengan meja etalase yang penuh dengan berbagai macam mainan, mulai dari mobil-mobilan sampai mainan berbaterai yang Haidar pernah lihat di kompleks perumahan dua sahabat itu. Berbagai macam boneka berukuran anak balita terpampang di dinding.
Mereka mendatangi sebuah meja dengan tikus tanah mainan di lobang sebagai arena pertama.
“Cepetan pukul tikusnya, Dedek!” Haidar berseru sambil memukul para tikus tanah dengan palu kain. Dia berdecak melihat para tikus yang bersembunyi di lobang, gerakannya lebih cepat daripada pukulannya.
“Susah, Bang!” Harika malah sembarangan memukul semua lobang, tidak peduli ada tikus atau tidak. “Mendingan tangkap tikus pake tangan. Lebih cepat.”
“Nggak bisa tikus ini ditangkap pakai tangan! Harus dipukul…Dedek! Cepat pukul sebelah sana!”
“Abang, jangan teriak-teriak!” Harika mengerut wajahnya kesal, pukulan tangannya berhenti. “Suara Abang merusak suara tikus!”
“Tikus itu bisu. Nggak ada suaranya!” Haidar mengangkat palu, lebih ingin mengetuk kepala adiknya saja.
“Heh! Malah bertengkar!” Putra yang hanya berdiri seperti seorang juri yang mengawasi mereka menghardik. “Cepat pukul tikusnya! Nggak dapat kupon kita nanti!”
Kakak-beradik itu langsung sigap memukul semua lobang gusar, terlebih waktu mereka tinggal dua puluh detik. Tawaan Chelsea yang juga menonton karena hanya ada dua palu tidak berhenti sejak permainan.
“Udah kayak betulan naik mobil aja,” Haidar ternganga menatap layar, tangannya sibuk memutar setir di hadapan. Sekarang dia sedang bermain balap mobil bersama Putra, tapi bukan game controller di tangan mereka, melainkan setiran dan pedal betulan.
Putra juga tercengang, tetapi matanya lebih fokus ke permainan. “Iya. Udah kayak Pak Joko aku dibuatnya. Tahu gitu pakai baju seragam dia sekalian.”
“Ayo, Haidar! Cepat!” Chelsea berdiri di tengah mereka, menonton. “Cepat kalahkan Putra!”
“Abang payah kali,” Harika bercelutuk, berdiri di depan Chelsea. “Suka tabrak-tabrak mobil orang. Mendingan Bang Putra.”
“Dedek! Dukung Abang kali-kali!” Haidar melototi adiknya, namun matanya yang berpaling langsung menabrak mobil orang lagi – untuk yang kesepuluh kalinya.
Sekarang, mereka berada di sebuah lantai dengan panah bewarna-warni dan dua layar yang menampakkan sosok orang berjoget serta lagu mancanegara.
“Harika, kau harus menginjak panah yang di layar,” Chelsea menunjuk lantai Harika, matanya fokus menatap layar, kakinya sibuk menginjak lantai berpanah di sekelilingnya.
“Mendingan joget gini, Kak Achel. Lebih cocok sama lagunya,” Harika malah joget sesuka hati, tidak menghiraukan kakinya yang asal menginjak panah. Gerakannya malah kayak cacing kepanasan.
Putra yang berdiri di belakang mereka menatap nanar. “Kalian berdua jogetnya buat aku sakit mata.”
Chelsea memutar kepala gusar, kakinya malah menginjak panah sembarangan. “Susah main ini! Coba saja sendiri nanti!”
Haidar yang berdiri di sebelah Putra membungkuk badan, menahan geli di perut. Menonton Chelsea yang hentakan kakinya seperti ingin menjebol lantai karena lantunan lagu yang semakin cepat, serta jogetan heboh Harika yang seperti membuat pinggangnya hampir lepas dari badannya.
Setelah mencoba berbagai macam permainan lainnya seperti melempar bola basket dan bermain air hockey, mereka memutuskan untuk menukarkan kupon yang mereka kumpulkan karena perut mereka sudah keroncongan. Kupon yang mereka punya hanya bisa ditukarkan dengan sebuah kipas lipat plastik bergambar Hello Kitty.
“Cuma ini? Setelah kita keringatan begini??” Haidar menatap kipas itu nanar, sambil mengelap keningnya dengan lengan kaos, AC ruangan ini tidak cukup mendinginkannya. “Mendingan buat Nenek aja. Biar nggak kepanasan kalau lagi panggang kue. Daripada pakai kipas sate.”
“Abang, sih. Payah tadi pas main mobil balap.” Harika memonyongkan bibir.
“Halah! Kayak kau becus aja!” Haidar mengangkat kipas Hello Kitty, ingin mengetok kepala adiknya, tetapi tidak mau terlihat sebagai kakak sadis di depan sang resepsionis. “Masukin bola basket aja tadi nggak betul. Padahal udah kuangkat kau sampai ke atas meja.”
“Lagian Abang kurang tinggi. Kalo Bang Hasan yang angkat aku pasti masuk.”
Sebelum mereka berdua lanjut bertikai sampai pagi, Putra menyeret mereka berdua keluar dari Timezone. Chelsea juga mendorong punggung Haidar, sambil tertawa terpingkal-pingkal menikmati keributan Harun bersaudara itu.
Mereka berempat mendatangi sebuah hamparan meja dengan rumah makan yang berjajaran di sekeliling, menyuguhi mulai dari makanan lokal yang terlihat mewah sampai makanan mancanegara yang Haidar tidak pernah tahu namanya. Kata Chelsea namanya food court.
“Nggak apa-apa adikku makan pakai tangan di sini?” Haidar melirik Harika di sebelahnya yang sibuk mengais ayam kremes dengan tangannya yang penuh dengan nasi. Setumpuk tisu yang disediakan tertera di depan piringnya, untuk mengelap mulut adik itu yang sudah penuh sambal. Sedangkan Haidar hati-hati menyendokkan suwiran ayan kremes dengan sendok, meskipun dia gatal ingin menyobek daging empuk itu dengan lima jarinya.
“Ada wastafel, kok, di sudut,” mata Chelsea, duduk di hadapannya, menatap belakang Haidar.
Haidar menoleh ke belakang, mengikuti tatapan Chelsea. Ada dua wastafel keramik di sudut dengan sabun dan kaca, sepertinya mengarah ke toilet.
“Bang Putra makan pakai apa itu?” Harika menunjuk Putra di hadapannya dengan jari yang berlumuran nasi dan bubuk kremes.
“Sumpit ini namanya,” Putra lihai menyapit mie goreng dengan dua batang pipih itu. Satu-satunya alat makan yang Haidar, bahkan Chelsea, tidak bisa kuasai.
“Harika,” Chelsea menusuk kentang goreng – sejauh yang Haidar lihat Chelsea jarang makan nasi kecuali di rumahnya dan di bengkel Om Memet. “Aku tidak pernah melihatmu makan dengan sendok, kecuali pas makan bubur waktu itu.”
“Aku nggak suka pake sendok,” Harika melahap seonggok suwiran ayam, memenuhi mulutnya. “Suara sendok di piringku buat telingaku sakit.” Dia menoleh ke Haidar, “Abang, jangan kencang-kencang pake sendoknya. Merusak suara mall.”
Haidar malah mendentingkan sendoknya lebih keras, sampai membuat Putra dan Chelsea menyerngit. Harika merengek, ingin melempar tulang ayamnya, dan Haidar tertawa puas, tetapi Putra malah menghardiknya karena gerakan sendoknya, bukan kepada adiknya yang memainkan tulang ayam.
Setelah puas makan, mereka berkeliling mall, melihat toko-toko yang memajang koleksi baju, mulai dari baju-baju yang biasa Haidar lihat di Pasar Kabupaten sampai dengan baju mewah yang nama tokonya tidak bisa dia baca. Kadang ada toko yang Haidar mesti berhenti di depan jendela, menatap hiasan etalase yang terlihat mewah, seperti jam tangan dan perhiasan berlian dari Eropa, atau pernak-pernik alat masak dari Jepang. Harika seperti biasa menempel wajahnya di hampir setiap jendela kaca, seolah-olah melihat dari kejauhan tidak cukup baginya. Tetapi Haidar membiarkannya, terkekeh melihat punggung anak itu, terutama saat Harika menatap jendela kaca dari sebuah toko alat musik. Kakinya seperti dilem, susah sekali menyeretnya.
“Aku pernah lihat ini,” Harika menunjuk sebuah alat petik di kaca jendela. “Tapi biasanya nggak sebesar ini.”
“Itu namanya gitar,” Chelsea menekukan lutut, berdiri di sebelahnya, juga menatap instrumen itu.
“Yang kau pernah lihat mungkin ukulele,” tambah Putra, berdiri di belakangnya.
Haidar menatap punggung mereka bertiga dari kejauhan. Dia tertegun saat melihat bayangan raut adiknya yang belum pernah setakjub itu, bahkan saat menempelkan wajahnya di jendela bis atau di kaca pembatas pinggir lantai mall.
Kaki Haidar kali ini seperti dilem saat mereka melewati sebuah toko dengan pintu bergambar pesawat.
“Itu biro perjalanan,” kata Chelsea, berdiri di sebelahnya. “Kau bisa membeli tiket pesawat di sini.”
Haidar menoleh, “Kupikir belinya di bandara.”
“Justru belinya di tempat seperti ini,” kata Putra yang berdiri di sisi lainnya, matanya sambil mengawasi Harika yang berjalan sembarangan menatap kerumunan supaya anak itu tidak hilang. “Di bandara jarang dijual tiket pesawat.”
Haidar ber-ooh antusias mendengar informasi baru itu. Hatinya berbunga-bunga, membayangkan bahwa suatu saat dia akan melangkahkan kakinya ke dalam tempat itu untuk membeli tiket pesawat untuknya. Dengan destinasi yang juga telah dia ketahui.
Lelah berkeliling mall yang jika dipikir luasnya melebihi lapangan sepak bola, mereka berempat duduk di sebuah kursi panjang yang terletak di lantai teratas. Mereka menghadap ke pembatas kaca pinggir lantai, mata mereka bisa mengamati keseluruhan dalam mall sampai lantai terbawah.
Haidar duduk di tengah, segelas es serut dengan dua sendok plastik tergenggam di tangannya. Chelsea duduk di sebelah kanan, juga menggenggam es serut untuk dirinya. Putra di sebelah kiri, menyeruput jus alpukat yang juga dijual di tempat yang sama. Harika berdiri, masih asyik menempelkan wajahnya di kaca. Dia hanya datang jika ingin menyuapi es serut Haidar.
“Habis ini kita ke wartel yang di sebelah mall, ya,” Putra melirik mereka berdua, kemudian mulutnya menyeruputi sedotan. “Biar aku telepon Pak Joko.”
“Kata Putra biar kau diantarkan saja pulangnya sampai ke halte bis depan Desa. Nanti kami juga ikut,” Chelsea menyendok es serut. “Lagipula sudah sore. Pasti Harika juga sudah lelah.”
Haidar menatap punggung adik di depannya yang juga terlihat mematung. Anak itu memang lebih banyak diamnya sekarang, mungkin lelah terlalu heboh joget di Timezone tadi.
Haidar menatap keduanya scara bergantian, “Terima kasih. Padahal nggak usah repot-repot.”
“Sejak kapan kau sesopan itu?” Putra memukul pundaknya. “Ini hari ulang tahunmu. Lagian belum pernah kau diantar sama Pak Joko sampai Desa. Bapak itu udah lama juga nggak ke sana lagi sejak aku naik motor.”
Haidar menyengir. Kemudian mereka bertiga melahap jajanan masing-masing dalam diam.
“Adikku…selalu sendiri.”
Putra dan Chelsea menoleh serentak ke Haidar. Haidar menyendok es serut yang mulai cair. Dia menatap keduanya bergantian, “Makanya kuajaki ke sini. Makasih juga udah mau biarkan dia bergabung.”
“Aku justru senang kau ajak Harika,” Chelsea melirik Harika. “Main di Timezone tadi jauh lebih seru, meskipun banyak kalahnya karena dia.”
“Aku juga ngeri pas dia lemparin bola basket.” Putra menyeruput sisa jus, suara sedotan melengking. “Makanya aku berdiri di belakang Haidar. Supaya lemparannya yang malah keluar nggak kena kepala orang lewat.”
Mereka bertiga tertawa, memikirkan ingatan yang sama saat mereka bermain bola basket di Timezone, tentang adik itu dengan tingkah hebohnya.
Mereka akhirnya mengobrol tentang teman-teman mereka, berencana untuk kapan-kapan mengajak geng Danar dan Melly ke Timezone. Membayangkan Danar yang berteriak gusar saat main mobil balap dengan setiran yang pasti dikalahkan Putra, Melly dan kawan-kawannya yang berjoget ria di atas lantai bergambar panah, atau Wisnu yang latah karena munculnya para tikus dari lobang secara tiba-tiba.
Haidar, seperti biasa, lebih banyak diam jika kedua sahabatnya berbicara. Dia ikut terkekeh di tengah-tengah tawaan Chelsea dan decakan keras Putra. Matanya sambil melirik punggung Harika yang menurun, staminanya sudah terkuras. Tetapi matanya masih menatap jendela, mungkin menikmati suara yang selalu dia sebut-sebut, yang hanya dia yang bisa dengar.
Haidar perlahan menyunggingkan senyuman. Bukan hanya karena kehadiran dua sahabat yang masih berbicara heboh di sebelahnya yang sesekali saling mengumpat, melainkan kehadiran Harika di depannya. Suara menggelegarnya, gerakan hebohnya, cara makannya, semuanya mengingatkannya kepada Ibu.
Ada luka lain yang menganga di dalamnya karena si ibu yang telah memeras keluarganya untuk membayar biaya operasi anaknya itu. Melemparkan tanggung jawab ke mereka secara cuma-cuma, yang sebenarnya ibu itulah yang merenggut uang tabungan Haidar. Luka yang ingin Haidar simpan sendiri saja. Bapak dan Hasan, serta kedua sahabatnya tidak perlu tahu. Mungkin suatu saat akan tertutup dengan sendirinya.
Sedangkan luka saat dia mengutuk kehadiran adiknya itu mulai tertutup sepenuhnya, digantikan dengan rasa syukur karena adiknya telah hadir di dunia ini. Meskipun dengan sikapnya yang membuat kepala pusing dan mulutnya yang selalu menyebut suara-suara, yang bagi Haidar selalu menjadi misteri sampai sekarang.
+++
+++
KEMBALI KE HALAMAN UTAMA