Bab 29: Keluarga

Haidar sedang memakai kaos rumahnya di dalam kamar, sambil mendengarkan sayup-sayup suara di luar. Entah suara televisi yang dibiarkan begitu saja, suara hujan yang masih mengguyur Desa, atau seruan para anak Kota yang meramaikan isi rumah.

“Benda itu betulan buat setrika, Nenek?” suara Chelsea ragu-ragu seperti saat dia ingin mencoba sate usus ayam di Kawah Bening.

“Itu setrika arang, Achel,” balas Putra. “Termasuk benda antik. Jangan bilang bapakku kalau Haidar masih punya benda itu, nanti dicuri pula sama dia.”

“Nak Chelsea mau coba?” suara lembut Nenek menyahut. “Tapi hati-hati, ya. Panas sekali soalnya, bau asap juga.”

Putra berdecak. “Untung aja tulisan Haidar masih kebaca. Isi ranselnya ngalahin kolam ikan lele tetangganya yang pernah dia tunjukin dulu.”

Setelah Haidar selesai mengganti baju dan menaruh seragamnya yang kotor dan basah di ember kosong, dia menenteng ember dan membuka pintu kamar. Dua sahabatnya, mengenakan kaos rumah dan celana kain Haidar karena baju mereka ikut basah juga meskipun mengenakan jas hujan, sedang menata buku-buku Haidar yang digeletakkan di lantai rotan ruang tamu. Putra membuka lembaran buku, Chelsea berlutut memegang setrika arang dengan panduan Nenek di sebelahnya, sambil menyetrika sebuah kain yang di bawahnya adalah salah satu buku tulis Haidar. Seorang pembaca berita menemani mereka dari televisi, memberitahukan tentang cuaca hujan badai hari ini, sekaligus memperingati kemungkinan banjir di beberapa daerah yang dialiri sungai.

Langkahan kaki Haidar keluar kamar menarik perhatian ketiga orang di ruang tamu. Putra menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi. Chelsea menoleh dengan senyumannya. Nenek juga menoleh, tetapi dengan wajah terlipat dan mata yang hampir keluar.

Haidar menelan ludah. Dia mengetahui sinyal yang Nenek berikan.

Nenek sigap beranjak, mendatangi Haidar dengan langkahan kaki yang menggema. Matanya semakin membesar, dan sekarang tangan terangkat, “Apa Nenek bilang?? Tiap pulang sekolah, langsung ke rumah! Bukan main hujan-hujanan!!”

Haidar membuka mulut, ingin membalasnya, tetapi yang keluar malah keluhan karena kekuatan jeweran Nenek. Putra dan Chelsea tertawa melihat interaksi nenek dan cucu itu.

“Udah kayak Harika aja,” Nenek berjalan ke meja makan setelah menjewernya. “Untung kau nggak bawa pulang cacing tanah macam dia.”

Haidar berjalan mengikuti Nenek, tangannya sambil mengelus telinganya yang masih sakit dijewer – rasanya seperti digigit kambing ternak Kakek, pernah mengalaminya saat masih kecil. “Toh aku yang cuci baju seragam ini. Ke sungai pun tak apa.”

“Taruh aja embernya di teras belakang,” Nenek menghampiri teko yang terletak di atas kompor gas. “Udah kubilang, tugas cuci bajumu diliburin seminggu ini.”

Haidar berjalan keluar teras belakang yang pintunya dibiarkan terbuka, membiarkan angin memasuki rumah dan mendinginkan suhu ruangan. Tampiasnya masih terus membasahi halaman belakang, diiringi dengan suara kokokan dan embekan dari ladang ternak Kakek. Setelah menaruh ember dan masuki kembali, dia melihat Nenek menuangkan air panas dari teko ke dalam tiga gelas berisi teh tubruk dan potongan jahe. Tiga piring nasi dan piring lauk lainnya tertera di atas meja.

“Putra, Chelsea,” suara Nenek melembut kembali. “Makan dulu, Nak.”

“Setrikanya bagaimana, Nenek?” suara Chelsea terdengar panik. “Aku bingung menaruhnya.”

“Sebentar, biar Nenek yang ambil-alih.” Nenek selesai menaruh air panas, berjalan ke kompor gas untuk menaruh teko di sana.

Haidar menghampiri meja makan, duduk di kursi bagian tengah, yang dimana tergeletak satu-satunya piring tanpa sendok-garpu di sisinya.

Ketiga orang itu melahap makan siang. Tempe goreng, daun nangka santan dan sambal. Jauh lebih sederhana ketimbang makanan yang disuguhi di rumah Putra atau Chelsea dengan berbagai macam saos dan nama-nama asingnya. Tetapi, kedua sahabat itu justru melahapnya lebih bersemangat daripada Haidar, sambil beradu mulut karena ingin bercerita.

“Si Danar saat baca pidatonya di kelas Mister Herman,” Putra sejak tadi tertawa geli, sendok di tangannya menggantung begitu saja. “Saking lamanya,

kupikir dia masih berpidato sampai besok pagi. Udah gitu, aku nggak sengaja menguap, suaraku ngalahin suara pidatonya. Hampir terjadi perang dunia ketiga di kelas.”

Chelsea tertawa terbahak-bahak, gigitan tempe di mulutnya hampir keluar. “Saat di praktikum kimia kemarin, Wisnu salah memasukkan takaran garam. Hampir saja membuat cairannya meledak, tapi tetap saja sempat berasap.” Dia tertawa cekikikan, “Kau tahu, kan, reaksi dia saat melihat itu?”

“Latah lagi pasti itu orang?” Putra memasukkan sendokan nasi sampai memenuhi mulutnya.

“Iya, lah! Sampai membuat Pak Sadam juga melompat!”

Kedua orang itu tertawa. Haidar juga tidak bisa menahan diri untuk tersenyum, meskipun di kejadian saat itu dia tidak bereaksi apa-apa. Hanya menatap Wisnu datar di sebelahnya saat itu, sedangkan anak itu berseru saat melihat tabung reaksi berasap, seruannya menggema ruang laboratorium dan membuat semua anak melompat; kebakaran hutan!!

Di meja makan saat ini memanglah tidak ada kehadiran Bapak, Hasan, atau Ibu. Tetapi keramaiannya saat ini mengalahkan keramaian makan malam oleh mereka semua, meskipun hanya diiringi dengan suara wartawan di televisi, senandung Nenek yang masih menyetrika, dan deruan hujan yang menetes di atap rotan, sesekali dengan gemuruh petir.

“Kalian,” Haidar membuka suara, membuat tawaan mereka langsung berhenti. “Kalau masih hujan sampai besok pagi, nginap di sini aja. Besok kan juga libur.”

Chelsea dan Putra saling menatap satu sama lain. Kemudian, Putra berbicara, “Tanpa hujan pun, aku bisa nginap di sini selamanya. Palingan aku harus nyesuaiin hidungku dengan kotoran kambing tiap aku ke halaman belakang.”

Chelsea terkekeh. “Iya. Kami bisa menemanimu juga kok di sini. Mungkin kalau aku mau mandi, aku harus mengusir kalian dan menyuruh Harika menemaniku lagi.”

“Kau mau mengusirku kemana?” Putra menancapkan potongan tempe dengan garpu.

“Ke peternakan Kakek, lah.”

Putra langsung melotot. “Aku nggak mau ikutan bau kotoran kambing! Pernah kejadian, susah hilangin bau itu di bajuku meskipun udah dicuci pakai mesin.”

Kedua tetangga itu bertikai kembali. Pertikaian mereka sekarang diselingi dengan tawaan, meskipun kadang sambil ingin melayangkan garpu di tangan masing-masing.

Meskipun angin hujan memasuki rumah, membuat ruangan jauh lebih dingin ketimbang AC di rumah kedua sahabatnya itu, tetapi suasana meja makan terasa hangat. Sehangat teh tubruk dengan potongan jahe Nenek yang gelasnya sedang digenggam oleh Haidar. Sambil tertawa menyaksikan pertikaian mereka, seperti biasa. Tawaan pertama di minggu ini.

+++

“Udah, biar aku aja yang cuci!” Putra menyikut Chelsea, tangannya sibuk menyabuni piring dengan kain basah yang berbusa. “Jarang kali aku cuci piring. Mau bantu Mbak Nina pun biasanya aku nggak dibolehin Mamah.”

“Tapi kau mencuci heboh sekali!” Chelsea meringis, ikut jongkok di sebelah Putra, sambil membilas piring berbusa dengan gayung. “Haidar bilang dia tidak punya baju lagi. Kalau baju kau basah, kau tidur dengan bertelanjang dada.” Dia kemudian tertawa penuh ledekan.

Wajah Putra memerah. “Aku tidur sama baju basah pun tak apa. Emang kau, kena air hujan setetes aja langsung masuk angin. Untung tadi kita udah siapin Antangin.” Chelsea langsung melotot sambil mengayunkan gayung kosong di tangannya.

“Udah, udah,” Haidar berdiri di belakang sahabatnya sejak tadi sambil memegang payung raksasa Chelsea. “Padahal cuma lima piring, tapi kalian cucinya lama kali. Berdua lagi. Masih lebih cepat adikku.”

Chelsea dan Putra langsung menoleh serentak dengan wajah terlipat.

“Kau ini,” kata Putra. “Udah kita tawarin jadi upik abu di rumahmu seharian ini, malah banyak ngeluh!”

“Iya,” Chelsea memonyongkan bibir. Kemudian dua tetangga itu mencuci piring kembali, melanjutkan pertikaian mereka.

Haidar tertawa geli melihat mereka berdua, disertai dengan hatinya yang berbunga-bunga melihat raut kesal Chelsea tadi, membuat anak perempuan itu justru terlihat imut.

Langkahan kaki yang menuju teras belakang terdengar. Harika muncul dengan piring kosong di tangannya.

“Abang Putra sama Kakak Achel belum selesai cuci piring?” tanya Harika. “Padahal Harika udah selesai makan, loh.”

“Tahu, nih,” Haidar mengibaskan satu lengannya – payung raksasa Chelsea hampir seberat sapi ternak Kakek. “Sampai besok pun masih cuci piring mereka.”

“Banyak kali cakap kau!” Putra malah menghardik Haidar. Dia mengayunkan tangan ke arah Harika, “Harika, berikan piringmu. Abang bisa cucikan.”

Harika mengenakan sendal, berlarian cepat ke arah mereka sambil menenteng piring kosong. Rambut ikalnya yang basah karena tetesan hujan terlindung kembali saat dia sudah berada di bawah payung.

“Harika, kau kenapa selalu celemotan, sih setiap makan?” Chelsea mengambil air dengan gayung. “Sini, kubantu bersihkan mulutmu.”

Putra sekarang mencuci piring kotor bekas makan malam Harika. Chelsea mengguyuri air di telapak tangan Harika yang jongkok di sebelahnya, membersihkan mulutnya yang kotor setelah makan.

Wajah Haidar memanas menyaksikan mereka semua. Ada emosi yang menghangatkan dada. Perasaan yang sama jika Bapak dan Hasan sedang main ke rumah.

Dua sahabat itu selesai cuci piring, bersamaan dengan Harika yang selesai membersihkan mulutnya. Harika menawarkan untuk mengangkat piring bersih yang masih basah itu di sebuah ember, kemudian dia berlari kembali yang kecepatannya seperti motor gigi Kakek. Hentakan kakinya menggema saat dia sampai di teras belakang, punggungnya menghilang cepat saat dua sahabat itu baru berusaha berdiri, mengaduh karena kakinya yang kesemutan, terlalu lama jongkok.

“Tuh, kan,” Haidar membantu Chelsea berdiri. “Siapa suruh cuci selambat Danar pidato bahasa Inggris.”

“Cucian kami masih jauh lebih cepat ketimbang pidato anak itu,” Putra mengelak. Tangannya memegang pundak Haidar sebagai tumpuan, sambil mengibas kakinya.

Mereka bertiga memasuki halaman teras. Haidar masih sibuk mengibas payung raksasa, sedangkan kedua sahabatnya sudah memasuki rumah.

“Harika,” suara Putra terdengar. “Nggak usah dilap piring-piring itu. Biarkan kami yang ngelap.”

“Serius, Bang?” tanya Harika. “Padahal aku suka suara kain kalau lagi ngelap piring.”

“Suara?” sahut Chelsea. “Memangnya ada suaranya?”

“Ada, Kak Achel.”

Mereka bertiga di dalam berbicara sebentar. Setelah itu, mereka tidak bersuara lagi. Sepertinya telah mengambil-alih tugas.

Setelah Haidar menaruh payung yang masih dibiarkan mengembang di teras dan ingin melangkah masuk, sosok Harika muncul kembali. Tanpa kata-kata, dia duduk di ujung teras, membiarkan kakinya menggantung. Sambil menatap kegelapan di hadapannya, dengan hujan yang masih mengguyur daratan. Kebiasaan adik itu setiap hujan.

“Dedek,” Haidar berdiri di ambang pintu. “Nanti kalau masuk jangan lupa tutup pintu.”

“Iya,” balas Harika, matanya tetap menatap kegelapan. Tidak takut sama sekali, meskipun jika mendengar cerita Kakek bisa sampai bersembunyi di kolong kasur.

Haidar kemudian melangkah masuk, tetapi entah kenapa gerakan kakinya terhenti. Dia berdiri di ambang pintu, menatap adik itu, kemudian sahabatnya di dapur. Putra dan Chelsea, di depan rak piring, sibuk mengelap piring-piring bersih dan menaruhnya hati-hati, kadang sambil bertikai tentang hal yang tidak Haidar mengerti karena Chelsea sesekali mengumpat dengan bahasa Inggris gaul asal Amerika.

Haidar menatap punggung Harika kembali. Adik itu bersenandung, suaranya tidak pernah bagus, bahkan paling buruk kalau disuruh menyanyi, membuat semua guru tidak sudi memasukinya ke lomba menyanyi di sekolah. Namun senandungnya selalu seperti mengiringi suara tetesan hujan dan gemuruh petir, serta sayup-sayup embekan kambing dan kokokan ayam dari ladang ternak Kakek. Kadang suara cicak dan jangkrik juga bergema, ikut mengiringi senandung magisnya.

Biasanya, Haidar tidak begitu menghiraukan adiknya itu, membiarkannya sendiri bahkan jika anak itu berada di teras belakang sampai tengah malam. Lagipula, anak itu tidak pernah masuk angin. Tetapi, entah kenapa sekarang dia ingin menatap punggung adik itu, entah Harika masih merasakan keberadaannya atau tidak. Terus bersenandung, mengiringi embekan kambing ternak Kakek dan gemuruh petir.

Dan setelah terlalu lama menatap punggung adik itu, dada Haidar tiba-tiba sesak. Kali ini bukan sesak karena amarahnya yang selama ini mengumpat kehadiran adiknya itu. Dadanya justru sesak karena iba. Dia baru menyadari bahwa Harika selama ini hanya bersenandung sendirian. Sejak anak itu lahir.

+++

+++

KEMBALI KE HALAMAN UTAMA
Previous
Previous

Bab 30: Mall Pusat

Next
Next

Bab 28: Hujan