Bab 24: Desa Bukit Berbaris

Dengan jantung yang berdegup kencang sejak dia bangun tidur, Haidar mengayuh sepeda ontelnya, menelusuri jalanan setapak di tengah hutan, perbatasan alami antara Desa dan jalan raya yang hanya bisa dimasuki oleh motor. Hampir saja dia memakai batik, tetapi di telepon privasi dengan Putra tiga hari yang lalu – sebelum anak itu berangkat ke Singapura – orang itu sudah mewanti-wanti untuk tidak berlebihan, sebaliknya memakai kaos terbaiknya saja. Tidak perlu memakai baju kokoh lebaran juga. Jadi, dia saat ini mengenakan kaos yang sama saat dia pergi ke kawah dahulu.

Jalanan beraspal mulai terlihat di depan, sebentar lagi dia mendekati halte bis kota. Saat dia sudah keluar dari jalanan setapak, dia celingak-celinguk, mengecek jika sedang tidak ada kendaraan lewat. Dia menyebrang, kemudian membelokkan sepeda, mendekati halte bis yang terlihat ratusan meter darinya.

Haidar turun dari sepeda saat plang halte bis hanya berjarak belasan meter. Dia menuntun sepeda, mendekati tempat menunggu itu yang terlihat tertutup dari samping. Dia terus berjalan, sampai ke sisi depan halte. Jantungnya hampir saja berhenti saat menemui orang di dalamnya.

Chelsea, dengan rambut cokelat bergelombang tergerainya, memakai topi, sedang duduk di bangku menunggu. Earphone dari MP3-Player tersemat di kedua telinganya. Dia mengenakan baju tanpa lengan dan celana tiga perempat, sepatu kets menutupi kakinya. Pakaian yang sama juga saat dia ke kawah dahulu.

Mata mereka bertemu saat Haidar menghampirinya.

Chelsea mencopot earphone. “Haidar! Ternyata aku tidak menyasar.” Ransel sekolah berada di punggungnya, berisikan baju menginap.

Haidar mengangguk patah-patah, wajahnya memanas. Dia memutar sepeda ontelnya, menunjukkan tempat duduk belakang, “Duduk, Achel. Biar kubonceng.”

Chelsea, dengan pipi memerah, melangkah. Setelah Haidar menduduki jok sepeda, dia duduk di belakang, menghadap ke depan. Haidar lega dalam hati, dia susah membonceng orang yang duduk menghadap ke samping.

“Aku belum pernah dibonceng dengan sepeda,” kata Chelsea.

“Aku nggak akan ngebut, kok.” Haidar mulai mengayuh pedal, menyebrang jalanan. “Aku hanya ngebut jika sama Putra. Sampai pernah membuatnya hampir tersungkur di tanah liat.”

Chelsea tertawa terbahak-bahak, suaranya menggema di jalanan setapak dikelilingi hutan itu. Membuat burung-burung berterbangan.

“Setiap hari kau melewati jalanan ini?” Chelsea terkagum-kagum sepanjang jalan. “Aku jadi ingin tinggal di desa.”

Haidar terkekeh. “Memangnya kau siap naik sepeda tiap hari selama dua jam?”

“Siap-siap aja, kok. Dulu kan, aku sering mendaki bersama orangtuaku.” Suaranya berubah pelan, “Apalagi kalau naik sepeda bersamamu.”

Meskipun kali ini tidak ada deruan motor moge Putra, tapi para ibu yang kebetulan sedang belanja di warung tetangga spontan memalingkan pandangannya ke rumah rotan keluarga Harun. Seorang anak perempuan di belakang Haidar menuruni sepeda saat ia berhenti. Rambut cokelatnya bersinar di bawah matahari saat dia melepas topinya.

Harika berlarian keluar – tidak ingin main di rawa-rawa karena menunggu kedatangan Chelsea. “Kakak Achel!!”

Chelsea merentangkan tangan, memeluk badan kecil adik itu sambil berlutut. “Harika! Ketemu lagi, kita.”

Sampai mereka bertiga memasuki rumah pun, para ibu tetangga masih menatap halaman depan rumah keluarga itu. Terheran-heran kepada keluarga itu yang selalu mempunyai tamu tidak biasa.

Sekarang, Haidar menelusuri perumahan desa dengan sepeda. Chelsea di belakangnya, sambil memegang kotak peralatan alat perkakas. Hari ini jadwal Haidar menambal atap di sebuah rumah keluarga. Tugas ini sudah dia dapatkan sejak memulai bekerja di bengkel. Rumor yang tersebar bahwa dia bekerja di tempat ibunya dahulu menarik perhatian para tetangga dan sesekali meminta Haidar untuk menambal atap rumah mereka.

“Haidar!!” teriak Bu Ahmad dari bawah. “Masih aman kan, kau di atas sana??”

“Masih, Bu!!” seru Haidar, duduk di atas atap, sambil mengetok paku dengan palu sebesar lengan orang dewasa. “Yang penting tangganya jangan digeser aja!”

Pak Ahmad, berdiri di sebelah istrinya, menatap Haidar sambil mengangkat tangannya untuk melindungi mata dari sinar matahari. “Betulan kayak Indah dia cekatannya.”

Pasutri itu sambil sesekali melirik Chelsea yang berdiri di sebelah sepeda Haidar, yang dibalas dengan senyumannya setiap dia ditatap penuh canggung. Bersama para tetangga lainnya yang juga menjulurkan kepala dari balik pagar, menatap Chelsea seolah-olah seperti sedang kedatangan anak walikota. Padahal jika Pak Kades yang datang mereka tidak seantusias itu.

Sekarang, Chelsea berjongkok, mengamati sungai dari pesisir. Matanya belum mengedip sejak mereka sampai di sini.

“Jernih sekali!” seru Chelsea. Dia menunjuk segerombolan ibu-ibu dari kejauhan, “Mereka ngapain di sana?”

“Cuci baju, Chel,” Haidar juga berjongkok di sebelahnya. “Aku dulu suka temani ibuku cuci baju di sini. Apalagi buat cuci kaos bengkel dia, hanya bisa hilang olinya jika dia cuci di sini.”

Chelsea menengadahkan kepala, menatap langit siang. Topinya melindungi matanya. Kicauan burung dan gemericik air sungai menggema di sekitar. Bau perairan yang juga tercampur dengan sabun cuci tercampur di udara.

“Aku juga dulu tinggal di dekat danau,” kata Chelsea, matanya masih menatap sungai. “Tapi ini pertama kalinya aku melihat kehidupan sederhana yang menyatu dengan alam. Selama ini aku hanya melihatnya dari televisi.” Dia menatap Haidar dengan mata cokelat itu yang juga bersinar di bawah matahari, “Kehidupanmu…unik sekali. Aku menyukainya.”

Haidar tercengang. Wajah dan matanya memanas. Selama ini, kehidupan desa dipandang rendah oleh orang lain. Putra adalah orang pertama selain kenalan dekat yang tidak memandang hal ini sebelah mata. Dia saat itu hanya menatap sungai dengan para ibu yang sedang mencuci baju dalam diam, caranya menikmati pemandangan di hadapannya.

Chelsea adalah orang pertama yang menunjukkan keantusiasan.

“Achel,” panggil Haidar. “Nanti siang, kita makan bubur, ya. Aku mau buatin bubur hari ini.”

Chelsea melebarkan mata. “Dengan sate pelengkapnya?“

“Dengan sate pelengkapnya. Tapi mungkin kau nggak mau lihat aku sembelih ayam. Kau bantu racik bumbu aja nanti di dapur. Bagian yang berdarah-darah biar adikku aja yang bantu. Anak itu selalu senang bantu di bagian itu, yang penting sambil nggak dimainin aja ususnya.”

Di saat jam makan siang, Haidar dan Harika berada di halaman belakang, sedang menyembelih ayam ternak. Chelsea mengaduk-aduk bubur di dapur, ditemani Nenek yang sedang menyiapkan es potong kacang ijo buat mereka bertiga.

Sesekali teriakan Haidar menggema sampai dapur. “Dedek!! Udah kubilang, jangan dimainin ususnya buat lompat tali!”

Wajah Chelsea memerah sepanjang memasak, menahan geli di perut mendengarkan tingkah kakak-beradik itu. Nenek juga terkekeh-kekeh.

Di meja makan, kakak-beradik itu masih saling sikut. Kakek dan Nenek yang melahap bubur buatan Haidar terkekeh melihat tingkahnya. Chelsea juga.

“Kubilang, sate usus hanya Achel yang boleh ambil!” Haidar menghardik adik di sebelahnya. Sate ati ayam di tangannya terangkat.

“Terus aku ambil yang mana?” Harika memonyongkan bibir, mulutnya penuh dengan bubur.

“Yang ampela. Cuma kau yang makan di rumah ini.”

Harika sigap mengambil semua sate ampela yang tertera di meja, melahapnya bulat-bulat. Semua terkekeh kembali. Dan kali ini Haidar juga tidak bisa menahan diri untuk tertawa melihat tingkah laku adik itu.

Di langit sore yang bewarna jingga, mereka sekarang menelusuri jalanan setapak lagi dengan sepeda ontel Haidar. Chelsea menenteng sebuah keranjang anyaman. Sebuah golok dan botol air tertera di dalam.

“Sekarang kita kemana?” Chelsea celingak-celinguk menatap pepohonan, pemandangan yang sama saat tadi pagi dia datang ke sini. “Kau membawaku ke halte lagi?”

“Sudah kubilang, rahasia,” Haidar menyengir, mata menatap ke depan. “Putra pernah kuajak ke situ.”

Mereka keluar dari hutan, menemui jalanan aspal. Haidar belok, mendekati sebuah halte bis yang tertera, kemudian belok lagi saat menemui jalanan setapak. Hutan yang mereka telusuri jauh lebih lebat dibandingkan sebelumnya, hanya orang lokal yang bisa menelusuri jalanan ini. Lagipula, jalanan ini hanya mengarahkan ke satu tempat.

Beberapa menit kemudian, mereka keluar dari hutan. Sebuah ladang menyambut mereka. Dengan berbagai macam batu nisan di sekeliling.

Haidar berhenti di sebuah pagar. Setelah mereka berdua menuruni sepeda, dia mengambil keranjang dari tangan Chelsea. Chelsea masih mengamati sekeliling, matanya membesar. Saat dia menoleh ke Haidar, dia tidak berkata apapun, tetapi sepertinya dia mengetahui tujuan Haidar membawanya ke sini.

Haidar, menenteng keranjang di tangannya, tersenyum, “Aku ingin mengajakmu menemui Ibu.”

+++

Chelsea sudah selalu sendiri sejak berada di Kindergarten. Tidak pernah punya teman. Tetapi baginya sudah cukup, bahwa setidaknya dia mempunyai keluarganya yang selalu berada di sisinya. Mendengarkan keluh-kesahnya, menemaninya bermain bersama, serta mendengarkan impiannya itu yang kata orang-orang terlalu tinggi tetapi tidak di mata keluarganya.

Jadi, dia tidak bisa membayangkan jika orang-orang seperti itu suatu saat meninggalkannya. Selamanya. Terutama di saat dia sedang membutuhkannya. Dan membayangkan itu sudah membuat dadanya sesak, meskipun anak lelaki di

hadapannya, yang sedang mencabut tanaman liar di sebuah gundukan tanah kuburan dengan goloknya, berbicara dengan wajah santai.

“Ibu,” Haidar masih sibuk mencabut-cabuti tanaman liar sigap, golok di sebelah tangannya. “Si Putra ke Singapura. Jadi sekarang aku bawa orang lain.” Dia terdiam. “Sahabatku lainnya.”

Haidar menaruh tanaman liar yang sudah tercabut itu ke dalam keranjang. Dia melirik Chelsea yang menatap tanaman itu bingung. “Buat makanan kambingnya Kakek.”

Chelsea ber-ooh pelan. Saat Haidar membalikkan badan lagi untuk mengambil sisa tanaman liar, dia menyunggingkan senyuman, dengan wajah yang memanas. Dia pernah menyukai beberapa anak lelaki di sekolah, kebanyakan para kutu buku, dan biasanya hanya dia simpan saja perasaannya. Tapi dia tidak pernah menyangka bahwa dia akan menyukai seorang anak lelaki dengan tangannya yang selalu tangkas menggunakan berbagai macam alat, mulai dari alat perkakas untuk menambal atap rumah, hingga mencacah bawang putih dengan pisau kapak.

Haidar adalah seorang anak lelaki terunik yang pernah dia temui. Dengan mimpi sederhananya itu, namun keambisiusannya mengalahkan keambisiusan Chelsea sendiri.

Setelah Haidar menaruh seluruh tanaman liar di keranjang, dia meraih botol, menyirami sebuah pot kaktus yang terletak di sudut kuburan. “Dedek lagi-lagi mainin usus ayam. Selalu gitu tiap bantu aku sembelih ayam.“ Dia terkekeh, menutup botol. “Tapi dulu kalau Ibu buat bubur, Ibu juga suka mainin ususnya, darahnya sampai terciprat di lantai teras. Ibu cuma berhenti kalau dihardik Bang Hasan.” Dia meminum sisa botol air. “Dedek…mirip kali sama Ibu. Tingkah lakunya mengingatkan kami kepada Ibu. Seolah-olah Ibu tetap berada di keluarga.”

Haidar kemudian menoleh ke belakang, menatap Chelsea, “Achel, mendekatlah.”

Chelsea melangkah, mendekati Haidar. Saat dia berdiri di sebelahnya, dia bisa membaca tulisan di batu nisan itu sepenuhnya. Seorang ibu yang hanya hidup selama tiga puluh lima tahun. Bahkan ibunya saat ini jauh lebih tua dibandingnya. Tetapi ibu tersebut meninggalkan sebuah peninggalan yang sangat berpengaruh. Kepada para warga Desa, pekerja bengkel, serta anak-anaknya. Terutama Haidar.

“Ibu, kenalin.” Haidar menunjuk Chelsea, berbicara di batu nisan, “Chelsea. Dipanggilnya Achel. Dia selalu ingin ketemu Ibu, meskipun hanya batu nisannya aja.” Suaranya merendah, “Tapi aku yakin, Ibu tetap bisa melihatnya di Surga.”

Chelsea menoleh ke Haidar, matanya memanas. Tetapi anak itu justru tersenyum tulus, seolah-olah sosok ibunya berada di hadapannya. Tidak ada rasa sedih atau terluka. Dia justru terlihat bahagia. Jarang sekali dia melihatnya dengan senyuman tulusnya itu, yang bersinar di balik langit jingga. Serta kicauan burung yang menghiasi langit sore, membuat ladang pemakaman ini malah terasa damai. Jauh lebih damai dibandingkan tepi danau dekat rumahnya di Amerika Serikat dahulu.

Haidar beranjak berdiri sambil mengambil keranjang dengan tanaman liar itu di sebelah. Dia menatap Chelsea kembali, “Achel, kau mau bilang sesuatu pada ibuku? Dia pasti mendengarkan di Surga.” Wajahnya memerah di balik kulit cokelatnya itu, berbicara dengan batu nisan kembali, “Dan semoga Ibu tidak terpipis-pipis di sana, melihat aku punya sahabat secantik dia.”

Wajah Chelsea memanas, jantungnya berdegup kencang. Kemudian dia tertawa karena reaksi tubuhnya itu. Haidar yang wajahnya masih memerah juga ikut tertawa pelan.

Chelsea menatap batu nisan itu, membaca namanya. Dia memberikan senyuman tulusnya, seolah-olah ibu terunik di dunia itu juga berada di hadapannya, “Tante Indah, terima kasih ya, sudah melahirkan dan membesarkan seorang anak,” dia menoleh ke Haidar yang juga menatapnya, “seberani dia.”

+++

+++

KEMBALI KE HALAMAN UTAMA
Previous
Previous

Bab 25: Impian (3)

Next
Next

Bab 23: Teropong