Dibalik ‘Aviator Impian’

Sang mentari mulai muncul, terbit dari ufuk Timur, menyinari dunia. Elokan bukit-bukit hijau satu per satu mulai terlihat. Burung-burung mulai berkicau merdu dan indah. Ada yang beterbangan kesana-sini, meramaikan suasana bentangan langit biru. Jendela-jendela dan pintu-pintu rumah mulai dibuka. Orang-orang pun mulai keluar untuk melakukan aktivitasnya masing-masing. Ada yang menyapu halaman, mengurus ternaknya, menyiram bunga, menyiram motor...ehh...mencuci motor, dan lainnya. Anak-anak pun mulai berangkat sekolah dan berlari-lari gembira. Suasana Desa Bukit Berbaris sangat nyaman dan tenteram.

“Kukuruyuuuk....”, ayam pun berkokok, melainkan beker yang bersuara kokoknya ayam. Aku langsung terbangun, setelah lelah berpetualang di alam mimpi. Jam menunjukkan pukul 06.00 pagi. Aku langsung melompat untuk bersiap-siap sekolah.

“Bang.., makan dulu, nih sarapannya”, kata Nenek sambil menunjukkan 2 roti bakar ketika Nenek melihatku berlari tergesa-gesa.

“Maaf, Nek! Aku sudah telat...”, kataku langsung menyambar 2 roti itu dan lalu kulalap bulat-bulat.

“Astaghfirullahal’adziim.... kalau kamu tersedak gimana???”, ujar Nenek prihatin.

Setelah aku kunyah cepat-cepat dan langsung kutelan, aku pun minum segelas susu yang sudah disediakan.

“Nenek, pergi dulu, ya!”, kataku sambil mencium tangan Nenek. Setelah salam, aku langsung menaiki sepedaku dan berangkat, menuju ke sekolah...!

Ini, para pembaca yang kucintai, adalah halaman pertama ‘Aviator Impian’ versi pertama yang kutulis saat masih berseragam putih-biru dongker. Dan saat aku membaca ulang (hampir) sepuluh tahun kemudian, benak pertamaku adalah: “Canggih betul punya weker analog bersuara kokokan ayam!”

Joke aside, sejujurnya aku betul-betul puas dengan versi cerita ini sekarang yang berkembangnya harus membutuhkan SEPULUH TAHUN - kredit motor aja kalah. Tetapi, setelah menahun berkutat dengan kepenulisan sastra kembali secara intensif, metode seperti ini adalah salah satu proses kepenulisanku; tulis draft pertama seperti ‘memuntahkan isi perut’, habis itu ditelantarkan selama paling cepat satu tahun. Sudah kubuktikan dengan proyek novel lainnya, dan memulai draft selanjutnya setelah itu selalu menghasilkan cerita jauh lebih memuaskan, yang bahkan ke depannya hanya diperlukan revisi secara minimal. Satu-satunya kerugian dari proses seperti ini, ya, hasil karyaku selalu lamban jadinya. Terlebih di era modern sekarang dengan fast-pace living, hustle culture dan result-driven society, kadang aku merasa terintimidasi di tengah-tengah masyarakat, bahkan jika hal itu menyangkut karya seni dimana prosesnya kebanyakan spontan dan tidak bisa direncanakan secara micro-scale (setidaknya bagi diriku).

Namun, hasil cerita dengan versi sekarang tidak akan lahir tanpa pengalaman yang telah kukumpulkan selama SEPULUH TAHUN itu. Maka, aku mau berbaginya di sini para elemen di balik ‘Aviator Impian’:

1) Hampir semua nama tokoh dirubah, termasuk nama Haidar. Karena di versi awal, para nama terlalu agamis - sangat mungkin karena pengaruh lingkungan Boarding School. Nama yang tidak diubah sedikit pun adalah:

  • Hasan: mencomot dari nama salah satu adik sepupu.

  • Chelsea: meskipun panggilan Achel baru lahir pas mulai revisi naskah kembali pada tahun 2018.

  • Mister Herman: di versi awal Pak Herman sebagai guru sejarah, terinspirasi oleh seorang guru sementara saat SMP dulu.

  • Pengki: iya, Pengki dan nama panjang “kereta antar-Kota”-nya, serta karakter intinya, hanya dirubah perannya saja.

2) Tokoh para guru eksentrik (kecuali Bu Pia dan Bu Leni) di sini terinspirasi oleh kisah nyata.

  • Mister Herman: terinspirasi oleh guru Bahasa Inggris kelas 5-6 SD (kalau nggak salah). Beliau satu kali di depan kelas berbahasa Inggris dengan aksen British, dan katanya hal tersebut berasal dari banyak-banyak nonton film dengan pemeran berbicara British English.

  • Pak Kodir: terinspirasi oleh guru Kimia saat sekolah penyetaraan (Studienkolleg) di Jerman pre-kuliah. Seperti di cerita, Guru Kimia ini juga suka menulis di papan tulis dan memberikan kami catatan rapi. Jika ditanya mengenai kisi-kisi sebelum ulangan bulanan, beliau selalu hanya bilang: “Chemie. Alles mit Chemie.” (“Kimia. Segalanya yang berhubungan dengan Kimia.”) Soal ulangannya setelah itu selalu membuat hampir semuanya dapat nilai merah. Karena tidak seperti soal-soal sekolah “aplikasi teori dan rumus” yang kami kenal (meski kami semua berasal dari berbeda negara), soal-soalnya mengikuti standar sekolah Jerman, yaitu mengedepankan analisa.

3) Di versi awal tidak ada elemen Danar dan geng motornya. Baru muncul di versi baru, karena terinspirasi setelah membaca dua buku pertamanya Dilan oleh Pidi Baiq.

4) Versi rombakan terbaru adalah ‘Bab Bonus’ (bab paling akhir setelah Epilog), yang baru diubah tahun lalu. Awalnya, bahkan di versi baru pun, adegan aslinya adalah Haidar dan Chelsea yang lost-contact sejak kelulusan dan bertemu secara tidak sengaja di kampus Amerika. Mirip dengan versi lama (meski versi lama jauh, jauh, lebih dramatis). Tapi aku mikir adegan itu terlalu over-sinetron dan versi “arsipan e-mail” menurutku jauh lebih realistis dan memuaskan. /Dan jauh lebih UwU woii!!— maaf, keceplosan fan-girling dengan cerita sendiri/

5) Di versi lama, cerita ditutupi oleh Haidar yang mendapatkan beasiswa ke luar negeri setelah lulus SMU untuk masuk “sekolah penerbangan”. Mungkin saat itu terinspirasi oleh seorang kakak kelas di Boarding School yang setelah kelulusan masuk akademi penerbangan di luar negeri. Aku rombak penuh di versi baru supaya lebih realistis dan lebih dapat coming-of-age-nya yang dimana dia menunda naik pesawat setelah kelulusan.

6) Di versi lama, dinamika antar-Harun Bersaudara tidak segarang dan seliar versi baru. Setelah puluhan tahun diam-diam observasi cerita para teman dan para saudara kandungnya (karena aku anak tunggal), aku merasa aku jauh lebih suka versi sekarang.

7) Mungkin kalian pada tanya: kenapa Putra dan Chelsea punya latar belakang sebagai ‘anak blasteran’? Karena:

  • Di kota tempat aku dibesarkan (hingga lulus SD), banyak pasangan interracial dan anak-anak biracial mereka, terutama campuran Indonesia-Singapura. Dahulu sekolah SD-ku adalah sekolah swasta berbasis internasional, jadi sudah umum bahwa sebagian anak-anak di angkatan adalah anak-anak biracial Indo-Singaporean. Ini mungkin yang melahirkan sosok Putra.

  • Masih berbicara tentang sekolah SD, salah satu murid di angkatanku (dan teman kelas) adalah anak blasteran Indonesia-Eropa Timur (otak bocahku dulu masih mikir negara dari Eropa Timur seperti dari planet lain lol, sebuah tempat yang tak terjamahkan). Rambutnya paling pirang di satu kelas. Mungkin hal ini melahirkan sosok Chelsea.

8) Aku selalu lemah yang namanya CARI JUDUL. Di naskah awal, dulu aku hanya menamainya ‘Fly’ — bahkan hampir mencomot judul lagunya R. Kelly I Believe I Can Fly. Dan iya, pas aku coba kirim ke penerbit untuk pertama kalinya, naskah itu berjudul Fly (lol). Butuh hampir sepuluh tahun untuk menemukan “Aviator Impian” sebagai judul yang terdengar paling memuaskan. (Dan kelahiran judul ini yang berasal dari adegan pembicaraan antara Mister Herman dan Haidar di rumah sakit juga spontan. Maksudku, judulnya dulu yang lahir baru adegan tersebut.)

Itulah para elemen yang berkaitan dengan pengalaman nyata. Mungkin masih ada, banyak bahkan, yang alam bawah sadarku diam-diam simpan. Semua list di atas adalah hal-hal yang bisa aku self-analyse. Untuk menutupi blog ini, mari kulampirkan adegan Haidar naik pesawat bersama Mister Herman di versi awal:

(catatan: sangat mikro minimal revisi untuk blog ini karena bahasa yang terlalu agamis, dan nama awal tokoh yang tidak mau kutaruh di sini)

Kami berangkat ke Jakarta dengan kereta. Setelah menempuh perjalanan delapan jam, kami langsung ke bandara. Wow! Baru kali ini aku melihat bandara. Luas banget..mungkin seluas desa, orang-orang ramai banget ingin berlibur, pokoknya aku sampai cangak seperti orang blo’on. […]

“Kita naik pesawat 2 kali”, beritahu Pak Herman. “Dari Jakarta ke Singapur dulu. Setelah itu, dari Singapur ke Inggris, deh”.

Asyiik...naik pesawat 2 kali sekaligus. Hei, ngomong-ngomong pesawat gratis lagi, yang pernah [Putra] bilang ketika di tangga sekolah!

Hmm..kalau naik pesawat banyak peraturannya, ya! Salah satunya gak boleh membawa benda tajam atau benda berbahaya lainnya. Pokoknya, penjaganya sangat ketat!

Jam keberangkatannya 15 menit lagi. Jadi, kami bermaksud untuk duduk-duduk di ruang tunggu.

15 menit kemudian, ada speaker yang bilang bahwa pesawat kami sudah datang. Jadi, bisa masuk sekarang. Orang-orang pada beramai-ramai berdiri dan berjalan keluar untuk memasuki pesawat. Aku dan Pak Herman juga ikut berdiri.

“Pak, nama transportasi itu apa?”, tanyaku ketika sampai di luar. “Besar sekali!”.

“Itu yang namanya pesawat, [Haidar]!!!”, ujar Pak Herman sambil memukul pundakku. “Gimana, sih?”.

Oooh..itu yang namanya pesawat, gumamku. Wow, besar sekali! Bisa menampung satu penduduk desa, tuh!

Setelah mulai memasuki pesawat, kami mencari tempat duduk sesuai yang terdapat dalam tiket. Aku bermaksud untuk duduk di dekat jendela.

“Lho, ini apaan??”, tanyaku sambil menunjukkan sesuatu yang bertali kepada Pak Herman.

“Itu namanya sabuk pengaman”, jawab beliau. “Kalau mulai berangkat, harus dipasang”. Aku hanya ber-ooh.

“Oya, Hp dimatikan, ya ketika berangkat”, kata Pak Herman sambil mematikan Hp-nya.

“Pak, saya kan gak ada Hp”, beritahuku.

“Ooh..gak ada, ya? Maaf”, kata Pak Herman. “Siapa tau kalau suatu saat sudah punya Hp gitu..hehehe”. Aku hanya tertawa kecil.

“Emang kenapa dimatikan?”, tanyaku.

“Kan Hp ada jaringanya, nanti bisa berakibat bencana bagi pesawat”, jawab Pak Herman. “Pesawat dengan radar butuh bekerjasama. Jadi kalau Hp-nya dihidupkan, jaringan antara pesawat dengan radar bisa bertolak-belakang. Itu bisa berakibat pesawatnya jatuh!”. Aku hanya ber-ooh lagi.

Setelah beberapa lama kemudian, pesawat mulai siap-siap untuk terbang. Ketika mulai naik ke atas..

“Pak, telingaku kok sakit?”, tanyaku sambil menahan sakit.

“Ooh...karena tekanan, sih”, jawab Pak Herman “Nih, makan permen. Biar gak sakit”.

Aku mengambil satu bungkus permen kemudian memakannya. Setelah pesawat benar-benar terbang, aku melihat ke arah jendela. [L]ihat, aku terbang teman! AKU TERBANG!!! Ingin rasanya aku berteriak seperti itu. Cuma nanti mengganggu suasana orang. Ya lha, nekat amat teriak dalam pesawat! Apakah ini mimpi?? Aku mencubit lenganku. Rasanya sakit. Berarti..ini bukan mimpi. Ini KENYATAAN!!!

Lihatlah..awan-awan yang menggumpal..bagaikan buntalan kapas yang lembut. Bentangan langit biru sejauh mata memandang..bagaikan cakrawala yang menyanggah tegak. Lihatlah ke bawah, mobil-mobil bagaikan semut-semut yang berjalan, hamparan sawah-sawah dan hutan-hutan bagaikan karpet hijau dari beludru, gedung-gedung yang menjulang tinggi bagaikan tiang-tiang langit, lautan yang luas bagaikan daratan biru yang tinggal diinjak saja (tapi jangan benar-benar terjun, nanti malah tenggelam lagi!), […] rasanya ingin keluar dan bermain-main di atas awan! Saking kagumnya..aku sampai tertidur di dekat jendela pesawat.

Semoga tidak ada yang mimisan (karena aku hampir). Selamat akhir pekan! :D

Previous
Previous

Tentang ‘Commonplace Book’: Ensiklopedia Pribadi Darimu & Untukmu

Next
Next

My Writing Routine 2024