Catatan Penulis dan Ucapan Terima Kasih
Novel Aviator Impian sebenarnya sudah lahir di masa tinggalku di sebuah Boarding School, periode SMP-SMA antara tahun 2008 hingga 2013. Tidak tahu kapan mulainya, dan tidak tahu kapan selesainya. Yang hanya aku ingat, ia lahir saat aku terpana membaca para novel Seri Anak-Anak Mamak-nya Tere Liye (saat itu baru Burlian dan Pukat saja yang terbit). Ia diketik di berbagai macam laptop yang berbeda; mulai dari laptop pribadi, komputer warnet dekat sekolah (yang menghabiskan di sana selalu dikejar waktu karena jadwal ketat Boarding School), hingga laptop seorang pengurus kamar asrama. Ia selesai saat aku – dengan otak remaja polos yang melakukan ini semua hanyalah dari insting sendiri – pergi ke sebuah percetakan jalanan dengan angkot sepulang sekolah (lagi-lagi, juga dikejar waktu karena jadwal Boarding School), mencetak naskah ini, dan mengirimnya ke sebuah penerbit ternama atas nama alamat Boarding School – karena rumah sendiri di Kepulauan Riau, Sumatra, sedangkat Boarding School berada di Jawa Barat. Tentu saja ditolak mentah-mentah oleh sang penerbit, namun baiknya mereka memberi secarik kertas dengan list berisi kritikan naskah. Masih menggunakan insting, aku meminta kepada Guru Bahasa Indonesia-ku untuk revisi naskah ini, dan dengan baiknya Bu Guru-ku memberikan masukan meskipun beliau hanya membaca dua-tiga bab.
Jadi, setelah lulus SMA dan terbang ke Jerman untuk menjenjang bangku kuliah (dan spoiler: ternyata gagal beberapa tahun kemudian, tapi aku tetap di Jerman), tidak berkutat selama menahun dengan kepenulisan cerita fiksi karena digantikan dengan blogging, serta gonta-ganti laptop, siapa sangka, bahwa suatu hari, di sekitar tahun 2018-an saat membuka akun Wattpad, aku menemukan sebuah dokumen Ms.Word berjudul “naskah jaduk” (iya, jaduk, yang harusnya jadul), berisikan naskah Aviator Impian versi terakhir ia direvisi oleh diriku atas masukan sang Bu Guru.
Dari situ, aku mulai merevisinya (karena aku rasa versi Aviator Impian yang pertama terlalu, ehem, agamis), terutama setelah mempunyai akun Wattpad. Tiga bab sukses merevisinya dengan versi yang sangat berbeda, aku buntu. Mungkin saat itu, terlalu lama aku tidak berkutat dengan creative writing, otot-otot di otak masih terlalu lemah untuk merevisi penuh naskah ini. Jadi, lagi-lagi, kutelantarkan.
Singkat cerita, naskah ini kusentuh kembali pada tahun 2021. Di tahun itu, aku telah melatih otot-otot otak ini dengan menulis ratusan ribu kata novel berbahasa Inggris dan aneka cerpen berbahasa Indonesia. Aku mulai berani mengunjungi naskah ini setelah aku menulis sebuah novel yang berhubungan dengan dunia Harun Bersaudara. Dari situ, aku telah mengetahui seperti apa dunia sang Keluarga Harun yang ingin kutunjukkan, di mata Haidar dan para teman-teman sekolahnya. Aku merombak penuh dunia Haidar, tanpa merubah elemen penting seperti plot inti cerita. (Makanya, mungkin kalian merasa alur cerita terlalu sinetron, itu karena plot inti tetap kubiarkan dari versi awal. Entah kenapa aku mau menghargai masa laluku. Dan nama desa sebagai ‘Bukit Berbaris’ juga berasal dari versi pertama.) Bagian 1 SMU telah selesai di-proofreading pada tahun 2022, dan aku mencoba kembali mengirimkannya ke berbagai macam penerbit Indonesia pada tahun 2023. Sampai sekarang, tidak ada jawaban yang mereka berikan kepadaku.
Saat aku menulis Aviator Impian dahulu, aku mengingat alasan ia ditulis: aku juga ingin menulis novel family saga seperti Seri Anak-Anak Mamak-nya Tere Liye, seperti dahulu saat SD aku menulis Herli: Save the World karena terinspirasi oleh Lupus-nya Hilman Hariwijaya. Di zaman modern sekarang, dimana sebuah novel bisa dibaca tidak hanya dari sebuah buku yang dicetak oleh penerbit ternama dan didistribusi oleh toko buku terdekat, namun bisa diunggah di internet, di sebuah situs blog dengan domain pribadi, aku memutuskan untuk memilih jalan kedua. Toh, aku menulis cerita ini semata-mata supaya ia bisa dibaca di mata dunia, meskipun mungkin baru dibaca satu tahun kemudian, lima tahun, sepuluh, atau bahkan setelah kematian. Yang penting aku sudah menunjukkannya kepada mata dunia. Karena pasti itulah alasan lain si ‘remaja aku’ menulis ceritanya Haidar; di Boarding School, mengetik naskah ini diam-diam, dengan kesendirianku yang jauh dari orangtua, entah karena terpisah pulau dan lautan, atau karena kurangnya ikatan emosional.
UCAPAN TERIMA KASIH
Selain ingin berterima kasih kepada percetakan jalanan Jerman terdekat (yang bersedia mencetak naskah ini sebagai arsip pribadi), aku ingin berterima kasih kepada para musisi Indonesia yang menemaniku menulis kisah Haidar dan mengembangkan dunia Keluarga Harun sampai ke hasil yang bagiku paling memuaskan. Terutama kepada Dialog Senja, dengan dua lagu mereka (untuk dunianya Haidar): Lara dan Lautan Harap.
Kemudian, sebesar-besarnya kepada para teman-temanku yang bersedia jadi beta-reader: Kak Lina dan Fira C. yang membaca sampai habis bagian 1 SMU (dan bersedia juga untuk membaca 2 SMU), masukan kalian sangat membantuku mengembangkan novel ini secara keseluruhan. Tak lupa juga kepada Hafiz dan Azka yang turut memberikan sedikit masukan. Kepada Intan, satu-satunya saksi di dunia ini yang masih ingat bahwa aku pernah menulis novel saat SD. Juga Fira A. sebagai saksi lainnya, dan teman pertama yang memvalidasi bahwa kegiatan “menulis novel” sama sibuknya seperti “bekerja di kantor”.
Terakhir, aku mau mengucapkan terima kasih kepada Daniel, sang teman hidup, meskipun dia belum bisa membaca tulisan (dan novel ini). Kemudian diriku; terima kasih diriku yang tetap teguh dan sedikit keras kepala telah menulis novel ini di tengah-tengah jadwal ketat Boarding School hingga tuntas, bahkan jika baru kutunjukkan ke dunia setelah sepuluh tahun kemudian. Serta kalian semua, yang telah menyisihkan waktu untuk membaca novel ini; dunia Haidar dan seisinya tidak akan utuh tanpa kalian semua yang bersedia membaca kisahnya.
Raudha Henfu
Bonn, 30 Mei 2024
KEMBALI KE HALAMAN UTAMA